Bu
Dendy Kok Bisa Trendy?
Xavier Quentin Pranata ; yang
terus belajar mendengar masukan orang lain
demi perbaikan diri
|
DETIKNEWS,
23 Februari
2018
Seperti fashion, ketik
kata kunci 'Bu Dendy' maka sekejap Anda akan mendapat tautan banyak sekali
tentang ulah seorang mamah muda yang memarahi seorang sahabatnya sambil
menyebar uang lima ratus juta. Ceritanya, Ovie, pengunggah video tersebut di
Facebook, mencaci maki Nyla, sahabatnya sendiri yang dia tuduh menjadi
pelakor. Dalam sekejap saja video itu menjadi virus yang begitu cepat menular
alias viral.
Saat seorang pimpinan
media online mengirimi saya link-nya, saya pun sempat menghentikan aktivitas
dan melihat video yang berdurasi singkat itu. Singkat tapi melesat. Sambil
melihat, sel-sel abu-abu di belakang kepala saya seakan berputar dengan cepat
memutar cakram ingatan tentang peristiwa yang mirip dengan itu.
Peristiwa pertama terjadi
di Hong Kong. Seorang ibu yang tersinggung berat oleh pramuniaga sebuah toko
melemparkan segepok uang ke muka penjaga toko itu, dan meninggalkannya begitu
saja. Sikapnya begitu arogan. Dia merasa menang? Kalah! Meskipun
dipermalukan, pramuniaga itu seperti kejatuhan durian. Kaya mendadak. Kedua, dua
orang sahabat sedang jalan-jalan petang hari. Tiba-tiba sebuah koin terjatuh
dari saku temannya. Sang sahabat yang merasa diri orang super-rich, segera
mengeluarkan uang 100 dolar AS dan membakarnya untuk menjadi penerang guna
mencari koin yang jatuh itu. Arogan plus bodoh!
Saat membaca kemarahan
netizen terhadap 'video Bu Dendy' tadi, saya tersedak. Bebauan tak sedap
menguar dari komentar itu. Namun, justru dari situlah saya bisa sedikit
membaca tanda-tanda zaman edan ini.
Pertama, begitu mudahnya
makhluk zaman now mengunggah aib orang tanpa berpikir seberapa jauh jangkauan
bau tak sedap itu. Sekali diunggah terlambat sudah.
Seorang ibu menggosipkan
seorang romo bahwa dia punya simpanan, padahal kita tahu romo hidup selibat.
Saat meminta maaf, romo mengampuni ibu itu dengan satu syarat sebagai
pelajaran. Romo meminta ibu itu untuk membawakan sebuah bantal dan
mengikutinya ke ruang lonceng di menara gereja yang paling tinggi. Sesampai
di atas, romo itu menyodorkan sebuah gunting. Saat ibu itu menggunting bantal
itu, kapuk segera tersebar dan tertiup angin ke mana-mana.
"Sudah selesai,
Romo," kata ibu itu, "Apa yang harus saya kerjakan berikutnya. Saya
siap melaksanakan hukuman ini."
"Ambil kembali setiap
butir kapas yang terlepas dari bantal ini," jawab romo itu.
Ibu itu pucat pasi.
Kedua, saat kita melabrak
seseorang dengan penuh emosi, kita lupa bahwa reaksi yang salah terhadap aksi
yang salah pun bisa menuai badai. Terbukti di antara sekian 'komentator'
dadakan itu ada yang 'membela' pelakor, bahkan ada yang membalas dengan
mengungkapkan aib lama bahwa penuduh, dulunya pelaku juga. "Bumerang
yang kita lempar dengan garang ke orang tanpa perhitungan matang, bisa jadi
malah kembali menjadi penyerang dan membuat kita mengerang," begitu
tulisan yang saya berikan kepada seorang sahabat yang meminta pendapat saya
tentang video viral ini.
Ketiga, akal sehat dan
tubuh yang kuat bisa dikalahkan oleh hasrat sesaat emosi yang melesat. Saya
percaya seandainya pelempar uang dan pengunggah video itu mau berhenti sesaat
untuk berpikir beberapa saat, bisa jadi ceritanya berbeda. "Hati boleh
panas, tetapi kepala tetap dingin" merupakan rambu yang tetap teruji
validitasnya.
Keempat, jika keinginan
akan materi menaklukkan kebutuhan hakiki insani, sahabat sebaik apa pun bisa
menikamkan belati beracunnya ke hati kita tanpa peri. Kita bisa terus
menggelengkan kepala kita dan mengelus dada tiada henti saat semakin banyak
orang yang menghalalkan segala --hoax, hate speech, black campaign-- untuk
mengundang clickbait dan mendulang iklan.
Kelima, saat nurani makin
termarginalisasi, kita bisa terpeleset dari pijakan batu kokoh penghakiman ke
jurang yang menjungkalkan diri saat mendapat kesempatan yang sama. Nasihat
pun masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Ketimbang menghakimi Bu
Dendy dan malah menjadikannya semakin trendy, bukankah jauh lebih elok jika
kita bercermin dan melihat ke dalam relung hati kita yang terdalam dengan
satu pertanyaan, "Sudahkah kita membuang gajah di pelupuk mata kita
sendiri ketimbang memamerkan selumbar di pelupuk mata orang?" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar