Senin, 26 Februari 2018

Pajak Salah Sasaran Munculkan Shadow Economy

Pajak Salah Sasaran Munculkan Shadow Economy
Bhima Yudhistira Adhinegara  ;   Peneliti INDEF
                                                KORAN SINDO, 26 Februari 2018



                                                           
Era keterbukaan informasi perpajakan akan segera dimulai pada September mendatang. Jika aturan ini berlaku, tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan pajak di hampir 100 negara yang mengikuti perjanjian ini.

Tentu langkah ini harus mendapat apresiasi mengingat rasio pajak masih ada di kisaran 11% terhadap PDB. Di dalam perjanjian AEOI yang dimaksud pertukaran data rekening untuk kepentingan perpajakan adalah bertukar data rekening warga negara asing (WNA) di Indonesia untuk ditukar dengan data rekening warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Tetapi, di dalam teknis Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 70 Tahun 2017 disebutkan bahwa keterbukaan informasi juga termasuk rekening penduduk Indonesia di dalam negeri. Jika tafsiran keterbukaan informasi malah menyasar WNI di dalam negeri, tentu ini salah sasaran dan jadi persoalan.

Salah Sasaran

Salah sasaran berikutnya adalah untuk rekening pribadi di dalam negeri saldo minimal yang diintip adalah Rp1 miliar. Angka ini sudah diubah atau direvisi dari yang awalnya Rp200 juta setelah mendapat protes dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena dianggap terlalu kecil. Tetapi, dasar angka Rp1 miliar pun sebenarnya janggal. Sekali lagi di dalam perjanjian AEOI, rekening yang diintip adalah USD250.000 atau setara Rp3,3 miliar. Kalau pemerintah kemudian mengubah saldo minimal WNI di dalam negeri menjadi Rp1 miliar, jelas ini adalah perburuan pajak “di kebun binatang”, setelah tax amnesty gagal membawa dana repatriasi yang dijanjikan.

Sebelumnya melalui tax amnesty pemerintah terbukti belum berhasil memulangkan dana repatriasi WNI di luar negeri. Sejak 2016 hingga akhir Maret 2017 lalu dari target Rp1.000 triliun dana repatriasi yang dihebohkan pemerintah, hanya Rp147 triliun yang berhasil masuk ke Indonesia. Soal deklarasi harta, awalnya pemerintah pun meramal ada Rp11.000 triliun harta WNI di luar negeri yang selama ini luput dari pantauan petugas pajak. Faktanya, jumlah deklarasi harta WNI yang ikut tax amnesty dari luar negeri hanya Rp1.179 triliun. Justru deklarasi harta wajib pajak domestik yang lebih besar, yakni Rp3,687 triliun.

Dari sini bisa terlihat gagalnya tax amnesty dan pemerintah malah berburu wajib pajak domestik. Tidak optimalnya tax amnesty membuat target penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir semakin meleset. Sebagai contoh, target pajak yang berhasil dicapai tahun 2017 hanya berkisar 90% dari Rp1.472,7 triliun. Ada potensi Rp130 triliun yang tidak berhasil dipungut alias ada shortfall penerimaan pajak. Alhasil, realisasi pajak dalam dua tahun terakhir hanya tumbuh ratarata 4%.

Transaksi Gelap

Pada 2018 target penerimaan pajak naik lebih dari 20% dari realisasi tahun 2017. Akibat tingg inya target pajak membuat pemerintah kelimpungan. Transaksi kartu kredit pun ikut-ikutan dilaporkan ke aparat pajak sebagai basis data penyidikan pajak. Padahal, jika rekening bank, termasuk alamat, sumber penghasilan, dan detail lainnya sudah di laporkan, lalu apa urgensinya data transaksi kartu kredit juga ikut diintip? Perlu dicatat, sepanjang 2017, jumlah kartu kredit yang ditutup mencapai 162.000 kartu.

Salah satu alasan penutupan kartu kredit karena khawatir keamanan data yang disetor ke pemerintah bisa bocor. Lalu, apa yang terjadi jika masyarakat merasa AEOI ternyata tidak disiapkan dengan matang? Dalam paper nya di IMF yang berjudul Shadow Economies Around the World , Friedrich Schneider mengungkapkan bahwa ketidakpastian kebijakan perpajakan menyebabkan perilaku shadow economy menjadi marak terjadi. Shadow economy adalah segala transaksi, baik legal maupun ilegal, yang tidak tercatat oleh petugas pajak alias transaksi gelap.

Salah sasaran dalam mencari penerimaan pajak terkadang menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Implikasi dari kebijakan yang salah sasaran ini harus segera dimitigasi karena berkaitan dengan stabilitas perbankan nasional seperti dana simpanan terancam berkurang, dan gerakan nontunai (cashless ) bisa mundur karena masyarakat takut dengan perbankan. Dampak lainnya sangat mungkin muncul transaksi pembelian properti dan kendaraan bermotor tanpa pelaporan pajak. Schneider juga mengingatkan dari hasil risetnya bahwa kemunculan shadow economy merupakan kondisi yang tercipta dari tertekannya warga negara akibat kebijakan di bidang perpajakan.

Kasus di Yunani bisa jadi contoh. Ketika pajak semakin agresif, jumlah transaksi gelap alias tidak dilaporkan pajak naik signifikan. Schneider ingin mengingatkan pemerintah di negara lain agar kasus Yunani jangan terulang. Mulai maraknya transaksi di bawah bantal hingga investasi di uang digital yang luput dari pengawasan pemerintah seperti Bitcoin jadi pertanda keengganan masyarakat memasukkan uang ke sistem keuangan formal. Sejauh ini ada lebih dari 1 juta user aktif Bitcoin di Indonesia.

Mungkin perlu diadakan sebuah penelitian tentang fenomena maraknya investasi di Bitcoin dengan semakin agresifnya kebijakan pajak di Tanah Air. Selain itu efek yang paling dirasakan dari kekhawatiran kebijakan perpajakan adalah laju konsumsi rumah tangga bisa tertahan. Porsi konsumsi terhadap PDB mencapai 56%, sementara pertumbuhan konsumsi pada 2017 hanya 4,95%. Akibat dari lemahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga maka perekonomian hanya stagnan di 5%. Jika kepercayaan masyarakat semakin rendah, ada kekhawatiran fenomena kelas menengah atas menahan belanja semakin marak terjadi di 2018.

Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan diharapkan meninjau kembali aturan teknis yang berkaitan dengan saldo minimal keterbukaan informasi dan keamanan data nasabah. Kepercayaan juga perlu dibangun dari internal aparat pajak, baru kemudian meminta masyarakat untuk percaya bahwa data yang disimpan pemerintah aman tidak bocor. Sosialisasi mutlak harus dilakukan secara serius yang melibatkan seluruh pelaku industri keuangan agar nasabah tidak panik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar