Senin, 26 Februari 2018

Cara Beragama Kita

Cara Beragama Kita
A Helmy Faishal Zaini  ;   Sekjen PB Nahdlatul Ulama
                                                    JAWA POS, 22 Februari 2018



                                                           
DI sekali kesempatan, Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj menyampaikan bahwa tidak ada gunanya orang beragama jika tidak melakukan tiga hal. Pertama, terusmenerus menyerukan sedekah. Kedua, selalu berbuat baik. Ketiga, mengupayakan rekonsiliasi atau perdamaian kemanusiaan.

Apa yang dikatakan Kiai Said merupakan tafsirannya atas surah An Nisa 114. Sebuah tafsir yang, dalam hemat saya, tidak hanya sangat kontekstual. Namun lebih dari itu, semakin menemukan titik relevansinya jika kita kelindankan dengan pola keberagamaan kita hari ini..

Tiga Dimensi

Tiga dimensi ”kebaikan dalam beragama” yang diungkapkan di atas, sesungguhnya lebih kental nuansa ibadah sosialnya. Itu berarti kesalehan sosial juga memiliki derajat yang tidak kalah penting dengan kesalehan yang sifatnya ritus dan ubudiyah semata.

Pada poin pertama, agama berguna jika pribadi yang beragama terusmenerus menyerukan sedekah. Derma, itulah sejatinya inti ajaran Islam. Dalam kegiatan berbagi, bederma, atau bersedekah, ada kasih sayang dan juga perhatian terhadap sesama. Bahkan, di banyak kesempatan telah diungkapkan cerita kedahsyatan bederma itu. Salah satunya, misalnya, yang paling fenomenal dan menyentuh hati adalah kisah tentang derma seorang (maaf ) pelacur yang memberi minum seekor anjing yang mengalami kehausan. Dikisahkan, atas sebab amalnya itulah, pelacur tersebut dimasukkan Tuhan ke dalam surga-Nya.

Poin kedua, yakni terus-menerus mengupayakan berbuat baik. Artinya, dimensi perintah yang disampaikan Tuhan kepada hambanya adalah agar mereka selalu berusaha dan berupaya untuk berbuat baik secara kontinu. Yang dicatat Tuhan bukanlah hasil perbuatan baik tersebut, melainkan justru upaya dan usaha berbuat baik itu sendiri.

Poin ketiga, terus-menerus mengupayakan rekonsiliasi atau perdamaian kemanusiaan. Poin tersebut juga tidak kalah penting. Agama sangat menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.
Patologi Agama

Yang menarik adalah, terutama kaitannya langsung dengan poin ketiga, ada sebuah wabah beragama yang belakangan gejalanya sangat mengkhawatirkan. Wabah tersebut jika dibiarkan akan menjadi patologi. Apa wabah yang dimaksud? Meminjam istilah Jean Couteau (2017), patologi itu diistilahkan dengan delirium religiosum yang memiliki ciri antara lain yang paling menonjol. Umat beragama sudah dihinggapi delusi obsesif-kompulsif karena merasa dirinya menjadi religius; terus ingin semakin religius sekaligus di saat yang bersamaan mereka menegasikan apa dan siapa saja yang berada di luar diri, pemahaman, cara pandang, dan keyakinan mereka.

Kasus pembakaran pencuri amplifier di Bekasi beberapa bulan lalu merupakan bukti nyata mengkristalnya patologi sosial itu. Agama dijadikan alat untuk melegitimasi tindakan persekusi: membakar hidup-hidup seorang anak manusia. Agama yang pada dasarnya memiliki watak melindungi, akibat serangan penyakit sosial delirium religiosum ini, menjadi institusi yang mengerikan. Agama bukan dimaknai sebagai medium untuk menebarkan perdamaian. Justru sebaliknya, agama digunakan sebagai alat untuk menaburkan kebencian.

Pada konteks ini, yakni dari mana muasal kebencian, saya ingin mengutip apa yang dikatakan Emmanuel Levinas (1986). Dia mengatakan bahwa benih kebencian muncul ketika seseorang merasa terusik dengan kehadiran orang lain, juga ketika kenyamanan dan kebebasan seseorang dipertanyakan orang lain.

Patologi sosial dalam beragama juga bisa kita baca dari kasus Intan Olivia, anak korban bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, atau pada kejadian-kejadian terkini seperti pemukulan terhadap KH Umar Basri, penganiayaan terhadap HR Prawoto (pimpinan Persis), dan juga penyerangan terhadap Gereja Santa Lidwina di Jogjakarta.

Memandang orang lain yang di luar keyakinannya sebagai liyan adalah pangkal patologi sosial jenis ini. Padahal, dalam pelbagai literatur disebutkan, sebut saja misalnya yang dikatakan Al Masudi (1997) dalam Murujud Dzahab bahwa bangsa Nusantara adalah bangsa yang sangat kosmopolit, yang memiliki kerangka pemahaman bahwa yang asing adalah bagian yang bisa menyempurnakan diri. Tidak ada istilah liyan. Bukan malah dianggap musuh yang halal diperangi.

Karena itu, bangsa Nusantara sangat menghargai perbedaan. Suprastruktur dan infrastruktur pemikiran dan kebudayaan mereka sudah sa ngat maju dalam menyikapi perbedaan. Dalam pada itu, kerukunan antar keyakinan termaktub jelas dalam khazanah Nusantara. Salah duanya dalam Negarakertagama gubahan Empu Prapanca yang hidup di masa Rajasanegara atau Hayam Wuruk (1365–1389) atau juga dalam Kakawin Sutasoma anggitan Empu Tantular yang salah satu baitnya sangat terkenal: Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Manruwa (Berbeda namun Tetap Tunggal, Sebab Kebenaran Tidak Akan Pernah Mendua).

Alakullihal, dalam konteks menghadapi tantangan beragama kita, adalah janganlah semangat beragama kita jauh melebihi semangat untuk mempelajari, merenungi, dan menghayati agama itu sendiri. Wallahu a’lam bis-sawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar