Senin, 26 Februari 2018

Melampaui Narasi Kebencian

Melampaui Narasi Kebencian
Asep Salahudin  ;   Staf Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila; Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
                                                     KOMPAS, 26 Februari 2018



                                                           
Kebencian tentu saja harus menjadi musuh bersama. Relasi sosial yang kita bangun sudah semestinya diacukan pada spirit cinta kasih, damai, dan kehendak satu sama lain saling memuliakan.

Keragaman agama, politik, atau etnik tak bisa dijadikan alasan bersengketa. Keragaman, multikulturalisme, pluralisme, atau apa pun istilahnya adalah takdir yang melekat dalam tubuh bangsa ini. Bukan kutukan, melainkan  tambang pensyukuran. Karena unsur keragamanlah satu sama lain bisa saling belajar. Kehidupan menjadi warna-warni. Peradaban kian kaya dan sudut pandang jadi tak lagi tunggal. Langit dengan guratan pelangi akan tampak  indah di lihat dari seluruh sudutnya.

Hal ini hanya dimungkinkan ketika setiap kita membuka jendela hati dan pikiran agar tetap lapang. Orang lain bukan sesuatu yang terpisah dari eksistensi kita, melainkan menyatu dan jadi bagian tak terpisahkan dari cara kita berada. Perjumpaan dengan liyan jadi momen-momen menggetarkan untuk saling menyelami keunikan masing-masing, bahkan bisa ditarik pada ranah transendental: sebagai sumur rohaniah untuk menebalkan penghayatan iman setiap kita. Tuhan sengaja menciptakan serba berbeda agar bisa saling menyapa.

Indonesia secara ontologis lahir lengkap dengan segenap penduduk dengan pilihan agamanya yang beragam, etniknya berlainan, bahasanya yang berbeda, dan budayanya yang tak tepermanai. Kelahirannya dibidani tekad satu sama lain saling berempatik, yang dirumuskan dalam diksi  ”persatuan” dan ”kesatuan” dengan etik imperatifnya ”musyawarah, ”mufakat”, ”hikmah”, dan ”kebijaksanaan”.

Pancasila

Titik temu keragaman itu sebenarnya terekspresikan dalam falsafah negara, Pancasila. Pancasila, meminjam Yudi Latif, bukan hanya titik tumpu, titik tuju melainkan juga titik temu. Sila pertama menunjukkan sebuah alamat religius bahwa ”ketuhanan” adalah pangkalan  metafisis segenap masyarakat. Religiositas yang dilengkapi sikap toleran, saling menghargai, dan pengembangan ekspresi  beragama yang terbuka. Sila kedua, mengokohkan tekad bahwa ”ketuhanan” pada saat yang sama harus dipantulkan dalam bentuk  penghormatan kemanusiaan sebagai prasyarat mutlak  terwujudnya keadaban publik. Sila ketiga, menghamparkan realitas sosiologis bahwa keragaman itu akan menjadi energi positif manakala satu sama lain mengikatkan ikrar bersatu. Sila keempat, mengisyaratkan pentingnya mengelola ruang publik dengan cara musyawarah, dan dikunci sila kelima, yang mempercakapkan ingatan kolektif  bahwa  tujuan pokok dari bernegara adalah keadilan sosial.

Sejarah kelahiran Pancasila melambangkan keluhuran manusia pergerakan yang datang dari latar kultural  yang berbeda untuk saling memberi sekaligus menerima gagasan satu sama lain. Sidang-sidang Konstituante periode itu menunjukkan semangat bukan memaksakan kebenaran, melainkan mencari ”kebenaran” yang disepakati bersama.

Dalam 15 tahun terakhir, politik keindonesiaan sering kali diharu biru narasi kebencian. Keindonesiaan seolah lahir  dan dipaksa tampil satu wajah. Sesuatu yang seharusnya sudah selesai tiba-tiba ditampilkan lagi dalam panggung demokrasi lima tahunan, semata untuk mengejar tampuk fana kekuasaan dan pragmatisme politik yang berjangka pendek. Politisasi identitas digoreng sedemikian rupa sampai gosong, bahkan hubungan tetangga rontok dan kekerabatan berantakan. Massa diindoktrinasi dengan paham keagamaan sempit, arkaik, dan sangat menghinakan akal sehat.

Politik yang seharusnya menjadi medan untuk menyeleksi pemimpin amanah, kredibel, punya kemampuan manajerial, tiba-tiba seperti menanggung beban teologis sehingga di panggung kampanye yang tersimak adalah sumpah seranah dan stigma kafir, sesat, bidah kepada mereka yang tak sehaluan keyakinannya. Ayat- ayat Tuhan dikutip bukan demi mengagungkan  Diri-Nya, melainkan  sekadar cari legitimasi, orang lain tak layak jadi pemimpin.

Survei CSIS yang dilakukan pada 23-30 Agustus 2017 menunjukkan, pada soal keagamaan ternyata generasi milenial yang kita pandang bisa berpikir rasional menampakkan cara pandang politik eksklusif. Sebanyak 58,4 persen sama sekali tak mau menerima pemimpin yang tidak sama agamanya. Sebanyak 39,15 persen menerima pemimpin yang berbeda pilihan keyakinannya.

Jangkar ”kewargaan”

Wahid Institute dan Lembaga Survei Indonesia merilis 10 kelompok yang sering jadi sasaran kebencian masyarakat dan acap diartikulasikan dalam bentuk kekerasan fisik.  Mereka adalah LGBT (26,1 persen), komunis (16,1 persen), Yahudi (10,7 persen), Kristen (2,2 persen), Syiah (1,3 persen), Wahabi (0,5 persen), Buddha (0,4 persen), China (0,4 persen), Katolik (0,4 persen), dan Khonghucu (0,1 persen).

Dari Survei itu tergambar 59,9 persen responden  memiliki kelompok yang dibenci. Dari angka ini, 92,2 persen tidak setuju jika anggota kelompok  yang dibenci menjadi pejabat pemerintah di negeri ini. Sementara 82,4 persen tidak rela anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga mereka (Munawir Aziz, 2018).

Melampaui kebencian, inilah yang jadi agenda besar politik keindonesiaan ke depan. Pelampauan ini penting karena fakta sosial kita yang beragam dan persoalan teologis yang sering kali dipaksa menyelesaikan segala hal ihwal. Saatnya keragaman dan tafsir teologis  diarahkan ke upaya penguatan jangkar politik kewargaan. Kesadaran tentang ”kewargaan” yang bisa mengokohkan kebangsaan dan kita tak lagi mudah diprovokasi predator demokrasi dan kaum demagog yang menghalalkan segala cara untuk meraih suara dan memburu takhta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar