Minggu, 25 Februari 2018

Universalitas dan Lokalitas Sastra

Universalitas dan Lokalitas Sastra
Daniel Dhakidae  ;  Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma, Jakarta
                                                     KOMPAS, 24 Februari 2018



                                                           
Setelah kembali dari Amerika Serikat, Willibrordus Surendra Rendra mendirikan Bengkel Teater dengan suatu konsep kesenian total. Pada suatu malam ada diskusi di sana. Di tengah para pengagum yang bertanya, hanya sekadar meminta informasi lebih jauh atau keterangan lebih lengkap tentang yang dibicarakan, tiba-tiba muncul seorang pemuda—27 tahunan, berambut kribo—membantah dan melecehkan diskusi yang sedang berlangsung, dan berkata ”Ini semua debat kusir”—dia tidak membentak, malah dengan senyum, tetapi dengan gaya nyeleneh mengecilkan semua yang sedang dipersoalkan.

Tentu saja ini mengejutkan para hadirin, termasuk sang bintang—namun Rendra tidak kehabisan kata-kata dan menjawab ”Kalau sekiranya yang saya hadapi adalah sapi, jenis diskusi apa yang cocok kalau bukan debat kusir”—dan tentu sang kusir adalah Rendra sendiri.

Itulah Darmanto Jatman dan di situ pulalah berlangsung perkenalan dengan sang penyair yang berpulang 40 hari lalu.

Universalisme dan karya sastra

Imperialisme bahasa Inggris sudah lama berlangsung dan menerjang berbagai bangsa. Belanda mengeluh sebagaimana dikatakan lembaga ilmu pengetahuannya, KNAW, orang Belanda tidak berbuat banyak untuk meningkatkan mutu bahasanya sehingga bahasa Belanda berada dalam bayang-bayang bahasa Inggris.

Yang disebut-sebut sebagai obyek paling empuk bangsa ini adalah generasi milenial yang sejak dalam kandungan ibunya sudah berkontak dengan teknologi dari segala aspeknya. Lewat teknologi masuklah bahasa Inggris melalui kafe, Youtube, Twitter, dan lain-lain sehingga berpuncak pada popularisasi gelar trivial hampir total, namun ikonik, sebagai generasi ”zaman now”, bahasa gado-gado sempurna—Inggris lima puluh persen dan nasional lima puluh persen.

Kalau memang inilah yang menjadi soal, generasi ini tidak mengalahkan Darmanto Jatman, sang penyair dari Yogya, yang sudah menjadi milenial pada tengah tahun 1970-an. Sebagai seorang baby boomer, kelahiran 1942, ia menjadi pelopornya. Simaklah sepotong sajaknya berikut ini:

”London meriang dalam kabut/Pekat dan keras/Berat dan kelam/dan tiba-tiba dari dalam underground/beringas lik Parto memanjat escalator/give me back my sun/please/Give me back my sun …/…/Sebuah bis lewat/Dengan plakat melilit pinggangnya:/“Find out what you are missing!”/Lik Parto pun melompat dan berteriak:/My Sun!/My Son!/Orang-orang pun gembrenggeng dan bertanya-tanya:/Is he missing his Son?/…/Oh, poor old man …//”.

(Sajak ”Simpatiku untuk Lik Parto Total” dalam Istri, Grasindo, 1997)

Caranya melukiskan London musim dingin jauh-jauh dari trivial, malah bergumpal padat hampir-hampir tanpa porositas sealur pun—”London meriang dalam kabut/ pekat dan keras/ Berat dan kelam”. Dalam kepekatan dinginnya London ada seorang anak desa Jawa mencari sang Matahari yang dalam ketiadaannya London terbenam berat dalam kelam, ”my sun”; dalam kekelaman tak terbuka ruang untuk mendapatkan anaknya betapapun dia berteriak: ”my son”.

Darmanto pun mempermainkan homofonia, sun dan son, yang dalam hal ini suatu kemewahan Angleterre, dalam dada seorang priayi Jawa tentang srengenge dan tole. Ketika sajak itu ditutup, Darmanto kembali lagi menjadi priayi yang mengusap dada karena prihatin:

”…Aduh lae/Anake simbok/Tolene bapak/Muliha ngger, ngger/Ngogglek srengenge kok adoh-adoh/Neng desamu srengenge sumunar/Tanpa busana salju beku/Yang keras lagi menggigilkan/O…Lik Parto. Lik Parto …//”

Darmanto menggoreng bahasa Inggris dalam Indonesia, Indonesia dalam Jawa, dan sebaliknya. Genre ini bertebaran dalam puluhan sajaknya. Dengan ini, Darmanto, ”sang milenial”, memamerkan dirinya dalam suatu kelimpahruahan mewah dari seorang master of language concoction.

Kekristenan dan kesastraan

Chairil Anwar menjadi jauh lebih Kristen dari seorang Kristen biasa ataupun tidak biasa ketika dalam sajak ”Isa” dia lukiskan penderitaan Sang Kristus sebegitu padat dan pekat:

”Itu tubuh/mengucur darah/mengucur darah/rubuh/patah/mendampar Tanya:/aku salah?//”

Di sana ada compassion sehabis-habisnya dalam diri Chairil, dan tidak ada yang tahu dari mana semuanya berasal. Dia hanya bisa ditandingi oleh seorang mistikus Kristen sekelas Thomas von Kempen abad XV, atau lebih dikenal dalam nama Latin, Thomas à Kempis, yang dalam bahasa aslinya mengatakan apud te est os meum sine voce, et silentium meum loquitur tibi, di depanmu mulutku bisu tak bersuara; dan diamku bertutur kepadamu—suatu kesatuan mistikal hampir mutlak dalam bahasa paradoksikal yang bermain antara ”diam” dan ”suara”, ”kebisuan” yang ”nyaring bertutur”—let my speechlessness talk.

Darmanto tidak mengejar menjadi seorang sufi, tetapi seorang Kristen biasa. Namun, dia mengejar kekristenan sampai ke sumsum, atas caranya sendiri. Simaklah sanjak berikut ini:

”Pada pagi Paskah/Mengapung mimpi somnambulistik si Sui Lien/Nyamuk yang suka dansa swing ditingkah tembang kinanti penglipur wuyung/Sementara angin terjun dalam wangi plumeria/Si Sui Lin terpesona kulit hangat Jesus/…/Hai!/Jesus!…/Apakah engkau itu Jesus/Yang serupa anak memelas/Mencoba menjajakan cinta pada turis/Bau keringat Jesus/Membikin Sui Lien menggelinjang berahi/Memacu arus angin/Gelombang menyikat bendungan mimpinya

…/Dan pada pagi Paskah itu/Aku terjaga di tengah gara-gara disalibnya Jesus/Diseling kendangan para ledek dalam tayuban:/Trek tek tek dung tek dung tek dung//”

Transformasi penyair ke dalam Sui Lien sebenarnya suatu transformasi mistik untuk mengisap darah dari ”itu tubuh/mengucur darah”. Begitu sensual dan begitu karnal…! Ketika sang penyair berusaha menjawab pertanyaan Chairil ”…mendampar tanya/aku salah?”, dia kembali lagi menjadi seorang Kristen biasa:

(Sajak ”Tell Me is There Any Reason Why Should I be Born—Tanya si Sui Lien si Nyamuk”, kumpulan Istri, hlm 64-67)

Jawanisme Darmanto

Darmanto menulis satu buku Psikologi Jawa, 1997, di mana dibicarakan tentang penyelarasan dua ”aku” berbeda. Ada dua ”aku”, katanya, dalam diri setiap orang, yaitu ”aku-tetap” atau ”aku” universal yang telah bebas dari keinginan-keinginan dan bisa mengawasi dirinya sendiri. Kedua, ”aku-tak-tetap” yang berubah-ubah dan menghadirkan diri sesuai dengan keinginan dunia di sekitarnya, yang juga memaksakan dirinya sendiri agar yang di luar mengikuti keinginannya: di sekolah aku pelajar; di lapangan aku jagoan bola sepak. Kalau rasa tidak dikendalikan, keterpelajaran saya bawa ke rumah dan bisa mengacaukan pergaulan rumah tangga; dan begitu juga kalau kejagoan dipakai untuk menyelesaikan perselisihan.

Oleh Darmanto, ”aku-tak-tetap” ini disebut sebagai ”aku kontekstual”, yang bisa jamak jumlahnya sesuai dengan keadaan di luarnya. Kesempurnaan hanya tercapai ketika seorang sudah mampu mempertahankan ”aku-tetap” yang universal itu.

Untuk sampai ke tingkat ”aku-tetap”, faktor rasa sangat menentukan dan untuk itu alat yang dipakai adalah ”rasa-catatan” yang dikelola setiap orang terhadap benda mati, benda hidup, sesama manusia hidup, dan rasa terhadap gagasan. Dalam berbagai teori psikologi Jawa yang diolah dengan teliti dan detail dari pengalaman hidupnya sendiri adalah psikologi tentang rasa dengan ”rasa-catatan”. Setiap orang mengolah ”rasa-catatan” itu dan berdasarkan itu mengatur emosinya sendiri dan mengontrolnya untuk menjadi ”aku-tetap”.

Mengapa ilmu jiwa Jawa menjadi begitu penting bagi Darmanto yang juga adalah seorang psikolog? Imperialisme kognitif harus dilawan, seperti jawaban yang diberikan:

Tidak cukup sekadar kecintaan kepada Jawa untuk mengajukan ilmu jiwa Jawa, tapi dibutuhkan suatu kuasa budaya redemptif dan tidak koersif untuk mendudukkan ilmu jiwa ini sederajat dengan psikologi modern—sehingga wacana ilmu pengetahuan ini bisa berlangsung dengan apik, cekli, tidak hanya benar, tetapi juga adil, juga indah.” (vii)

Faktor apik dan indah inilah menjelma karya puisinya yang dari satu judul ke judul lain pembaca/penikmat karyanya seperti sedang mendengar lagu karena puisi musikal yang terdiri atas bunyi-bunyi onomatopeik indah-cekli. Nikmati barisan paradoksal berikut:

”Aduh. Tidakkah kau peka/Akan sunyi titik air/Menyanyi dari daun ke daun/…/Beribu orang mati di Biafra…/Beribu orang mati di Vietnam…/Setan pun menimang-nimang bayinya:/Wah putraku panglima generasi yang akan datang/Plak ketibang plak ketibang/Pencipta sistem anti-kemanusiaan yang cemerlang/Plak ketibang plak ketibang/Buanglah anti-kebudayaan yang sudah usang/Plak ketibang plak ketibang/Yang/Ketibang/Eh/ Ketibang//”

(”Dari Kaca Jendela Kamarku Suatu Senja” dalam Golf untuk Rakyat, Penerbit Benteng, 1994)

Siapa Darmanto?

Psikologi Jawa akhirnya menjelaskan peristiwa puluhan tahun lalu di Bengkel Teater tentang ”debat kusir”. Seolah-olah mengangkat kembali soal puluhan tahun lalu itu, dia beri tekanan pada rasa di atas pengetahuan kognitif, dan dituang dalam sajak berikut: ”Denok deblong/Pernahkah sampeyan ke pasar Beringhardjo …?/Kalau sampeyan tutup mata sampeyan/Lalu buka telinga sampeyan/Yakinlah/Ini seminar, bukan pasar!//” (dari sajak ”Hai Sapi” dalam Istri). Seminar = pasar = imperialisme ”kognitif” dalam satu aras. Semuanya berdasarkan keyakinannya bahwa jawanisme itu harus menjadi diskursus alternatif yang ”apik, cekli”—tidak hanya benar, tetapi juga adil, juga indah.

Darmanto, di pihak lain, bukan seorang penyair epik, model Homerus dari Yunani atau Vergilius dari Roma, bahkan Linus Suryadi AG dari Yogyakarta yang bermadah panjang-lebar tentang tokoh dan petualangannya. Namun, dialah seorang penyair epilionik, epos kecil nan cekli, dalam narasi-narasi indah musikal—dari Jawa, Hawai, sampai London. Dalam arti itu, dia lebih menjadi Darmanto the jet-man, bukan sekadar Darmanto Jatman.

Jika ditinjau lebih jauh, dirinya terperangkap dalam tiga kutub utama kepenyairannya dan tarik-menarik dalam ketegangan antara ketiganya menentukan siapa Darmanto. Ini juga yang menjadi tesis utama tinjauan ini, yaitu, pertama, universalisme dalam gempuran globalisme awal dan mutakhir yang menjelma dalam bahasa milenial sajak-sajaknya. Kedua, kekristenan yang harus dia terjemahkan ke dalam ”aku-tetap” seperti yang dirumuskan di atas dengan mengolah ”rasa-catatan” dan mengontrol ”aku-tak-tetap”. Ketiga, kejawaannya yang pekat, yang lebih bersedia mengolah rasa dan bukan mengadu keterampilan kognitif.

Pertanyaan wajar selalu bisa diajukan apakah dia berhasil mengatasi ketegangan tarikan tiga kutub itu. Dalam hal ini, keberhasilan adalah sesuatu yang sangat muskil karena sangat relatif, tergantung dari ukuran yang dipakai. Namun, karya-karyanya menunjukkan betapa semuanya itu dikejar sang penyair untuk menembus batas-batas paling jauh, paling luas, dan paling dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar