Ke
Mana Arah Pembaruan KUHP?
Miko Ginting ; Kepala Bidang Studi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera
|
TEMPO.CO,
22 Februari
2018
Hukum
pidana, yang salah satunya termuat dalam KUHP, adalah sebuah kesepakatan
tentang batasan sejauh apa negara dapat melarang suatu perbuatan. Titik tolak
ini tertuang dalam prinsip paling fundamental dalam hukum pidana: prinsip
legalitas. Prinsip yang dikemukakan Anselm von Feuerbach pada 1801 tersebut berangkat
dari adagium nullum crimen sine poena legali atau tiada perbuatan pidana
tanpa undang-undang.
Hukum
pidana lahir jika terjadi pertemuan kehendak antara negara dan rakyat.
Pelanggaran terhadap kesepakatan itu berbuah sanksi berupa pidana (nestapa).
Artinya, hukum pidana hadir bukan sebatas ekspresi koersif negara, melainkan
juga spirit proteksi terhadap hak asasi manusia.
Dewan
Perwakilan Rakyat tengah membahas Rancangan Undang-Undang KUHP. Ini merupakan
langkah pembaruan KUHP oleh Dewan. Masalahnya, ke mana arah pembaruannya:
menghukum atau melindungi?
Semangat
perlindungan sebenarnya sejalan dengan salah satu tujuan pembaruan KUHP,
yaitu demokratisasi hukum pidana. Hukum pidana tidak selalu muncul untuk
menghukum, tapi juga untuk melindungi dan memberdayakan.
Namun
pembaruan KUHP bergerak ke arah sebaliknya. Mengutip data Institute for
Criminal Justice Reform (2016), dalam Rancangan KUHP terdapat 1.251 ketentuan
pidana. Pidana penjara masih menempati urutan teratas dengan 1.154 perbuatan,
diikuti sanksi berupa pidana penjara. Dari kuantitas pidana penjara itu,
durasi pidana penjara 5-15 tahun berada pada peringkat pertama.
Data
ini menggambarkan bahwa pidana penjara masih dominan dan menjadi karakter
utama pemidanaan dalam Rancangan. Benar bahwa terdapat beberapa jenis pidana
alternatif, seperti denda, pidana pengawasan, hingga pidana kerja sosial.
Namun jenis pidana alternatif itu tidak dapat mengimbangi pendekatan pidana
penjara yang dominan.
Salah
satu contoh adalah pidana kerja sosial, yang hanya dapat diterapkan pada 59
ketentuan. Peluang penerapan pidana kerja sosial ini hanya sekitar 2 persen
dari total keseluruhan sanksi pidana dalam Rancangan. Dengan demikian, pidana
penjara tetap diproyeksikan menjadi pendekatan utama dalam Rancangan. Hal ini
menunjukkan bahwa Rancangan KUHP masih kental dengan naluri pengawas yang
berupaya mengontrol sebagian besar perilaku masyarakat.
Penggunaan
instrumen pidana untuk mengontrol perilaku rakyat ini didukung oleh karakter
hukum pidana yang memaksa (koersif). Hukum pidana dapat menerobos kemerdekaan
seseorang atas nama hukum. Dengan demikian, hukum pidana adalah instrumen
yang sangat strategis dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku
masyarakat.
Miller
(1934), misalnya, memproyeksikan bahwa terdapat kecenderungan pemerintah
menggunakan hukum pidana sebagai strategi yang efektif dalam mengontrol
perilaku rakyat. Proyeksi yang sama pernah dikemukakan Garland (2001) dengan
kritik yang lebih tajam bahwa kecenderungan pemerintah untuk mengontrol
perilaku masyarakat ini sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan negara dalam
mengendalikan kejahatan di yurisdiksinya.
Kecenderungan
untuk mengontrol itu terlihat dari langkah menjadikan perbuatan yang dulu
bukan perbuatan pidana menjadi pidana (kriminalisasi). Begitu juga dengan
kecenderungan mempertahankan perbuatan pidana tetap menjadi perbuatan pidana.
Hal
ini bukan berarti bahwa negara tidak boleh menghukum perbuatan jahat. Atas
dasar kepentingan umum, negara dibekali tugas untuk mengatasi perbuatan jahat
yang merugikan individu, masyarakat, maupun negara. Namun parameternya adalah
pada seberapa perlu suatu perbuatan dijadikan perbuatan pidana dengan dasar
perlindungan hak asasi manusia.
Negara
tidak perlu gamang dalam mengkriminalkan perbuatan-perbuatan yang secara
universal dinyatakan jahat (mala in se). Namun negara perlu mengurai lebih
lanjut proporsi kriminalisasi terhadap perbuatan yang dinyatakan jahat karena
dinyatakan jahat dalam aturan (mala prohibita).
Kata
kunci dalam tindakan kedua itu adalah relativitas. Sepanjang perbuatan itu
tidak secara universal dinyatakan jahat, terhadapnya dibutuhkan uji
keperluannya. Parameternya tidak boleh hanya berbasis moralitas yang
dipandang secara subyektif oleh pembentuk undang-undang. Perbuatan itu
disepakati sebagai perbuatan pidana hanya jika terdapat pertemuan kehendak
antara negara dan rakyat. Pada konteks ini, pemberian legitimasi dari publik
menjadi sangat vital.
Pengutamaan
hukum pidana sebagai yang "harus" dan bukan lagi yang
"perlu" pada akhirnya berdampak kurangnya apresiasi pada hukum
pidana itu sendiri. Moeljatno (1983) menyatakan bahwa semakin banyak hukum
pidana dibuat (melebihi proporsionalitas), hal itu dapat berujung pada
inflasi hukum pidana. Kecenderungan yang sudah tampak adalah naiknya ancaman
pidana dalam banyak undang-undang pasca-reformasi (Anugerah Rizki Akbari:
2015).
Untuk
menghindari hal tersebut, pemerintah dan DPR sebaiknya menarik Rancangan KUHP
dari pembahasan. Penarikan ini bertujuan memastikan bahwa pembaruan KUHP
bergerak menuju misi besarnya, yaitu demokratisasi hukum pidana dengan spirit
proteksi terhadap hak asasi manusia, bukan menuju hukum pidana yang koersif
dan kejam tapi minim nilai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar