Senin, 26 Februari 2018

Kesehatan versus Kejahatan

Kesehatan versus Kejahatan
Sudjito Atmoredjo  ;   Guru Besar Ilmu Hukum;
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2013-2015
                                                KORAN SINDO, 24 Februari 2018



                                                           
KETIKA seseorang me­ra­ya­­kan ulang tahun ke­la­­hir­­an­nya, dia banyak men­­­da­pat­kan perhatian, doa, di­­­ser­tai ucap­an: ”semoga pa­n­jang umur, sehat walafiat, ba­nyak amal sa­leh­nya”. Sung­guh ba­gus doa seperti itu. Be­tapa ba­­ha­gia­nya bila doa de­mi­kian terkabulkan.

Sehat itu syarat utama untuk ter­laksanakannya amal saleh. Se­hat dimaksud mencakup ro­ha­ni, jasmani, dan sosial se­ba­gai satu-kesatuan. Bila karena se­suatu hal kesehatan ter­gang­gu, dipastikan kesedihan, pende­ritaan, atau kesusahan meng­hinggapinya.

Bahagia pun terkoyak-koyak. Amal sa­leh menjadi jauh dari jang­kau­an. Upaya penyembuhan d­il­a­ku­kan ke mana saja, dengan ca­ra apa saja, betapapun untuk itu bi­a­ya besar harus dikeluarkan. Pa­da saat demikian, ter­sa­dar­kan betapa sehat itu mahal har­ga­nya. Sehat itu besar ma­k­na­nya dalam hidup.

Pemahaman tentang ha­ki­kat kesehatan itu perlu di­ak­tua­li­sasi terus menerus. Me­nga­pa? Karena hal itu terkait erat de­ngan kejahatan dan perma­sa­lahan hukum di negeri ini. Be­ri­kut ini penjelasannya.

Roh atau jiwa tidak akan ma­ti walaupun mengalami sakit. Da­lam perspektif spiritual-re­li­gius, orang mati adalah ketika roh berpisah dengan jasadnya. Ke­tika itu jasad tak berfungsi la­gi, akan membusuk, oleh karena­nya perlu segera dike­bu­mi­kan agar kembali ke asalnya, yak­ni tanah. Roh kembali meng­­ha­dap Allah SWT.

Jiwa menjadi sakit bila tak di­rawat, dibiarkan dikuasai naf­su, dikendalikan makhluk-makh­­luk jahat. Tanda-tan­da orang sakit jiwa adalah: (1) cin­ta dunia ber­le­bih­an, (2) berbuat tan­­pa kesadaran atau me­lam­paui batas-batas ke­wa­jar­an, (3) ingin me­wa­­riskan harta benda sam­­pai ke tujuh keturun­an, (4) usia­nya didera un­tuk mencari p­opularitas dan kekuasaan.

Orang-orang sakit jiwa re­n­­tan berbuat ja­hat. Fre­kuensi pe­lang­­gar­an terhadap hukum T­u­­han, hukum alam, bah­­kan hu­kum negara sa­­ngat tinggi. Bila peng­­­idap sakit jiwa itu le­g­i­s­la­­tor, mi­salnya, dia akan mem­buat hu­­kum untuk ”ta­meng dan pe­dang” dalam meng­­­­ha­dapi orang lain.

Di­persepsikan ole­h­nya, hi­­dup akan aman, nyaman, dan ba­hagia ketika ”tameng dan pe­dang” hu­kum dalam geng­­gam­an­nya. Sia­pa pun yang dipan­dang men­g­gang­gu di­rinya akan d­i­babat, di­ba­cok, atau di­sa­bet dengan ”pe­dang hu­kum” miliknya.

Orang sakit jiwa disebut orang gila. Kini di sekitar kita tim­­bul keanehan. Banyak orang gila muncul di masjid-ma­s­­jid atau rumah-rumah iba­­dah. Ustaz, pastor, biksu di­­s­e­rang mem­babi buta. Benar­kah me­­­re­ka orang gila be­tul­an atau­kah ”pura-pura gi­la”? Po­li­si dan psi­kolog cepat me­­nya­ta­kan me­re­ka orang gi­la beneran. Ta­pi masya­­rakat yang masih se­hat mempertanyakannya.

Celaka betul ketika orang ”pura-pura gila” jumlahnya se­ma­kin banyak di negeri ini. Bisa di­bayangkan betapa ru­sak­nya h­u­kum bila orang ”pura-pura gi­la” menjadi pe­nguasa, psikolog, pe­mim­pin, atau alat politik. Kejahat­an pasti semakin me­re­bak, te­tapi pen­ja­hat­nya bebas dari hukuman. Me­ngapa? Karena orang gila tidak bisa dihukum.

Allah SWT memberi tahu hamba-hamba-Nya: ”Ba­rang sia­pa mengerjakan ke­ja­hat­an, nis­caya diberi pem­ba­las­an atas ke­jahatan itu.” Apa­kah setiap ke­jahatan men­da­pat balasan? Ya. Pasti. Ke­ja­hat­­an apa pun, se­ke­cil atau se­be­­sar apa pun kua­li­tas­­nya, pas­ti ada balasannya. Itu­lah ke­­adi­l­an sejati dari Tu­han Yang Mahaadil.

Keadilan sebagai wujud ba­las­an atas kejahatan dapat be­ru­­pa banyak hal seperti sakit, re­sah-gelisah, sedih-gundah gu­­la­na, ataupun penderitaan-pen­­de­ri­ta­­­a­n lain, termasuk ter­­ke­n­a OTT KPK. Keadilan de­­mi­ki­an ada yang di­tim­pa­kan se­ke­ti­ka, di­tunda, atau di­azab di ak­hi­rat ke­lak. Begitu pula keadilan de­mi­ki­an dapat di­timpakan ke­pa­da anak-anak, istri, suami, atau ang­go­ta keluarga lainnya.

 Apa sa­lah me­­reka? Karena me­re­ka men­do­rong atau mem­bi­ar­kan bapaknya ber­buat jahat. Setidak-ti­daknya me­reka menikma­­ti ha­sil kejahat­an de­ngan kesadaran.

Krimonologi klasik meng­ajar­kan bahwa kejahatan dapat ter­jadi karena dua sebab: (1) ada niat jahat dan (2) ada ke­sem­pat­an. Dari sisi kejiwaan, di antara ke­­dua sebab ter­se­but, sebab per­­ta­ma pa­ling kuat be­­r­pe­nga­ruh. Ketika niat jahat su­dah ada, kre­ativitas cara-cara atau mo­dus ke­jahatan akan meng­iringi­­nya. Kesem­pat­an pun dicari atau diciptakan de­ngan rekayasa.

Misalnya korupsi dana e-KTP. Agar korupsi terlaksana de­ngan aman didesainlah cara-ca­ra korupsi sedemikian rupa: sia­pa mesti dilibatkan, per­ang­kat hukum mana perlu di­g­u­na­kan, berapa bagian masing-masing, bagaimana melawan pe­negak hukum, dan se­ba­gai­nya.

Segalanya dipersiapkan se­de­mi­kian canggih. Celakanya, se­canggih tupai melompat, kok  ga­gal juga. Sebagian ko­rup­tor­nya telah masuk penjara dan se­ba­gian lainnya dalam proses pe­nin­dakan hukum.

Di sekitar kita ada orang-orang kaya, populer, dan ter­go­long pintar. ”Dia hebat”. Akan te­tapi anak-anaknya terkena na­r­koba, istrinya terjangkiti kanker serius. Begitu lama pen­de­ritaan dijalani, banyak uang, t­e­na­ga, waktu, dikorbankan de­mi penyembuhan, tetapi tak ju­ga kunjung sehat. Waspadalah! Bo­leh jadi semua itu buah dari ke­j­ahatan dan wujud keadilan sej­ati sekaligus.

Sekecil apa pun dosa di­la­ku­kan semasa hidup, Allah SWT pas­ti memperhitungkannya. Ma­ka barang siapa me­nger­ja­kan kebaikan seberat zarah (kom­­ponen atom yang sangat ke­cil), niscaya dia akan me­ra­sa­kan balasannya. Dan barang si­apa mengerjakan kejahatan ­se­­be­rat zarah, niscaya dia akan me­rasakan balasannya.

Sungguh elok Tuhan dengan rah­mat-Nya. Hamba-hamba-Nya diberi kesempatan ber­to­bat. Bila kejahatan itu sesuatu ke­bu­rukan, obatnya adalah ke­baik­an. Bila kejahatan itu amal sa­lah, obatnya adalah amal saleh.

Kejahatan dapat diberantas bi­la bangsa ini sehat. Saud­a­ra­ku, mum­pung masih sehat wal­a­fiat, ma­rilah potensi dan ener­gi di­gu­na­kan untuk kebaikan. La­wan­lah segala bentuk ke­ja­hat­an. Pa­da bangsa yang sehat itu­lah ­pe­rilaku ­sosial-ko­mu­na­lis­tik me­war­­nai keindahan ke­hi­dupan bernegara. Wallahu a’lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar