Minggu, 25 Februari 2018

Peran BUMN dalam Sinergi Menaikkan Ekspor

Peran BUMN dalam Sinergi Menaikkan Ekspor
Arman Hakim Nasution  ;  Dosen Manajemen Bisnis ITS;  
Komisaris salah satu BUMN strategis
                                                    JAWA POS, 14 Februari 2018



                                                           
DALAM rapat kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag), Presiden Jokowi memerintahkan jajarannya dapat meningkatkan ekspor. Instruksi tersebut ditanggapi dengan kenaikan target ekspor nonmigas (sektor industri) dari 5–7 persen pada 2017 (senilai USD 152,99 miliar) menjadi 11 persen pada 2018 (senilai USD 169,11 miliar).

Bagaimana pelaku industri merealisasi target tersebut? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebelum 1998 pertumbuhan industri manufakturlah yang menghela pertumbuhan ekonomi dengan bisa tumbuh 13–14 persen, sementara pertumbuhan ekonomi saat itu 7 persen.

Sedangkan pascareformasi, pertumbuhan ekonomilah yang menghela pertumbuhan industri manufaktur. Sebab, pertumbuhan ekonomi melorot ke 5–6 persen sebagai akibat pertumbuhan industri manufaktur yang anjlok hingga 3 persen. Hingga 2016,tren tersebut berlanjut.Akibatnya, muncul ide revitalisasi industri manufaktur dan ekonomi Indonesia digerakkan oleh sector perdagangan.

Mengapa Industri Manufaktur?

Mengindikasikan bahwa ada ego sektoral dan konflik KPI (key performance indicator) antara Kemendag dan Kemenperin. Konflik itu mencerminkan keberpihakan pemerintah di era reformasi tentang pola pikir ”Kalau bisa beli (dengan murah), kenapa harus buat?”.

Padahal, bila kita melakukan industrialisasi, keuntungan jangka panjangnya sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang mampu menyerap tenaga kerja. Pada 2010 ke belakang, 1 persen pertumbuhan mampu menyerap 400–500 ribu tenaga kerja. Sedangkan pada pertengahan 2015, 1 persen pertumbuhan hanya mampu menyerap sekitar 250 ribu tenaga kerja.

Kedua, adanya learning effect, dampak ke produktivitas dan keterampilan akibat konsisten melakukan kegiatan produksi (Arman dan Hermawan, 2012).

Ketiga, menggeser pengalaman industri ke fungsi bisnis yang memberikan nilai tambah yang lebih tinggi pada kurva smiling Stan Shih (supply chain economic curve). Di era Jokowi-JK, desain revitalisasi industri manufaktur mulai digenjot pada 2017. Yakni melalui berbagai paket kebijakan bisnis plus pembenahan BUMN. Dari sisi paket kebijakan bisnis, dikeluarkan 16 paket ke- bijakan hingga Agustus 2017 untuk mendorong akselerasi investasi sektor swasta kepada industri.

Dari sisi pembenahan BUMN, Kemenkeu dan Kementerian BUMN menargetkan semua BUMN harus mampu mendapatkan laba bersih pada 2017 dan bila 2018 masih merugi akan ditutup atau dimerger. Dari 20 BUMN yang masih merugi pada triwulan III 2017, pada akhir triwulan IV 2017 sebanyak 13 BUMN telah mampu menghasilkan laba bersih. Suatu prestasi yang tinggi melalui konsep sinergi BUMN.

Sebagai pilar kedua APBN setelah pajak, BUMN memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. Data penelitian OECD (2009) menunjukkan peran penting BUMN atau state owner equity (SOEs) di kawasan Asia. Misalnya Singapura (23 persen), Thailand (37 persen), Malaysia (68 persen), India (59 persen), dan Indonesia (69 persen). Di negara maju seperti Jerman, Finlandia, Yunani, dan Prancis, peran SOEs mengecilberturut-turutsebesar11persen, 13 persen, 15 persen, dan 17 persen. Meski mengecil, BUMN di negara maju tersebut berfokus di bidang financing sehingga tetap berperan besar dalam menggerakkan proyekproyek joint dengan sektor swasta.

Dengan peran 69 persen, data OECD tersebut bisa diartikan, dari 100 perusahaan terbesar yang ada, terdapat 69 BUMN. Dengan demikian, BUMN di Indonesia berperan besar dalam menggerakkan perekonomian. Demikian juga kalau rugi, dampaknya akan menggoyang perekonomian secara tidak langsung.

Solusi Alternatif

Setelah langkah penyehatan, BUMN ke depan harus makin menumbuhkan kultur dan mindset efisien sebagaimana sektor swasta. Beberapa target ekspor perlu dibebankan kepada BUMN pada 2018 dengan bekerja sama dengan swasta. Dengan begitu, target peningkatan sebesar 11 persen tersebut bisa dicapai.

Kenapa harus ekspor? Di satu sisi, kegiatan ekspor menunjukkan bahwa ”pengakuan kualitas” produk dalam negeri BUMN oleh negara lain berimplikasi pada branding dan trust. Di sisi lain, peningkatan ekspor bertujuan menaikkan PDB nasional. Dengan begitu, akan dihasilkan pertumbuhan ekonomi yang juga berkualitas sebagaimana penjelasan manfaat industri sebelumnya. Yang lebih penting, bagaimana bisa mengefisienkan perwakilan dagang dan organ ikutannya seperti Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) yang menyedot anggaran cukup besar.

Era bisa berubah. Presidan bisa berganti. Namun, merestrukturisasi organisasi/badan ikutan di bawah holding membutuhkan waktu panjang. Dengan pendekatan system thinking, merestrukturisasi organisasi/badan ikutan menjadi penting untuk bisa menghasilkan ”gunung es” yang sukses secara holistis.

Kalau BUMN bisa mengekspor, peningkatan ekspor bisa disinergikan antara BUMN, BUMD, dan BUMDes sesuai dengan konsep industri unggulan dalam Bangun Industri Nasional yang sudah sangat ideal di tataran konsep, tetapi mentah di tingkat implementasi karena ego sektoral departemen lain yang tidak mendukung konsep sinergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar