Jumat, 23 Februari 2018

Pemikiran KH Muhammad Hasyim Asy’ari (2)

Pemikiran KH Muhammad Hasyim Asy’ari (2)
Ahmad Syafii Maarif  ;    Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
                                                  REPUBLIKA, 20 Februari 2018



                                                           
Dari kesaksian di atas, sikap tegas Kiai Hasyim dalam menghadapi tipu politik penjajah sepenuhnya punya akar tunggang dalam sejarah Islam saat pihak elite Quraisy mencoba mengukur idealisme Nabi dengan ukuran-ukuran duniawi yang serbamenggoda, tetapi semuanya sia-sia.

Iman yang autentik tidak bisa dibeli dengan kilauan dunia. Kiai Hasyim berpedoman pada sunah Nabi ini. Kyai Hasyim paham betul jebakan tipu muslihat Belanda ini.

Sikap patriot ini pulalah yang kemudian mendasari Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 yang memberikan legitimasi perlawanan 10 November di Surabaya.

Isi Resolusi Jihad itu adalah: (1) Hukum membela negara demi melawan penjajah menjadi fardhu ain (wajib) bagi umat Islam, baik laki-laki ataupun perempuan dalam radius 90 km. (2) Jihad melawan penjajah merupakan jihad fi sabilillah. Para pejuang yang gugur akan mati syahid. (3) Bangsa sendiri yang berkhianat dan ikut memecah belah dan menjadi kaki tangan penjajah (mata-mata dan pengkhianat) wajib hukumnya dibunuh. (Lihat Abdallah B adri dalam medsos, “Pesan dan Sejarah Perjuangan KH Hasyim Asy’ari dalam Menanamkan Nasionalisme Religius”, 3 Oktober 2017).

Kemudian, dalam Muktamar ke-16 NU tahun 1946 di Purwokerto, Kiai Hasyim “mengatakan bahwa syariat Islam tidak akan dapat dijalankan dengan baik di negara yang terjajah”.  Simak baik-baik isi Resolusi Jihad itu. Sungguh sangat tegas, tuntas, dan siap menanggung segala risiko. Resolusi inilah yang menggerakkan Bung Tomo mengobarkan perlawanan 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Andil spiritual Kiai Hasyim sangat besar dalam menggerakkan rakyat untuk berjibaku melawan gabungan pasukan Belanda dan Inggris di Surabaya dan sekitarnya saat-saat kritikal itu. Ideologi berbangsa dan bernegara Kiai Hasyim dibentuk oleh pengalaman pahit masa penjajahan yang zalim itu dan ingin secepatnya melepaskan tali laso (untuk pinjam Toynbee) penjajahan dari leher bangsa yang masih berambisi melanggengkan sistem kolonial yang sudah usang itu.

Kristalisasi ideologi berbangsa dan bernegara Kiai Hasyim tidak bisa dipisahkan dari hasil renungannya yang mendalam tentang konsep persatuan umat yang membuahkan persatuan bangsa. Di sekitar berdirinya NU pada tahun 1926, Kiai Hasyim telah berpikir jauh tentang bahaya perpecahan umat yang dapat membawa ke jurang malapetaka.

Dalam Mukaddimah al-Qanun al-Asasi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, dengan mengutip beberapa ayat Alquran, sunah Nabi, dan perkataan Ali bin Abi Thalib, Kiai Hasyim menyadarkan kita semua tentang utamanya persatuan dan bahayanya perpecahan.

“Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan, dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan, pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan.” (Lihat: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Ulama: Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Risalah Bandung 1985, hlm 142. Al-Qanun al-Asasi di atas yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab diterjemahkan oleh KH Mustofa Bisri).

Bagi saya, pernyataan Kiai Hasyim sudah menjadi sebuah aksioma yang serbapasti, tetapi umat Islam pada umumnya tetap saja menutup mata dan hatinya untuk melihat dan mengambil pelajaran moral dari pesan yang sangat tajam itu. Kutipan panjang dari Kiai Hasyim berikut ini semestinya mampu membangunkan hati nurani kita untuk berkaca.

Pendek kata, siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka-buka lembaran yang tidak sedikit dari ihwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa yang terjadi pada mereka hingga saat-saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kejayaan yang pernah menggelimangi mereka, kebanggaan yang pernah mereka sandang, dan kemuliaan yang pernah menjadi perhiasan mereka tidak lain adalah berkat apa yang secara kukuh mereka pegangi, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seiya sekata, searah setujuan, dan pikiran-pikiran mereka seiring.

Maka, inilah faktor paling kuat yang mengangkat martabat dan kedaulatan mereka, penunjang paling besar dalam kemenangan mereka, dan benteng paling kokoh bagi menjaga kekuatan dan keselamatan ajaran mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar