10
Bulan Teror Novel Baswedan
Kurnia Ramadhana ; Aktivis Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW)
|
JAWA
POS, 21 Februari 2018
TEPAT
11 Februari 2018 merupakan bulan kesepuluh pascateror yang menimpa salah
seorang penyidik KPK Novel Baswedan. Jangankan mendapatkan pelaku utama,
faktanya hingga saat ini pihak kepolisian tak kunjung berhasil mengungkap dua
orang pelaku penyiraman air keras tersebut. Lambatnya pengusutan teror itu sebenarnya
akan semakin meruntuhkan ekspektasi publik terhadap penegakan hukum di
Indonesia.
Teror
itu terjadi Novel sedang memimpin sebuah tim penyidikan untuk salah satu
kasus besar yang ditangani KPK, yakni korupsi KTP elektronik (e-KTP). Sebuah
kasus yang secara kerugian negara sangat besar dan beririsan dengan dimensi
politik. Tak main-main, dalam beberapa dakwaan jaksa KPK menyebutkan, puluhan
politikus diduga menerima aliran dana dari proyek senilai Rp 5,9 triliun
tersebut.
Rekam
jejak Novel sebagai penyidik KPK memang kerap bersentuhan dengan
perkara-perkara besar. Sebut saja kasus korupsi simulator SIM yang menyeret
Irjen Pol Djoko Susilo, lalu kasus suap pilkada yang melibatkan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, dan kasus suap cek pelawat yang
melibatkan puluhan anggota DPR RI.
Dengan
berbekal hal itu, seharusnya menjadi mudah bagi publik untuk membangun teori
kausalitas pada kejadian tersebut. Korelasi antara perkara e-KTP dan
penyiraman air keras pada Novel menjadi sangat erat. Lagi pun sudah menjadi
tradisi tersendiri ketika KPK sedang mengusut perkara besar pada waktu yang
sama diikuti dengan upaya pelemahan dari berbagai pihak.
Penyidikan
yang dilakukan kepolisian itu terbilang sudah sangat berlarut-larut. Mengacu
kepada pasal 31 Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Penanganan Perkara Pidana disebutkan beberapa tingkat kesulitan
dan batas waktu penyelesaian sebuah perkara. Mulai kategori mudah dengan
jangka waktu 30 hari, kategori sedang selama 60 hari, lalu kategori sulit
selama 90 hari, hingga kategori sangat sulit dengan batas waktu 120 hari.
Namun, realitas saat ini justru perkara yang menimpa Novel sudah jauh
melewati batas waktu tersebut.
Ketika
melihat tempat kejadian perkara (TKP), rasanya kurang tepat jika dikatakan
bahwa kejadian itu masuk kategori ’’perkara yang sangat sulit’’ untuk
diungkap. Asumsi tersebut bukan tanpa dasar. Pasalnya, barang bukti,
pemeriksaan saksi-saksi, serta CCTV sebenarnya bisa dipergunakan sebagai
bahan yang cukup kuat oleh kepolisian untuk membuat terang kejadian itu serta
menemukan pelakunya.
Pihak
kepolisian juga sudah membentuk tim gabungan dari polres, polda, dan Mabes
Polri untuk turut membantu pengusutan itu. Tidak berhenti di situ, Australia
Federal Police (AFP) pun dimintai bantuan guna mempelajari rekaman CCTV di
sekitar TKP. Bahkan, kepolisian sempat memeriksa empat orang yang diduga
terlibat dalam penyiraman air keras tersebut. Namun, ke- empat orang tersebut
dilepas begitu saja tanpa ada alasan yang jelas.
Saat
ini justru publik menilai KPK cukup melunak kepada kepolisian dalam upaya
mendorong penuntasan teror tersebut. Tatkala kejadiannya sudah seperti itu,
seharusnya KPK bertindak aktif mendorong percepatan pengungkapan pelaku teror
tersebut. Di luar dari itu sebenarnya KPK mempunyai celah hukum untuk
terlibat langsung dalam penyidikan kasus tersebut tanpa harus terus-menerus
bergantung kepada kepolisian.
Pasal
21 UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun bisa
digunakan lembaga antirasuah itu sebagai dasar hukum untuk melakukan
pengusutan lebih lanjut. Tentu harus dengan mengasumsikan bahwa pelaku teror
Novel adalah oknum yang sedang berupaya menghalang-halangi proses hukum
sebuah perkara yang sedang berjalan di KPK.
Kritik
tajam juga rasanya tepat diberikan kepada Presiden Jokowi. Bagaimana tidak,
usulan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tak kunjung
direalisasikan. Padahal, terbentuknya TGPF diyakini akan membantu tugas
kepolisian dalam upaya mengungkap motif pelaku teror tersebut. Itu sekaligus
akan memberikan kesan independen di mata publik karena nanti tim itu diisi
oleh orang-orang yang memang kompeten di bidang masing-masing.
Selain
itu, Presiden Jokowi tidak memberikan batas waktu kepada kepolisian untuk
mengungkap perkara tersebut. Jangan lupa bahwa pasal 8 UU No 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian sudah sangat tegas menyebutkan bahwa kepolisian berada di
bawah presiden. Itu berarti seorang presiden mempunyai kuasa yang besar untuk
memerintah kepolisian agar mempercepat pengungkapan teror tersebut.
Upaya
penyerangan terhadap Novel merupakan perlawanan balik yang nyata terhadap
gerakan pemberantasan korupsi. Kemauan dari penegak hukum serta kehadiran
presiden sangat diharapkan di saat-saat seperti ini. Pada akhirnya, jika
pengungkapan teror itu tidak juga terungkap, jangan salahkan publik jika
menilai rezim ini adalah rezim yang abai terhadap penegakan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar