Universalitas
dan Lokalitas Sastra
Daniel Dhakidae ; Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma,
Jakarta
|
KOMPAS,
24 Februari
2018
Setelah kembali dari Amerika Serikat,
Willibrordus Surendra Rendra mendirikan Bengkel Teater dengan suatu konsep
kesenian total. Pada suatu malam ada diskusi di sana. Di tengah para pengagum
yang bertanya, hanya sekadar meminta informasi lebih jauh atau keterangan
lebih lengkap tentang yang dibicarakan, tiba-tiba muncul seorang pemuda—27
tahunan, berambut kribo—membantah dan melecehkan diskusi yang sedang
berlangsung, dan berkata ”Ini semua debat kusir”—dia tidak membentak, malah
dengan senyum, tetapi dengan gaya nyeleneh mengecilkan semua yang sedang
dipersoalkan.
Tentu saja ini mengejutkan para hadirin,
termasuk sang bintang—namun Rendra tidak kehabisan kata-kata dan menjawab
”Kalau sekiranya yang saya hadapi adalah sapi, jenis diskusi apa yang cocok
kalau bukan debat kusir”—dan tentu sang kusir adalah Rendra sendiri.
Itulah Darmanto Jatman dan di situ pulalah
berlangsung perkenalan dengan sang penyair yang berpulang 40 hari lalu.
Universalisme dan karya sastra
Imperialisme bahasa Inggris sudah lama
berlangsung dan menerjang berbagai bangsa. Belanda mengeluh sebagaimana
dikatakan lembaga ilmu pengetahuannya, KNAW, orang Belanda tidak berbuat
banyak untuk meningkatkan mutu bahasanya sehingga bahasa Belanda berada dalam
bayang-bayang bahasa Inggris.
Yang disebut-sebut sebagai obyek paling
empuk bangsa ini adalah generasi milenial yang sejak dalam kandungan ibunya
sudah berkontak dengan teknologi dari segala aspeknya. Lewat teknologi
masuklah bahasa Inggris melalui kafe, Youtube, Twitter, dan lain-lain
sehingga berpuncak pada popularisasi gelar trivial hampir total, namun
ikonik, sebagai generasi ”zaman now”, bahasa gado-gado sempurna—Inggris lima
puluh persen dan nasional lima puluh persen.
Kalau memang inilah yang menjadi soal,
generasi ini tidak mengalahkan Darmanto Jatman, sang penyair dari Yogya, yang
sudah menjadi milenial pada tengah tahun 1970-an. Sebagai seorang baby
boomer, kelahiran 1942, ia menjadi pelopornya. Simaklah sepotong sajaknya
berikut ini:
”London meriang dalam kabut/Pekat dan
keras/Berat dan kelam/dan tiba-tiba dari dalam underground/beringas lik Parto
memanjat escalator/give me back my sun/please/Give me back my sun …/…/Sebuah
bis lewat/Dengan plakat melilit pinggangnya:/“Find out what you are
missing!”/Lik Parto pun melompat dan berteriak:/My Sun!/My Son!/Orang-orang
pun gembrenggeng dan bertanya-tanya:/Is he missing his Son?/…/Oh, poor old
man …//”.
(Sajak ”Simpatiku
untuk Lik Parto Total” dalam Istri,
Grasindo, 1997)
Caranya melukiskan London musim dingin
jauh-jauh dari trivial, malah bergumpal padat hampir-hampir tanpa porositas
sealur pun—”London meriang dalam kabut/ pekat dan keras/ Berat dan kelam”.
Dalam kepekatan dinginnya London ada seorang anak desa Jawa mencari sang
Matahari yang dalam ketiadaannya London terbenam berat dalam kelam, ”my sun”;
dalam kekelaman tak terbuka ruang untuk mendapatkan anaknya betapapun dia
berteriak: ”my son”.
Darmanto pun mempermainkan homofonia, sun
dan son, yang dalam hal ini suatu kemewahan Angleterre, dalam dada seorang
priayi Jawa tentang srengenge dan tole. Ketika sajak itu ditutup, Darmanto
kembali lagi menjadi priayi yang mengusap dada karena prihatin:
”…Aduh lae/Anake simbok/Tolene bapak/Muliha
ngger, ngger/Ngogglek srengenge kok adoh-adoh/Neng desamu srengenge
sumunar/Tanpa busana salju beku/Yang keras lagi menggigilkan/O…Lik Parto. Lik
Parto …//”
Darmanto menggoreng bahasa Inggris dalam
Indonesia, Indonesia dalam Jawa, dan sebaliknya. Genre ini bertebaran dalam
puluhan sajaknya. Dengan ini, Darmanto, ”sang milenial”, memamerkan dirinya
dalam suatu kelimpahruahan mewah dari seorang master of language concoction.
Kekristenan dan kesastraan
Chairil Anwar menjadi jauh lebih Kristen
dari seorang Kristen biasa ataupun tidak biasa ketika dalam sajak ”Isa” dia
lukiskan penderitaan Sang Kristus sebegitu padat dan pekat:
”Itu tubuh/mengucur darah/mengucur
darah/rubuh/patah/mendampar Tanya:/aku salah?//”
Di sana ada compassion sehabis-habisnya
dalam diri Chairil, dan tidak ada yang tahu dari mana semuanya berasal. Dia
hanya bisa ditandingi oleh seorang mistikus Kristen sekelas Thomas von Kempen
abad XV, atau lebih dikenal dalam nama Latin, Thomas à Kempis, yang dalam
bahasa aslinya mengatakan apud te est os meum sine voce, et silentium meum
loquitur tibi, di depanmu mulutku bisu tak bersuara; dan diamku bertutur
kepadamu—suatu kesatuan mistikal hampir mutlak dalam bahasa paradoksikal yang
bermain antara ”diam” dan ”suara”, ”kebisuan” yang ”nyaring bertutur”—let my
speechlessness talk.
Darmanto tidak mengejar menjadi seorang
sufi, tetapi seorang Kristen biasa. Namun, dia mengejar kekristenan sampai ke
sumsum, atas caranya sendiri. Simaklah sanjak berikut ini:
”Pada pagi Paskah/Mengapung mimpi
somnambulistik si Sui Lien/Nyamuk yang suka dansa swing ditingkah tembang
kinanti penglipur wuyung/Sementara angin terjun dalam wangi plumeria/Si Sui
Lin terpesona kulit hangat Jesus/…/Hai!/Jesus!…/Apakah engkau itu Jesus/Yang
serupa anak memelas/Mencoba menjajakan cinta pada turis/Bau keringat
Jesus/Membikin Sui Lien menggelinjang berahi/Memacu arus angin/Gelombang
menyikat bendungan mimpinya
…/Dan pada pagi Paskah itu/Aku terjaga di
tengah gara-gara disalibnya Jesus/Diseling kendangan para ledek dalam
tayuban:/Trek tek tek dung tek dung tek dung//”
Transformasi penyair ke dalam Sui Lien
sebenarnya suatu transformasi mistik untuk mengisap darah dari ”itu tubuh/mengucur
darah”. Begitu sensual dan begitu karnal…! Ketika sang penyair berusaha
menjawab pertanyaan Chairil ”…mendampar tanya/aku salah?”, dia kembali lagi
menjadi seorang Kristen biasa:
(Sajak ”Tell Me is There Any Reason Why
Should I be Born—Tanya si Sui Lien si Nyamuk”, kumpulan Istri, hlm 64-67)
Jawanisme Darmanto
Darmanto menulis satu buku Psikologi Jawa,
1997, di mana dibicarakan tentang penyelarasan dua ”aku” berbeda. Ada dua
”aku”, katanya, dalam diri setiap orang, yaitu ”aku-tetap” atau ”aku”
universal yang telah bebas dari keinginan-keinginan dan bisa mengawasi
dirinya sendiri. Kedua, ”aku-tak-tetap” yang berubah-ubah dan menghadirkan
diri sesuai dengan keinginan dunia di sekitarnya, yang juga memaksakan
dirinya sendiri agar yang di luar mengikuti keinginannya: di sekolah aku
pelajar; di lapangan aku jagoan bola sepak. Kalau rasa tidak dikendalikan,
keterpelajaran saya bawa ke rumah dan bisa mengacaukan pergaulan rumah
tangga; dan begitu juga kalau kejagoan dipakai untuk menyelesaikan perselisihan.
Oleh Darmanto, ”aku-tak-tetap” ini disebut
sebagai ”aku kontekstual”, yang bisa jamak jumlahnya sesuai dengan keadaan di
luarnya. Kesempurnaan hanya tercapai ketika seorang sudah mampu
mempertahankan ”aku-tetap” yang universal itu.
Untuk sampai ke tingkat ”aku-tetap”, faktor
rasa sangat menentukan dan untuk itu alat yang dipakai adalah ”rasa-catatan”
yang dikelola setiap orang terhadap benda mati, benda hidup, sesama manusia
hidup, dan rasa terhadap gagasan. Dalam berbagai teori psikologi Jawa yang
diolah dengan teliti dan detail dari pengalaman hidupnya sendiri adalah
psikologi tentang rasa dengan ”rasa-catatan”. Setiap orang mengolah
”rasa-catatan” itu dan berdasarkan itu mengatur emosinya sendiri dan
mengontrolnya untuk menjadi ”aku-tetap”.
Mengapa ilmu jiwa Jawa menjadi begitu
penting bagi Darmanto yang juga adalah seorang psikolog? Imperialisme
kognitif harus dilawan, seperti jawaban yang diberikan:
Tidak cukup sekadar kecintaan kepada Jawa
untuk mengajukan ilmu jiwa Jawa, tapi dibutuhkan suatu kuasa budaya redemptif
dan tidak koersif untuk mendudukkan ilmu jiwa ini sederajat dengan psikologi
modern—sehingga wacana ilmu pengetahuan ini bisa berlangsung dengan apik,
cekli, tidak hanya benar, tetapi juga adil, juga indah.” (vii)
Faktor apik dan indah inilah menjelma karya
puisinya yang dari satu judul ke judul lain pembaca/penikmat karyanya seperti
sedang mendengar lagu karena puisi musikal yang terdiri atas bunyi-bunyi
onomatopeik indah-cekli. Nikmati barisan paradoksal berikut:
”Aduh. Tidakkah kau peka/Akan sunyi titik
air/Menyanyi dari daun ke daun/…/Beribu orang mati di Biafra…/Beribu orang
mati di Vietnam…/Setan pun menimang-nimang bayinya:/Wah putraku panglima
generasi yang akan datang/Plak ketibang plak ketibang/Pencipta sistem anti-kemanusiaan
yang cemerlang/Plak ketibang plak ketibang/Buanglah anti-kebudayaan yang
sudah usang/Plak ketibang plak ketibang/Yang/Ketibang/Eh/ Ketibang//”
(”Dari
Kaca Jendela Kamarku Suatu Senja”
dalam Golf untuk Rakyat, Penerbit
Benteng, 1994)
Siapa Darmanto?
Psikologi Jawa akhirnya menjelaskan
peristiwa puluhan tahun lalu di Bengkel Teater tentang ”debat kusir”.
Seolah-olah mengangkat kembali soal puluhan tahun lalu itu, dia beri tekanan
pada rasa di atas pengetahuan kognitif, dan dituang dalam sajak berikut:
”Denok deblong/Pernahkah sampeyan ke pasar Beringhardjo …?/Kalau sampeyan
tutup mata sampeyan/Lalu buka telinga sampeyan/Yakinlah/Ini seminar, bukan
pasar!//” (dari sajak ”Hai Sapi” dalam Istri). Seminar = pasar = imperialisme
”kognitif” dalam satu aras. Semuanya berdasarkan keyakinannya bahwa jawanisme
itu harus menjadi diskursus alternatif yang ”apik, cekli”—tidak hanya benar,
tetapi juga adil, juga indah.
Darmanto, di pihak lain, bukan seorang
penyair epik, model Homerus dari Yunani atau Vergilius dari Roma, bahkan
Linus Suryadi AG dari Yogyakarta yang bermadah panjang-lebar tentang tokoh
dan petualangannya. Namun, dialah seorang penyair epilionik, epos kecil nan
cekli, dalam narasi-narasi indah musikal—dari Jawa, Hawai, sampai London.
Dalam arti itu, dia lebih menjadi Darmanto the jet-man, bukan sekadar
Darmanto Jatman.
Jika ditinjau lebih jauh, dirinya
terperangkap dalam tiga kutub utama kepenyairannya dan tarik-menarik dalam
ketegangan antara ketiganya menentukan siapa Darmanto. Ini juga yang menjadi
tesis utama tinjauan ini, yaitu, pertama, universalisme dalam gempuran
globalisme awal dan mutakhir yang menjelma dalam bahasa milenial
sajak-sajaknya. Kedua, kekristenan yang harus dia terjemahkan ke dalam
”aku-tetap” seperti yang dirumuskan di atas dengan mengolah ”rasa-catatan”
dan mengontrol ”aku-tak-tetap”. Ketiga, kejawaannya yang pekat, yang lebih
bersedia mengolah rasa dan bukan mengadu keterampilan kognitif.
Pertanyaan wajar selalu bisa diajukan apakah
dia berhasil mengatasi ketegangan tarikan tiga kutub itu. Dalam hal ini,
keberhasilan adalah sesuatu yang sangat muskil karena sangat relatif,
tergantung dari ukuran yang dipakai. Namun, karya-karyanya menunjukkan betapa
semuanya itu dikejar sang penyair untuk menembus batas-batas paling jauh,
paling luas, dan paling dalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar