Peran
BUMN dalam Sinergi Menaikkan Ekspor
Arman Hakim Nasution ; Dosen Manajemen Bisnis ITS;
Komisaris salah satu BUMN
strategis
|
JAWA
POS, 14 Februari 2018
DALAM rapat kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag),
Presiden Jokowi memerintahkan jajarannya dapat meningkatkan ekspor. Instruksi
tersebut ditanggapi dengan kenaikan target ekspor nonmigas (sektor industri)
dari 5–7 persen pada 2017 (senilai USD 152,99 miliar) menjadi 11 persen pada
2018 (senilai USD 169,11 miliar).
Bagaimana
pelaku industri merealisasi target tersebut? Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan, sebelum 1998 pertumbuhan industri manufakturlah yang menghela
pertumbuhan ekonomi dengan bisa tumbuh 13–14 persen, sementara pertumbuhan
ekonomi saat itu 7 persen.
Sedangkan
pascareformasi, pertumbuhan ekonomilah yang menghela pertumbuhan industri
manufaktur. Sebab, pertumbuhan ekonomi melorot ke 5–6 persen sebagai akibat
pertumbuhan industri manufaktur yang anjlok hingga 3 persen. Hingga 2016,tren
tersebut berlanjut.Akibatnya, muncul ide revitalisasi industri manufaktur dan
ekonomi Indonesia digerakkan oleh sector perdagangan.
Mengapa
Industri Manufaktur?
Mengindikasikan
bahwa ada ego sektoral dan konflik KPI (key performance indicator) antara
Kemendag dan Kemenperin. Konflik itu mencerminkan keberpihakan pemerintah di
era reformasi tentang pola pikir ”Kalau bisa beli (dengan murah), kenapa
harus buat?”.
Padahal,
bila kita melakukan industrialisasi, keuntungan jangka panjangnya sebagai
berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang mampu menyerap
tenaga kerja. Pada 2010 ke belakang, 1 persen pertumbuhan mampu menyerap
400–500 ribu tenaga kerja. Sedangkan pada pertengahan 2015, 1 persen
pertumbuhan hanya mampu menyerap sekitar 250 ribu tenaga kerja.
Kedua,
adanya learning effect, dampak ke produktivitas dan keterampilan akibat
konsisten melakukan kegiatan produksi (Arman dan Hermawan, 2012).
Ketiga,
menggeser pengalaman industri ke fungsi bisnis yang memberikan nilai tambah
yang lebih tinggi pada kurva smiling Stan Shih (supply chain economic curve).
Di era Jokowi-JK, desain revitalisasi industri manufaktur mulai digenjot pada
2017. Yakni melalui berbagai paket kebijakan bisnis plus pembenahan BUMN. Dari
sisi paket kebijakan bisnis, dikeluarkan 16 paket ke- bijakan hingga Agustus
2017 untuk mendorong akselerasi investasi sektor swasta kepada industri.
Dari
sisi pembenahan BUMN, Kemenkeu dan Kementerian BUMN menargetkan semua BUMN
harus mampu mendapatkan laba bersih pada 2017 dan bila 2018 masih merugi akan
ditutup atau dimerger. Dari 20 BUMN yang masih merugi pada triwulan III 2017,
pada akhir triwulan IV 2017 sebanyak 13 BUMN telah mampu menghasilkan laba
bersih. Suatu prestasi yang tinggi melalui konsep sinergi BUMN.
Sebagai
pilar kedua APBN setelah pajak, BUMN memegang peran penting dalam pertumbuhan
ekonomi. Data penelitian OECD (2009) menunjukkan peran penting BUMN atau
state owner equity (SOEs) di kawasan Asia. Misalnya Singapura (23 persen),
Thailand (37 persen), Malaysia (68 persen), India (59 persen), dan Indonesia
(69 persen). Di negara maju seperti Jerman, Finlandia, Yunani, dan Prancis,
peran SOEs mengecilberturut-turutsebesar11persen, 13 persen, 15 persen, dan
17 persen. Meski mengecil, BUMN di negara maju tersebut berfokus di bidang
financing sehingga tetap berperan besar dalam menggerakkan proyekproyek joint
dengan sektor swasta.
Dengan
peran 69 persen, data OECD tersebut bisa diartikan, dari 100 perusahaan
terbesar yang ada, terdapat 69 BUMN. Dengan demikian, BUMN di Indonesia
berperan besar dalam menggerakkan perekonomian. Demikian juga kalau rugi,
dampaknya akan menggoyang perekonomian secara tidak langsung.
Solusi
Alternatif
Setelah
langkah penyehatan, BUMN ke depan harus makin menumbuhkan kultur dan mindset
efisien sebagaimana sektor swasta. Beberapa target ekspor perlu dibebankan
kepada BUMN pada 2018 dengan bekerja sama dengan swasta. Dengan begitu,
target peningkatan sebesar 11 persen tersebut bisa dicapai.
Kenapa
harus ekspor? Di satu sisi, kegiatan ekspor menunjukkan bahwa ”pengakuan
kualitas” produk dalam negeri BUMN oleh negara lain berimplikasi pada
branding dan trust. Di sisi lain, peningkatan ekspor bertujuan menaikkan PDB
nasional. Dengan begitu, akan dihasilkan pertumbuhan ekonomi yang juga
berkualitas sebagaimana penjelasan manfaat industri sebelumnya. Yang lebih
penting, bagaimana bisa mengefisienkan perwakilan dagang dan organ ikutannya
seperti Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) yang menyedot anggaran cukup
besar.
Era
bisa berubah. Presidan bisa berganti. Namun, merestrukturisasi
organisasi/badan ikutan di bawah holding membutuhkan waktu panjang. Dengan
pendekatan system thinking, merestrukturisasi organisasi/badan ikutan menjadi
penting untuk bisa menghasilkan ”gunung es” yang sukses secara holistis.
Kalau
BUMN bisa mengekspor, peningkatan ekspor bisa disinergikan antara BUMN, BUMD,
dan BUMDes sesuai dengan konsep industri unggulan dalam Bangun Industri
Nasional yang sudah sangat ideal di tataran konsep, tetapi mentah di tingkat
implementasi karena ego sektoral departemen lain yang tidak mendukung konsep
sinergi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar