Robohnya
Infrastruktur Kami dan Mundurnya Politisi
Fuad Bawazier ; Mantan Menteri Keuangan dan Mantan Dirjen
Pajak
|
REPUBLIKA,
20 Februari
2018
Sudah sejak Orde Baru (1966) hingga sekarang
Indonesia ketinggalan dalam hal pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu
langkah Presiden Jokowi untuk membangun infrastruktur semestinya patut di
appresiasi agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain.
Namun, meskipun penting, infrastruktur
publik haruslah dibangun dengan perhitungan yang masak baik manfaatnya,
kualitasnya, dan sumber pendanaannya agar tidak justru menjadi
kontraproduktif. Robohnya tiang girder jalan toll Becakayu di Jakarta Timur
pada tanggal 20 Pebruari 2018 semakin menambah daftar panjang banyaknya
kecelakaan dalam pembangunan projek infrastruktur baik yang sedang dalam
konstruksi maupun yang baru saja selesai.
Data menunjukan, dalam dua tahun ini
sekurang-kurangnya terdapat 14 kecelakaan projek infrastruktur.
Kecelakaan-kecelakaan ini juga amat bervariasi dari robohnya crane, robohnya
tanggul penyangga underpass Airport Soekarno Hatta, jalan toll dan jembatan
yang amblas, dan lain-lain. Di luar itu bahkan kita menyaksikan terminal 3
baru Bandara Soekarno Hatta yang kebanjiran dan plafon ambruk.
Kecelakaan infrastruktur tadi umumnya
menelan korban jiwa maupun kerugian yang tidak sedikit. Kecelakaan-kecelakaan
infrastruktur ini memberikan indikasi rendahnya kualitas projek bangunan
infrastruktur dalam Pemerintahan Jokowi. Indikasi lain dikhawatirkan
terjadinya korupsi dalam pengerjaan projek infrastruktur sehingga kualitas
bangunan yang tidak memenuhi standard. Hasilnya mulai nyata telah terlihat,
pada hari pertama terjadinya kecelakaan Becakayu, harga saham PT Waskita
Karya (Tbk) anjlok hampir 2 (dua) persen.
Faktor lain yang memperburuk kualitas projek
adalah pengerjaan yang terburu-buru sehingga tidak sesuai dengan SOP
(standard operating procedure). Projek-projek infrastruktur ini juga diduga
tidak memiliki Amdal yang memadai. Selain itu fungsi pengawasan hampir dapat
dipastikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Komisi Penyelamatan Konstruksi nampaknya
tidak menjalankan tugasnya dengan semestinya. Diatas semua itu jelas
kurangnya kordinasi antar instansi pemerintah. Kedua Faktor-faktor tersebut
menyebabkan kecerobohan dalam pelaksanaan pengerjaan projek yang menghasilkan
infrastruktur dengan kualitas rendah sehingga mengabaikan faktor keselamatan
dan keamanan baik semasa konstruksi maupun setelah konstruksi selesai.
Terjadinya kecelakaan yang berturut-turut
ini telah menimbulkan citra kuat dimasyarakat bahwa projek-projek
infrastruktur yang mahal dan sebagiannya dibiayai dengan utang ternyata
mempunyai kualitas yang buruk dan tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan
keamanan terhadap penggunanya. Dilain pihak projek infrastruktur ini pada
umumnya bersifat komersial yang akan menjual jasanya kepada publik dengan
tarif yang relatif mahal.
Memang dikhawatirkan para calon pemakai
infrastruktur berbayar ini akan ragu-ragu menjadi konsumennya paling tidak
sampai kelak benar-benar yakin dan sudah teruji aman dari faktor keselamatan
pengguna. Konsekuensi dari prilaku konsumen ini akan merugikan pengelola atau
bisnis infrastruktur karena berkurangnya pemasukan (income). Akibat lebih
lanjut adalah para kreditor projek mencemaskan kemampuan projek untuk
membayar kembali kreditnya.
Dan juga imbasnya lebih jauh dari projek
yang bermutu rendah ialah mahalnya ongkos perbaikan dan pemeliharaan. Selain
itu umur ekonomis projek juga menyusut sehingga menurunkan nilai asset atau
nilai jual infrastruktur tersebut. Rendahnya nilai jual asset berpotensi
merugikan investasi dan mengganggu kebijakan Pemerintah Jokowi yang ingin
menjual infrastruktur yang telah selesai guna mendapatkan pendanaan untuk
pembangunan projek berikutnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembangunan
infrastruktur adalah andalan politis Jokowi untuk mendapatkan dukungan
publik. Dilain pihak publik juga banyak yang berpandangan bahwa projek-projek
ini terlalu ambisius dan mahal bila dibandingkan dengan projek-projek serupa
di luar negeri. Karena itu kita bisa memahami reaksi serius Presiden Jokowi
atas kecelakaan bertubi-tubi infrastruktur yang dapat menurunkan
kredibilitasnya sebagai sponsor utama pembangunan infrastruktur.
Pemerintah harus mengambil langkah dramatis
untuk menghentikan sementara semua projek elevated (layang) infrastruktur di
Indonesia seperti LRT, jalan toll layang, dan jembatan. Menteri Pekerjaan
Umum pun mensinyalir telah terjadi kesalahan konstruksi sehingga semua harus
dibongkar baik yang roboh dan yang tidak. Meski sebenarnya terlambat, untuk
mencegah berbagai kecelakaan lebih lanjut pemerintah menegaskan akan
melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan teknis projek.
Dibanyak negara lain pada situasi seperti
ini budaya dan moral politiknya adalah mundurnya pejabat-pejabat politis
(menteri) yang bertanggungjawab terhadap projek yang telah menelan korban
jiwa. Selama ini setiap kali terjadi kecelakaan kerja dalam pembangunan
projek yang dimintai pertanggungjawaban atau diadili adalah pejabat hilir
atau penanggungjawab pelaksana lapangan. Padahal melihat berturut-turutnya
kecelakaan kerja yang terjadi kemungkinan besar sumber kesalahan terdapat
pada pejabat hulu atau pembuat kebijakan. Hukum harus adil dan tajam baik
kebawah maupun ke atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar