Pajak
Salah Sasaran Munculkan Shadow Economy
Bhima Yudhistira Adhinegara ; Peneliti INDEF
|
KORAN
SINDO, 26 Februari 2018
Era keterbukaan informasi
perpajakan akan segera dimulai pada September mendatang. Jika aturan ini
berlaku, tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan pajak di hampir 100
negara yang mengikuti perjanjian ini.
Tentu langkah ini harus
mendapat apresiasi mengingat rasio pajak masih ada di kisaran 11% terhadap
PDB. Di dalam perjanjian AEOI yang dimaksud pertukaran data rekening untuk
kepentingan perpajakan adalah bertukar data rekening warga negara asing (WNA)
di Indonesia untuk ditukar dengan data rekening warga negara Indonesia (WNI)
di luar negeri. Tetapi, di dalam teknis Peraturan Menteri Keuangan
(Permenkeu) Nomor 70 Tahun 2017 disebutkan bahwa keterbukaan informasi juga
termasuk rekening penduduk Indonesia di dalam negeri. Jika tafsiran
keterbukaan informasi malah menyasar WNI di dalam negeri, tentu ini salah
sasaran dan jadi persoalan.
Salah
Sasaran
Salah sasaran berikutnya
adalah untuk rekening pribadi di dalam negeri saldo minimal yang diintip
adalah Rp1 miliar. Angka ini sudah diubah atau direvisi dari yang awalnya
Rp200 juta setelah mendapat protes dari usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) karena dianggap terlalu kecil. Tetapi, dasar angka Rp1 miliar pun
sebenarnya janggal. Sekali lagi di dalam perjanjian AEOI, rekening yang
diintip adalah USD250.000 atau setara Rp3,3 miliar. Kalau pemerintah kemudian
mengubah saldo minimal WNI di dalam negeri menjadi Rp1 miliar, jelas ini
adalah perburuan pajak “di kebun binatang”, setelah tax amnesty gagal membawa
dana repatriasi yang dijanjikan.
Sebelumnya melalui tax
amnesty pemerintah terbukti belum berhasil memulangkan dana repatriasi WNI di
luar negeri. Sejak 2016 hingga akhir Maret 2017 lalu dari target Rp1.000
triliun dana repatriasi yang dihebohkan pemerintah, hanya Rp147 triliun yang
berhasil masuk ke Indonesia. Soal deklarasi harta, awalnya pemerintah pun
meramal ada Rp11.000 triliun harta WNI di luar negeri yang selama ini luput
dari pantauan petugas pajak. Faktanya, jumlah deklarasi harta WNI yang ikut
tax amnesty dari luar negeri hanya Rp1.179 triliun. Justru deklarasi harta
wajib pajak domestik yang lebih besar, yakni Rp3,687 triliun.
Dari sini bisa terlihat
gagalnya tax amnesty dan pemerintah malah berburu wajib pajak domestik. Tidak
optimalnya tax amnesty membuat target penerimaan pajak dalam beberapa tahun
terakhir semakin meleset. Sebagai contoh, target pajak yang berhasil dicapai
tahun 2017 hanya berkisar 90% dari Rp1.472,7 triliun. Ada potensi Rp130
triliun yang tidak berhasil dipungut alias ada shortfall penerimaan pajak.
Alhasil, realisasi pajak dalam dua tahun terakhir hanya tumbuh ratarata 4%.
Transaksi
Gelap
Pada 2018 target
penerimaan pajak naik lebih dari 20% dari realisasi tahun 2017. Akibat tingg
inya target pajak membuat pemerintah kelimpungan. Transaksi kartu kredit pun
ikut-ikutan dilaporkan ke aparat pajak sebagai basis data penyidikan pajak.
Padahal, jika rekening bank, termasuk alamat, sumber penghasilan, dan detail
lainnya sudah di laporkan, lalu apa urgensinya data transaksi kartu kredit
juga ikut diintip? Perlu dicatat, sepanjang 2017, jumlah kartu kredit yang
ditutup mencapai 162.000 kartu.
Salah satu alasan
penutupan kartu kredit karena khawatir keamanan data yang disetor ke
pemerintah bisa bocor. Lalu, apa yang terjadi jika masyarakat merasa AEOI
ternyata tidak disiapkan dengan matang? Dalam paper nya di IMF yang berjudul
Shadow Economies Around the World , Friedrich Schneider mengungkapkan bahwa
ketidakpastian kebijakan perpajakan menyebabkan perilaku shadow economy
menjadi marak terjadi. Shadow economy adalah segala transaksi, baik legal
maupun ilegal, yang tidak tercatat oleh petugas pajak alias transaksi gelap.
Salah sasaran dalam
mencari penerimaan pajak terkadang menimbulkan kebingungan di tengah
masyarakat. Implikasi dari kebijakan yang salah sasaran ini harus segera
dimitigasi karena berkaitan dengan stabilitas perbankan nasional seperti dana
simpanan terancam berkurang, dan gerakan nontunai (cashless ) bisa mundur
karena masyarakat takut dengan perbankan. Dampak lainnya sangat mungkin
muncul transaksi pembelian properti dan kendaraan bermotor tanpa pelaporan
pajak. Schneider juga mengingatkan dari hasil risetnya bahwa kemunculan
shadow economy merupakan kondisi yang tercipta dari tertekannya warga negara
akibat kebijakan di bidang perpajakan.
Kasus di Yunani bisa jadi
contoh. Ketika pajak semakin agresif, jumlah transaksi gelap alias tidak
dilaporkan pajak naik signifikan. Schneider ingin mengingatkan pemerintah di
negara lain agar kasus Yunani jangan terulang. Mulai maraknya transaksi di
bawah bantal hingga investasi di uang digital yang luput dari pengawasan
pemerintah seperti Bitcoin jadi pertanda keengganan masyarakat memasukkan
uang ke sistem keuangan formal. Sejauh ini ada lebih dari 1 juta user aktif
Bitcoin di Indonesia.
Mungkin perlu diadakan
sebuah penelitian tentang fenomena maraknya investasi di Bitcoin dengan
semakin agresifnya kebijakan pajak di Tanah Air. Selain itu efek yang paling
dirasakan dari kekhawatiran kebijakan perpajakan adalah laju konsumsi rumah
tangga bisa tertahan. Porsi konsumsi terhadap PDB mencapai 56%, sementara
pertumbuhan konsumsi pada 2017 hanya 4,95%. Akibat dari lemahnya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga maka perekonomian hanya stagnan di 5%. Jika kepercayaan
masyarakat semakin rendah, ada kekhawatiran fenomena kelas menengah atas
menahan belanja semakin marak terjadi di 2018.
Oleh karena itu, pemerintah
dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan diharapkan
meninjau kembali aturan teknis yang berkaitan dengan saldo minimal
keterbukaan informasi dan keamanan data nasabah. Kepercayaan juga perlu
dibangun dari internal aparat pajak, baru kemudian meminta masyarakat untuk
percaya bahwa data yang disimpan pemerintah aman tidak bocor. Sosialisasi
mutlak harus dilakukan secara serius yang melibatkan seluruh pelaku industri
keuangan agar nasabah tidak panik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar