Pesantren
Salafi (4)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
REPUBLIKA,
22 Februari
2018
Adanya 95 pesantren salafi
(dari total 111 lembaga pendidikan) di 25 kota/kabupaten pada 13 provinsi,
jelas belum menggambarkan penyebarannya di seluruh Indonesia. Bisa
dipastikan, ada pesantren salafi--berapa pun jumlahnya--di daerah lain.
Karena itu, masih
diperlukan penelitian lanjutan untuk pemetaan pesantren salafi secara
komprehensif di Tanah Air. Bahwa pesantren salafi merupakan lokus santri yang
memegangi salafisme tidak diragukan lagi.
Ini terlihat, misalnya,
dari kitab-kitab yang digunakan dalam proses mengajar dan belajar yang hampir
sepenuhnya merupakan karya ulama salafi. Kitab kuning yang menjadi pegangan
di pesantren salafiyah dan khalafiyah tidak menjadi rujukan dan sumber ajar
di pesantren salafi.
Sekali lagi, literatur
yang digunakan umumnya di pesantren salafi adalah karya ulama yang dikenal
sebagai ulama salafi atau wahabi.
Dalam bidang akidah, ulama
rujukan mencakup Ibn Taymiyyah, Muhammad bin ‘Abd Wahhab, pendiri paham dan
gerakan wahabiyah Muhammad bin Salih al-Utsaymin, Imam al-Thahawi, dan Ibn
Abi al-Izzi.
Kitab-kitab karya ulama
yang digunakan mencakup al-Ushul al-Tsalatsah, Kitab al-Tawhid, Kasyf
al-Syubuhat, al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, dan ‘Aqidah al-Thahawiyah. Dalam
bidang fikih, pesantren salafi menggunakan kitab yang berbasis hadis sahih
mutawatir. Kitab-kitab fikih yang digunakan mencakup al-Wajiz fi Fiqh
al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz (karya ‘Abd al-Azhim bin Badawi), ‘Umdat
al-Ahkam (karya Ibn al-Qudamah), dan Syarh-nya Tafsir al-Allam (karya Abd
Allah bin Abd al-Rahman bin Salih Alu Bassam).
Mereka juga menggunakan
kitab Shifat Shalat al-Nabi karya Muhammad Nasir al-Din al-Albani untuk
pelaksanaan shalat yang menurut mereka sesuai dengan yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW.
Dalam pengajaran bahasa
Arab, kitab yang lazim dipakai terbitan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam
dan Arab) yang merupakan unit pendidikan Kedutaan Besar Arab Saudi di
Jakarta. Di antaranya, Silsilah Ta’lim al-Lughat al-‘Arabiyah dan
al-‘Arabiyyah li al-Nasyi’in.
Penelitian PPIM menemukan,
sebagian besar (59 persen) pesantren salafi menerima kurikulum nasional,
terutama dalam ilmu-ilmu umum. Sebaliknya, mereka menggunakan kurikulum agama
Arab Saudi. Kelompok pesantren salafi ini berorientasi ke Arab Saudi dan
Kuwait. Berkat adopsi kurikulum nasional ini, lembaga pendidikan yang ada dalam
pesantren salafi mendapat pengakuan dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Mereka sekaligus mendapat mu’adalah dari Kementerian Pendidikan
Arab Saudi atas dasar kurikulum pelajaran agamanya.
Selain itu, pesantren
salafi Saudi dan Kuwait juga mengadopsi tingkatan pendidikan formal Indonesia
untuk semua jenjang. Karena itu, pendidikan di pesantren salafi ini terdiri
atas TK, madrasah ibtida’iyah, tsanawiyah, aliyah, dan sekolah tinggi.
Dengan pendekatan dan cara
seperti itu, alumni pesantren salafi kelompok ini dapat melanjutkan
pendidikan ke madrasah atau sekolah lebih tinggi atau ke perguruan tinggi,
baik negeri maupun swasta di Indonesia.
Kelompok pesantren salafi
kedua (41 persen) yang berorientasi dan berafiliasi ke Yaman. Mereka menolak
kurikulum nasional dan sebaliknya menerapkan "kurikulum" sendiri.
Kurikulumnya hampir
sepenuhnya merupakan copas (salin dan tempel) dari (madrasah) Dar al-Hadits
di Dammaju, Yaman. Karena itu, kurikulum (sepenuhnya hanya pelajaran agama);
pelajaran umum hanya mencakup bahasa Indonesia dan matematika (berhitung).
Selain itu, pesantren
salafi Yamani tidak mengikuti penjenjangan pendidikan formal Indonesia.
Mereka menyediakan TK, tahfidz al-Qur’an tingkat dasar, Tadrib al-Du’at
(kader da’i), dan Tarbiyah al-Nisa’ (pendidikan putri).
Dengan model pendidikan
ini, para santri pesantren salafi kelompok kedua tidak dapat melanjutkan
pendidikan mereka ke jenjang lebih tinggi di Indonesia. Mereka melanjutkan ke
pesantren salafi yang menyediakan jenjang pendidikan lebih tinggi, atau pergi
meneruskan pendidikan mereka ke Yaman.
Pesantren salafi berusaha
membentuk pemahaman, cara pandang, dan perilaku hidup sehari-hari yang mereka
yakini mengikuti Nabi Muhammad SAW dan salaf al-shalih. Para santri dididik
untuk hidup sesuai dengan apa yang mereka sebut sebagai manhaj salafi, yang
bersih dari apa yang mereka sebut "bid’ah".
Karena itu, para santri
tidak diajar ikut upacara bendera, bernyanyi; tidak boleh mendengar musik
atau menonton televisi atau melukis makhluk hidup. Mereka makan secara
komunal, terdiri atas empat sampai lima orang mengelilingi nampan besar;
memelihara janggut bagi santri laki, dan menggunakan cadar bagi santri
perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar