Simbiosis
Mutualisme PDIP dan Jokowi
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
TEMPO.CO,
26 Februari
2018
Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) resmi menjadi partai politik kedelapan dan mengajukan Joko
Widodo sebagai calon presiden untuk Pemilihan Umum 2019. Dalam studi ilmu
politik, perilaku PDIP mencalonkan orang yang bukan dari lingkaran dalam
partai itu dapat disebut sebagai presidentialized party.
Studi-studi mengenai
presidentialized party memberi titik tekan yang berbeda-beda. Samuels (2002)
tertarik pada insentif yang diterima partai politik dengan presidensialisme.
Poguntke dan Webb (2005), Shugart dan Samuels (2005), serta Ufen (2017)
berfokus pada dampak presidensialisasi terhadap perilaku partai dan elitenya.
Adapun Kawamura (2013) mempertanyakan mengapa tidak semua partai di Indonesia
mengalami presidensialisasi. Studi terbaru dari Alhamid dan Perdana (2018)
menangkap fenomena pencalonan Jokowi pada Pemilu 2014.
Pencalonan Jokowi sebagai
presiden pada 2014 bukan sesuatu yang bisa diterima dengan logika umum.
Partai lainnya, seperti Partai Demokrat dan Partai Gerindra, mencalonkan
ketua umumnya dalam ajang sebesar pemilihan presiden. Selain itu, figur
Megawati begitu kuat di partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Sebagai akibatnya, keputusan pencalonan Jokowi saat itu juga bukan tanpa
riak. Di internal PDIP ada kelompok yang setuju dan tidak setuju (Alhamid dan
Perdana 2018).
Nyatanya, menjelang
pemilihan presiden 2019, pola yang sama dipakai kembali. Padahal Jokowi bukan
berasal dari trah Sukarno. Ada Puan Maharani atau keturunan Bung Karno
lainnya yang juga telah terjun ke politik praktis. Selain itu, Jokowi dalam
sejumlah kesempatan sering disebut sebagai "petugas partai". Hal
ini semakin menunjukkan bahwa Jokowi bukanlah orang dalam PDIP. Lantas,
mengapa strategi mencalonkan Jokowi kembali dipakai oleh PDIP? Saya
berpandangan bahwa perilaku PDIP ini disebabkan oleh dua hal: desain sistem
kepemilihanumuman dan sosok Jokowi yang "sukses" membangun daya
tawar politik.
Dalam teori ilmu politik,
ada beberapa variabel yang ditengarai menjadi musabab terjadinya
presidentialized party. Variabel pertama adalah sistem kepemilihanumuman. Poguntke
dan Webb (2005) berpendapat bahwa presidensialiasi partai salah satunya
disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang memberi penekanan pada figur
pemimpin, khususnya di lembaga eksekutif dan partai politik. Shugart dan
Samuels (2010) berpendapat kurang-lebih sama. Hanya, Shugart dan Samuels
lebih suka mengaitkan hal itu sebagai akibat dari pemisahan kekuasaan. Sebab
kedua adalah faktor figur. Poguntke dan Webb (2005) dan Ufen (2017)
menyebutkan bahwa, dalam terbentuknya presidentialized party, terdapat faktor
figur pemimpin yang berperan besar di dalamnya.
Pertama, terkait dengan
desain sistem kepemilihanumuman. Pemilihan presiden dengan menggunakan sistem
suara terbanyak mendorong partai politik wajib mengedepankan faktor
popularitas dan elektabilitas figur calon presiden. Meskipun ada yang
menyebut keterpilihan Jokowi belum sepenuhnya aman, namun sampai Januari
2018, menurut beberapa lembaga survei, dia diprediksi akan meraih suara
terbanyak. Ditambah lagi, calon lain, Prabowo Subianto, diprediksi terlalu
jauh jarak elektabilitasnya dengan Jokowi (berkisar 17-25 persen). Pada saat
yang sama, di internal PDIP belum ada calon alternatif yang mendekati,
setara, atau lebih tinggi elektabilitasnya dibanding Jokowi.
Penjelasan lainnya adalah
PDIP berharap adanya efek positif dari adanya efek ekor jas (coattail
effect). Seperti Pemilihan Umum 2014, diyakini ada pengaruh relatif besar
dari pencalonan Jokowi terhadap meningkatnya perolehan suara dan kursi PDIP
di DPR.
Kedua, figur Jokowi juga
relatif berhasil membangun daya tawar di mata banyak partai, terutama PDIP.
Ada simbiosis mutualisme yang terbentuk di antara keduanya. Di satu sisi,
Jokowi sadar bahwa dia bukan ketua partai dan butuh PDIP untuk tiket
mencalonkan diri. Pada saat yang sama, Jokowi juga sadar bahwa PDIP tidak
akan mau memberi tiket secara cuma-cuma. PDIP perlu diyakinkan oleh Jokowi.
Elektabilitasnya, yang sejauh ini paling tinggi, merupakan salah satu yang
dia ditunjukkan. Citra "berhasil" membangun infrastruktur merupakan
poin lainnya. Jokowi juga relatif akomodatif terhadap PDIP dengan memberi
kursi, baik di kabinet maupun memuluskan jalan diberikannya kursi pimpinan
DPR.
Di sisi lain, PDIP juga
memerlukan Jokowi untuk mengerek perolehan suara mereka dalam pemilihan
legislatif 2019. Kaitan antara perilaku presidentialized party dari PDIP
dengan sistem pemilihan umum di Indonesia dan faktor figur sejalan dengan apa
yang dimaksudkan Poguntke dan Webb (2005) serta Ufen (2017).
Pada akhirnya, hubungan
saling menguntungkan antara PDIP dan Jokowi dalam pencalonan Jokowi sebagai
presiden merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Hal itu terjadi tak lain
akibat dari sistem kepemilihanumuman dan menguatnya figur Jokowi di mata
PDIP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar