Paradigma
Pemimpin Anti Kekerasan
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai Periset dan Tim Media
Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi
dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
23 Februari
2018
Jika
cerita tragedi besar akibat peperangan tak cukup membuat manusia berhenti
coba-coba bermain-main dengan kekerasan, maka mari mencoba mengajukan cerita
kecil berkaitan dengan pengalaman paling personal yang lirih. Nun di Jambi,
pada tahun 2000, ada seorang anak perempuan usia delapan tahun yang akhirnya
bisa melewati hari dengan menonton televisi bersama bapaknya, lalu bermain
sepakbola bersama pada sore hari. Hal sesederhana itu tidak biasa untuk anak
dari salah seorang panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bapaknya
akhirnya bisa pulang sebab Gus Dur, yang kala itu menjabat sebagai Presiden
Republik Indonesia, menerbitkan kebijakan gencatan sementara. Anak itu
mengenang, kira-kira dua bulan lamanya ia bisa merasakan kehangatan keluarga,
sebelum akhirnya Gus Dur diberhentikan dari jabatan Presiden dan ketegangan
meletus kembali. Sang bapak harus kembali lagi ke Aceh, lalu menjadi tahanan
politik pada 2003 dengan vonis hukuman penjara terlama. Beruntung, pada 2005
terselenggara penandatanganan MoU Helsinki, sang bapak pun bebas dan pulang.
"Siapa
saja tak akan bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak yang
membayangkan baru bisa bertemu bapak setelah beranjak dewasa, tapi tiba-tiba
bapaknya dibebaskan dari tahanan karena ada nota kesepakatan damai dari
daerah yang telah berkonflik sepanjang 30 tahun," begitu ia mengenang.
Awal
2018 yang disebut-sebut sebagai tahun politik jelang pesta demokrasi lima
tahunan pada 2019 disambut dengan rangkaian teror di berbagai daerah. Modus
penyerangan pada sejumlah rumah ibadah dan tokoh agama mengingatkan korban
penyerangan Operasi Naga Hijau jelang Reformasi 1998 ketika isu pembantaian
dukun santet diembuskan dan sejumlah ulama diserang dengan tujuan
memobilisasi massa dan membuat chaos.
Selain
narasi orang gila, isu kebangkitan PKI selalu berhasil untuk memicu
keributan. Bisnis ketakutan ini efektif, sebab sepanjang 32 tahun rezim Orde
Baru mengindoktrinasi masyarakat dengan imajinasi PKI sebagai pembunuh yang
kejam dan anti agama. Hingga hari ini, kata komunis menjadi momok, padahal
komunisme sesungguhnya adalah paham antikapitalisme yang dalam posisinya
sebagai filsafat pengetahuan memiliki hasrat untuk memperjuangkan
kesejahteraan ekonomi. PKI serupa pemburu yang cocok diperlawankan dengan
jiwa nasionalisme sekaligus mengincar orang-orang beragama, meskipun
sesungguhnya ia adalah hantu tanpa tubuh dan jiwa sebab telah dimatikan sejak
setengah abad lebih lalu.
Lagi-lagi
Gus Dur, sebagai Presiden, pernah mengusulkan pencabutan Tap MPRS XXV/1966
namun ditolak oleh MPR/DPR. Meskipun begitu, Gus Dur menunjukkan langkah
konkret dengan mencabut label tahanan politik, memperbolehkan mereka memilih
dalam pemilu sebagai simbol kembalinya hak-hak sebagai warga negara, dan yang
paling paripurna adalah meminta maaf kepada korban, meskipun ketika itu ia
harus berpolemik dengan kaum santri, asal identitas kulturalnya sendiri.
Teladan semacam itu menunjukkan paradigma Gus Dur sebagai pemimpin anti
kekerasan.
Selain
PKI, satu ideologi yang jiwanya hidup bersama negara ini adalah Islam.
Cherian George dalam buku Pelintiran Kebencian (2017) menjelaskan bahwa di
masa pasca-Soeharto, berbagai kelompok berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan
dan pengaruh melalui sesuatu yang dapat disebut ruang publik Islam.
Demokratisasi membawa konsekuensi yang sangat penting bagi kelompok beragama
garis-keras, yakni barisan kekuatan politik yang memimpikan berdirinya negara
Islam, sesuatu yang bertentangan dengan civil Islam. Pada praktiknya, basis
massa yang menonjolkan eksklusivitasnya ini juga sering menimbulkan
gelombang, dan sering juga disikapi secara kurang tepat oleh negara. George
menggambarkan, beberapa kepentingan memanfaatkan dengan menghidupinya,
beberapa yang lain juga menstigma mereka dengan sebutan kaum radikal, kaum
makar, dan lain-lain.
Generasi
yang lahir dekade 90-an, sesungguhnya adalah generasi milenial sekaligus
generasi ketiga yang tidak berpretensi menjadi pendendam. Tragedi besar
dekade 60-an, lalu berbagai peristiwa kekerasan HAM dalam kurun rezim Orde
Baru, dialami nyata oleh kakek atau nenek dalam struktur sebuah keluarga yang
kemudian mewariskan cerita menakutkan kepada bapak atau ibu. Tetapi, pada
generasi milenial, tensi ketakutan itu sudah berkurang bahkan hilang sama
sekali sebab mereka tidak hidup bersama pengalaman berdarah tersebut.
Merujuk
beberapa peristiwa teror dan kekerasan yang terjadi beberapa waktu ini,
sepertinya Presiden Jokowi perlu lebih berhati-hati dan mengevaluasi beberapa
sikap. Ada beberapa catatan terkait, seperti seruan "gebuk PKI"
yang telah dilontarkan Presiden Jokowi sebanyak dua kali antara lain ketika
menjamu redaksi media massa di Istana pada 17/5/2017 dan Simposium Nasional
Kebudayaan pada 20/11/2017. Ujaran Jokowi sebetulnya memberikan penegasan
pada PKI yang telah dilarang sehingga tidak mungkin bangkit lagi, tetapi
pemilihan kata "gebuk" ternyata memiliki muatan psikologis
kekerasan dan justru mendelegitimasi sejumlah massa untuk bertindak brutal.
Contoh,
pada pertengahan September, kantor LBH Jakarta yang mengadakan serangkaian
diskusi dan kegiatan berkesenian didatangi massa "tak dikenal".
Ratusan orang melempari bangunan dengan batu, berteriak sangat provokatif dan
menuding acara digerakkan oleh PKI.
Kebijakan
Presiden Jokowi mengizinkan nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI yang
kebenaran sejarahnya diragukan pada September 2017 lalu sesungguhnya adalah
langkah mundur. Generasi ketiga yang lebih apresiatif kepada semua pemikiran,
juga mudah mengakses segala informasi di internet memiliki kemampuan mencari
kebenaran secara mandiri. Tetapi, tentu saja dampak buruk tidak bisa
dihindari. Banyak berita beredar mengenai massa yang menangkap, mempersekusi
dan menganiaya orang hanya karena mengenakan kaos atau atribut yang
sebetulnya tidak berpreferensi PKI. Massa yang melakukan aksi kekerasan itu
digerakkan oleh ketakutan buta sebab percaya pada berita bohong (hoax) yang
menyebar lewat media sosial.
Pada
situasi genting tahun politik ini, pemimpin dengan paradigma anti kekerasan
harus menunjukkan komitmen dengan cara menekan ketakutan dan meredakan
ketegangan antarkelompok. Paradigma anti kekerasan pada masa kini harus
berangkat dari pola pikir adil dalam melihat sejarah masa lalu dan menegaskan
prinsip-prinsip demokrasi yang mendukung kemerdekaan tiap-tiap warga negara
untuk menyatakan pendapat dan pilihan politiknya.
Generasi
masa kini adalah generasi jernih yang ingin bergerak ke depan dalam skema
demokrasi yang sehat. Alat negara yang menindak tegas pihak-pihak mana yang
menjadi pemicu ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan, sebaiknya tidak hanya
memberikan tontonan kekerasan versus kekerasan, melainkan memberikan
pendidikan lanjut kepada publik dengan memberikan informasi yang
seluas-luasnya perihal identitas kelompok pelaku kekerasan dan motif apa yang
mendorong pergerakannya. Generasi ketiga anti kekerasan adalah generasi yang
tidak percaya lagi pada rumor ninja, narasi orang gila, atau orang-orang tak
dikenal yang menghilang begitu saja setelah teror berhasil dijalankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar