Cara
Beragama Kita
A Helmy Faishal Zaini ; Sekjen PB Nahdlatul Ulama
|
JAWA
POS, 22 Februari 2018
DI
sekali kesempatan, Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj menyampaikan bahwa
tidak ada gunanya orang beragama jika tidak melakukan tiga hal. Pertama,
terusmenerus menyerukan sedekah. Kedua, selalu berbuat baik. Ketiga,
mengupayakan rekonsiliasi atau perdamaian kemanusiaan.
Apa
yang dikatakan Kiai Said merupakan tafsirannya atas surah An Nisa 114. Sebuah
tafsir yang, dalam hemat saya, tidak hanya sangat kontekstual. Namun lebih
dari itu, semakin menemukan titik relevansinya jika kita kelindankan dengan
pola keberagamaan kita hari ini..
Tiga
Dimensi
Tiga
dimensi ”kebaikan dalam beragama” yang diungkapkan di atas, sesungguhnya
lebih kental nuansa ibadah sosialnya. Itu berarti kesalehan sosial juga
memiliki derajat yang tidak kalah penting dengan kesalehan yang sifatnya
ritus dan ubudiyah semata.
Pada
poin pertama, agama berguna jika pribadi yang beragama terusmenerus
menyerukan sedekah. Derma, itulah sejatinya inti ajaran Islam. Dalam kegiatan
berbagi, bederma, atau bersedekah, ada kasih sayang dan juga perhatian
terhadap sesama. Bahkan, di banyak kesempatan telah diungkapkan cerita
kedahsyatan bederma itu. Salah satunya, misalnya, yang paling fenomenal dan
menyentuh hati adalah kisah tentang derma seorang (maaf ) pelacur yang
memberi minum seekor anjing yang mengalami kehausan. Dikisahkan, atas sebab
amalnya itulah, pelacur tersebut dimasukkan Tuhan ke dalam surga-Nya.
Poin
kedua, yakni terus-menerus mengupayakan berbuat baik. Artinya, dimensi
perintah yang disampaikan Tuhan kepada hambanya adalah agar mereka selalu
berusaha dan berupaya untuk berbuat baik secara kontinu. Yang dicatat Tuhan
bukanlah hasil perbuatan baik tersebut, melainkan justru upaya dan usaha
berbuat baik itu sendiri.
Poin
ketiga, terus-menerus mengupayakan rekonsiliasi atau perdamaian kemanusiaan.
Poin tersebut juga tidak kalah penting. Agama sangat menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.
Patologi
Agama
Yang
menarik adalah, terutama kaitannya langsung dengan poin ketiga, ada sebuah
wabah beragama yang belakangan gejalanya sangat mengkhawatirkan. Wabah
tersebut jika dibiarkan akan menjadi patologi. Apa wabah yang dimaksud?
Meminjam istilah Jean Couteau (2017), patologi itu diistilahkan dengan
delirium religiosum yang memiliki ciri antara lain yang paling menonjol. Umat
beragama sudah dihinggapi delusi obsesif-kompulsif karena merasa dirinya
menjadi religius; terus ingin semakin religius sekaligus di saat yang
bersamaan mereka menegasikan apa dan siapa saja yang berada di luar diri,
pemahaman, cara pandang, dan keyakinan mereka.
Kasus
pembakaran pencuri amplifier di Bekasi beberapa bulan lalu merupakan bukti
nyata mengkristalnya patologi sosial itu. Agama dijadikan alat untuk
melegitimasi tindakan persekusi: membakar hidup-hidup seorang anak manusia.
Agama yang pada dasarnya memiliki watak melindungi, akibat serangan penyakit
sosial delirium religiosum ini, menjadi institusi yang mengerikan. Agama
bukan dimaknai sebagai medium untuk menebarkan perdamaian. Justru sebaliknya,
agama digunakan sebagai alat untuk menaburkan kebencian.
Pada
konteks ini, yakni dari mana muasal kebencian, saya ingin mengutip apa yang
dikatakan Emmanuel Levinas (1986). Dia mengatakan bahwa benih kebencian
muncul ketika seseorang merasa terusik dengan kehadiran orang lain, juga
ketika kenyamanan dan kebebasan seseorang dipertanyakan orang lain.
Patologi
sosial dalam beragama juga bisa kita baca dari kasus Intan Olivia, anak
korban bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, atau pada kejadian-kejadian
terkini seperti pemukulan terhadap KH Umar Basri, penganiayaan terhadap HR
Prawoto (pimpinan Persis), dan juga penyerangan terhadap Gereja Santa Lidwina
di Jogjakarta.
Memandang
orang lain yang di luar keyakinannya sebagai liyan adalah pangkal patologi
sosial jenis ini. Padahal, dalam pelbagai literatur disebutkan, sebut saja
misalnya yang dikatakan Al Masudi (1997) dalam Murujud Dzahab bahwa bangsa
Nusantara adalah bangsa yang sangat kosmopolit, yang memiliki kerangka
pemahaman bahwa yang asing adalah bagian yang bisa menyempurnakan diri. Tidak
ada istilah liyan. Bukan malah dianggap musuh yang halal diperangi.
Karena
itu, bangsa Nusantara sangat menghargai perbedaan. Suprastruktur dan
infrastruktur pemikiran dan kebudayaan mereka sudah sa ngat maju dalam
menyikapi perbedaan. Dalam pada itu, kerukunan antar keyakinan termaktub
jelas dalam khazanah Nusantara. Salah duanya dalam Negarakertagama gubahan
Empu Prapanca yang hidup di masa Rajasanegara atau Hayam Wuruk (1365–1389)
atau juga dalam Kakawin Sutasoma anggitan Empu Tantular yang salah satu
baitnya sangat terkenal: Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Manruwa
(Berbeda namun Tetap Tunggal, Sebab Kebenaran Tidak Akan Pernah Mendua).
Alakullihal,
dalam konteks menghadapi tantangan beragama kita, adalah janganlah semangat
beragama kita jauh melebihi semangat untuk mempelajari, merenungi, dan
menghayati agama itu sendiri. Wallahu
a’lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar