Melampaui
Narasi Kebencian
Asep Salahudin ; Staf Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS,
26 Februari
2018
Kebencian
tentu saja harus menjadi musuh bersama. Relasi sosial yang kita bangun sudah
semestinya diacukan pada spirit cinta kasih, damai, dan kehendak satu sama
lain saling memuliakan.
Keragaman
agama, politik, atau etnik tak bisa dijadikan alasan bersengketa. Keragaman,
multikulturalisme, pluralisme, atau apa pun istilahnya adalah takdir yang
melekat dalam tubuh bangsa ini. Bukan kutukan, melainkan tambang pensyukuran. Karena unsur
keragamanlah satu sama lain bisa saling belajar. Kehidupan menjadi
warna-warni. Peradaban kian kaya dan sudut pandang jadi tak lagi tunggal.
Langit dengan guratan pelangi akan tampak
indah di lihat dari seluruh sudutnya.
Hal
ini hanya dimungkinkan ketika setiap kita membuka jendela hati dan pikiran
agar tetap lapang. Orang lain bukan sesuatu yang terpisah dari eksistensi
kita, melainkan menyatu dan jadi bagian tak terpisahkan dari cara kita
berada. Perjumpaan dengan liyan jadi momen-momen menggetarkan untuk saling
menyelami keunikan masing-masing, bahkan bisa ditarik pada ranah
transendental: sebagai sumur rohaniah untuk menebalkan penghayatan iman
setiap kita. Tuhan sengaja menciptakan serba berbeda agar bisa saling
menyapa.
Indonesia
secara ontologis lahir lengkap dengan segenap penduduk dengan pilihan
agamanya yang beragam, etniknya berlainan, bahasanya yang berbeda, dan
budayanya yang tak tepermanai. Kelahirannya dibidani tekad satu sama lain
saling berempatik, yang dirumuskan dalam diksi ”persatuan” dan ”kesatuan” dengan etik
imperatifnya ”musyawarah, ”mufakat”, ”hikmah”, dan ”kebijaksanaan”.
Pancasila
Titik
temu keragaman itu sebenarnya terekspresikan dalam falsafah negara,
Pancasila. Pancasila, meminjam Yudi Latif, bukan hanya titik tumpu, titik
tuju melainkan juga titik temu. Sila pertama menunjukkan sebuah alamat
religius bahwa ”ketuhanan” adalah pangkalan
metafisis segenap masyarakat. Religiositas yang dilengkapi sikap
toleran, saling menghargai, dan pengembangan ekspresi beragama yang terbuka. Sila kedua,
mengokohkan tekad bahwa ”ketuhanan” pada saat yang sama harus dipantulkan dalam
bentuk penghormatan kemanusiaan
sebagai prasyarat mutlak terwujudnya
keadaban publik. Sila ketiga, menghamparkan realitas sosiologis bahwa
keragaman itu akan menjadi energi positif manakala satu sama lain mengikatkan
ikrar bersatu. Sila keempat, mengisyaratkan pentingnya mengelola ruang publik
dengan cara musyawarah, dan dikunci sila kelima, yang mempercakapkan ingatan
kolektif bahwa tujuan pokok dari bernegara adalah keadilan
sosial.
Sejarah
kelahiran Pancasila melambangkan keluhuran manusia pergerakan yang datang
dari latar kultural yang berbeda untuk
saling memberi sekaligus menerima gagasan satu sama lain. Sidang-sidang
Konstituante periode itu menunjukkan semangat bukan memaksakan kebenaran,
melainkan mencari ”kebenaran” yang disepakati bersama.
Dalam
15 tahun terakhir, politik keindonesiaan sering kali diharu biru narasi
kebencian. Keindonesiaan seolah lahir
dan dipaksa tampil satu wajah. Sesuatu yang seharusnya sudah selesai
tiba-tiba ditampilkan lagi dalam panggung demokrasi lima tahunan, semata
untuk mengejar tampuk fana kekuasaan dan pragmatisme politik yang berjangka
pendek. Politisasi identitas digoreng sedemikian rupa sampai gosong, bahkan
hubungan tetangga rontok dan kekerabatan berantakan. Massa diindoktrinasi
dengan paham keagamaan sempit, arkaik, dan sangat menghinakan akal sehat.
Politik
yang seharusnya menjadi medan untuk menyeleksi pemimpin amanah, kredibel,
punya kemampuan manajerial, tiba-tiba seperti menanggung beban teologis
sehingga di panggung kampanye yang tersimak adalah sumpah seranah dan stigma
kafir, sesat, bidah kepada mereka yang tak sehaluan keyakinannya. Ayat- ayat
Tuhan dikutip bukan demi mengagungkan
Diri-Nya, melainkan sekadar cari
legitimasi, orang lain tak layak jadi pemimpin.
Survei
CSIS yang dilakukan pada 23-30 Agustus 2017 menunjukkan, pada soal keagamaan
ternyata generasi milenial yang kita pandang bisa berpikir rasional
menampakkan cara pandang politik eksklusif. Sebanyak 58,4 persen sama sekali
tak mau menerima pemimpin yang tidak sama agamanya. Sebanyak 39,15 persen
menerima pemimpin yang berbeda pilihan keyakinannya.
Jangkar
”kewargaan”
Wahid
Institute dan Lembaga Survei Indonesia merilis 10 kelompok yang sering jadi
sasaran kebencian masyarakat dan acap diartikulasikan dalam bentuk kekerasan
fisik. Mereka adalah LGBT (26,1
persen), komunis (16,1 persen), Yahudi (10,7 persen), Kristen (2,2 persen),
Syiah (1,3 persen), Wahabi (0,5 persen), Buddha (0,4 persen), China (0,4
persen), Katolik (0,4 persen), dan Khonghucu (0,1 persen).
Dari
Survei itu tergambar 59,9 persen responden
memiliki kelompok yang dibenci. Dari angka ini, 92,2 persen tidak
setuju jika anggota kelompok yang
dibenci menjadi pejabat pemerintah di negeri ini. Sementara 82,4 persen tidak
rela anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga mereka (Munawir Aziz,
2018).
Melampaui
kebencian, inilah yang jadi agenda besar politik keindonesiaan ke depan.
Pelampauan ini penting karena fakta sosial kita yang beragam dan persoalan
teologis yang sering kali dipaksa menyelesaikan segala hal ihwal. Saatnya
keragaman dan tafsir teologis
diarahkan ke upaya penguatan jangkar politik kewargaan. Kesadaran
tentang ”kewargaan” yang bisa mengokohkan kebangsaan dan kita tak lagi mudah
diprovokasi predator demokrasi dan kaum demagog yang menghalalkan segala cara
untuk meraih suara dan memburu takhta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar