Kesehatan
versus Kejahatan
Sudjito Atmoredjo ; Guru Besar Ilmu Hukum;
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
2013-2015
|
KORAN
SINDO, 24 Februari 2018
KETIKA seseorang
merayakan ulang tahun kelahirannya, dia banyak mendapatkan
perhatian, doa, disertai ucapan: ”semoga panjang umur, sehat walafiat,
banyak amal salehnya”. Sungguh bagus doa seperti itu. Betapa bahagianya
bila doa demikian terkabulkan.
Sehat itu syarat utama untuk terlaksanakannya amal saleh. Sehat dimaksud mencakup rohani, jasmani, dan sosial sebagai satu-kesatuan. Bila karena sesuatu hal kesehatan terganggu, dipastikan kesedihan, penderitaan, atau kesusahan menghinggapinya. Bahagia pun terkoyak-koyak. Amal saleh menjadi jauh dari jangkauan. Upaya penyembuhan dilakukan ke mana saja, dengan cara apa saja, betapapun untuk itu biaya besar harus dikeluarkan. Pada saat demikian, tersadarkan betapa sehat itu mahal harganya. Sehat itu besar maknanya dalam hidup. Pemahaman tentang hakikat kesehatan itu perlu diaktualisasi terus menerus. Mengapa? Karena hal itu terkait erat dengan kejahatan dan permasalahan hukum di negeri ini. Berikut ini penjelasannya. Roh atau jiwa tidak akan mati walaupun mengalami sakit. Dalam perspektif spiritual-religius, orang mati adalah ketika roh berpisah dengan jasadnya. Ketika itu jasad tak berfungsi lagi, akan membusuk, oleh karenanya perlu segera dikebumikan agar kembali ke asalnya, yakni tanah. Roh kembali menghadap Allah SWT. Jiwa menjadi sakit bila tak dirawat, dibiarkan dikuasai nafsu, dikendalikan makhluk-makhluk jahat. Tanda-tanda orang sakit jiwa adalah: (1) cinta dunia berlebihan, (2) berbuat tanpa kesadaran atau melampaui batas-batas kewajaran, (3) ingin mewariskan harta benda sampai ke tujuh keturunan, (4) usianya didera untuk mencari popularitas dan kekuasaan. Orang-orang sakit jiwa rentan berbuat jahat. Frekuensi pelanggaran terhadap hukum Tuhan, hukum alam, bahkan hukum negara sangat tinggi. Bila pengidap sakit jiwa itu legislator, misalnya, dia akan membuat hukum untuk ”tameng dan pedang” dalam menghadapi orang lain. Dipersepsikan olehnya, hidup akan aman, nyaman, dan bahagia ketika ”tameng dan pedang” hukum dalam genggamannya. Siapa pun yang dipandang mengganggu dirinya akan dibabat, dibacok, atau disabet dengan ”pedang hukum” miliknya. Orang sakit jiwa disebut orang gila. Kini di sekitar kita timbul keanehan. Banyak orang gila muncul di masjid-masjid atau rumah-rumah ibadah. Ustaz, pastor, biksu diserang membabi buta. Benarkah mereka orang gila betulan ataukah ”pura-pura gila”? Polisi dan psikolog cepat menyatakan mereka orang gila beneran. Tapi masyarakat yang masih sehat mempertanyakannya. Celaka betul ketika orang ”pura-pura gila” jumlahnya semakin banyak di negeri ini. Bisa dibayangkan betapa rusaknya hukum bila orang ”pura-pura gila” menjadi penguasa, psikolog, pemimpin, atau alat politik. Kejahatan pasti semakin merebak, tetapi penjahatnya bebas dari hukuman. Mengapa? Karena orang gila tidak bisa dihukum. Allah SWT memberi tahu hamba-hamba-Nya: ”Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya diberi pembalasan atas kejahatan itu.” Apakah setiap kejahatan mendapat balasan? Ya. Pasti. Kejahatan apa pun, sekecil atau sebesar apa pun kualitasnya, pasti ada balasannya. Itulah keadilan sejati dari Tuhan Yang Mahaadil. Keadilan sebagai wujud balasan atas kejahatan dapat berupa banyak hal seperti sakit, resah-gelisah, sedih-gundah gulana, ataupun penderitaan-penderitaan lain, termasuk terkena OTT KPK. Keadilan demikian ada yang ditimpakan seketika, ditunda, atau diazab di akhirat kelak. Begitu pula keadilan demikian dapat ditimpakan kepada anak-anak, istri, suami, atau anggota keluarga lainnya.
Apa salah mereka? Karena mereka mendorong
atau membiarkan bapaknya berbuat jahat. Setidak-tidaknya mereka menikmati
hasil kejahatan dengan kesadaran.
Krimonologi klasik mengajarkan bahwa kejahatan dapat terjadi karena dua sebab: (1) ada niat jahat dan (2) ada kesempatan. Dari sisi kejiwaan, di antara kedua sebab tersebut, sebab pertama paling kuat berpengaruh. Ketika niat jahat sudah ada, kreativitas cara-cara atau modus kejahatan akan mengiringinya. Kesempatan pun dicari atau diciptakan dengan rekayasa. Misalnya korupsi dana e-KTP. Agar korupsi terlaksana dengan aman didesainlah cara-cara korupsi sedemikian rupa: siapa mesti dilibatkan, perangkat hukum mana perlu digunakan, berapa bagian masing-masing, bagaimana melawan penegak hukum, dan sebagainya. Segalanya dipersiapkan sedemikian canggih. Celakanya, secanggih tupai melompat, kok gagal juga. Sebagian koruptornya telah masuk penjara dan sebagian lainnya dalam proses penindakan hukum. Di sekitar kita ada orang-orang kaya, populer, dan tergolong pintar. ”Dia hebat”. Akan tetapi anak-anaknya terkena narkoba, istrinya terjangkiti kanker serius. Begitu lama penderitaan dijalani, banyak uang, tenaga, waktu, dikorbankan demi penyembuhan, tetapi tak juga kunjung sehat. Waspadalah! Boleh jadi semua itu buah dari kejahatan dan wujud keadilan sejati sekaligus. Sekecil apa pun dosa dilakukan semasa hidup, Allah SWT pasti memperhitungkannya. Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah (komponen atom yang sangat kecil), niscaya dia akan merasakan balasannya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan merasakan balasannya. Sungguh elok Tuhan dengan rahmat-Nya. Hamba-hamba-Nya diberi kesempatan bertobat. Bila kejahatan itu sesuatu keburukan, obatnya adalah kebaikan. Bila kejahatan itu amal salah, obatnya adalah amal saleh. Kejahatan dapat diberantas bila bangsa ini sehat. Saudaraku, mumpung masih sehat walafiat, marilah potensi dan energi digunakan untuk kebaikan. Lawanlah segala bentuk kejahatan. Pada bangsa yang sehat itulah perilaku sosial-komunalistik mewarnai keindahan kehidupan bernegara. Wallahu a’lam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar