Doktrin
Kekerasan dan Rapuhnya Ruang Kelas
Hilmi Amin Sobari ; Pemerhati
Isu-isu Keagamaan; Tinggal di Bekasi
|
DETIKNEWS,
22 Februari
2018
Peristiwa kekerasan yang
membawa-bawa agama dalam aksinya kembali terjadi. Di Tangerang, dalam sebuah
video yang viral, seorang biksu dengan dikelilingi beberapa orang diminta
membuat surat pernyataan, diharuskan membacanya, dan kemudian disuruh
menandatanganinya. Biksu itu dalam keadaan "sadar dan tanpa tekanan dari
siapapun" dengan suaranya yang berat diharuskan berjanji tidak akan
menggunakan rumahnya sebagai tempat peribadatan.
Di Yogyakarta, entah apa
yang merasuki benaknya, seorang pemuda yang masih berstatus mahasiswa
diberitakan memaksa masuk ke dalam sebuah gereja, mengacungkan senjata tajam
yang dibawanya, dan mengancam melukai orang-orang. Itu benar dilakukannya.
Korbannya tercatat beberapa orang. Mereka jemaat yang sedang beribadah di
sana. Aksinya berakhir setelah aparat keamanan datang dan melumpuhkannya
karena melakukan perlawanan ketika hendak ditangkap.
Kedua peristiwa itu
mengingatkan saya pada satu cerita. Cerita ini tidak ada hubungan langsung
dengan kedua peristiwa itu tetapi saya ingin membaginya karena ini menurut
saya penting. Ini cerita yang kurang menyenangkan mengenai seorang guru di
sekolah dasar berlabel Islam yang mengajarkan kekerasan atas nama agama
kepada para siswanya. Cerita itu mulai terkuak saat salah seorang siswa, yang
ibunya kebetulan saya kenal, menolak untuk pergi dan makan di restoran cepat
saji asal Amerika. Hal itu dirasa mencurigakan karena anak itu biasanya
sangat bersemangat jika diajak pergi ke sana. Selama ini dia menyukai
menunya.
Penolakan itu, setelah diselidiki,
ternyata berasal dari pengajaran yang diterima di sekolahnya. Menurut anak
tersebut, ia diajarkan oleh salah seorang gurunya bahwa restoran itu dimiliki
oleh orang kafir. Seorang muslim tidak boleh makan di sana. Seorang muslim
yang makan di sana berarti sedang memberi uang pada orang kafir. Dan, karena
orang kafir itu memiliki uang maka mereka bisa membeli senjata. Karena
memiliki senjata maka mereka akan menggunakannya untuk membunuhi orang Islam.
Kepala saya terasa sangat berat waktu pertama kali mendengarnya.
***
Belasan tahun yang lalu
saya berkenalan dengan seseorang di masjid dekat saya tinggal. Kami cepat
akrab. Dia pria yang baik. Kami sering berbincang-bincang seusai shaat
berjamaah. Dia juga sering mengundang saya ke rumahnya yang letaknya tidak
jauh dari masjid. Suatu ketika dia bercerita bahwa ia tidak ingin
menyelesaikan pendidikannya di sebuah universitas karena menurutnya semua itu
hanya kesia-siaan. Saya hanya mendengarkan.
Di lain waktu ia mengajak
saya mengaji bersamanya. Saya iyakan. Maka saya mengikuti pengajiannya.
Kegiatan itu diadakan di sebuah masjid di bilangan Jakarta Selatan. Masjid
itu cukup terkenal. Dikelola secara profesional. Pengurusnya memiliki banyak
program: pencetakan buletin Jumat, penyebaran buku agama yang dicetak
sendiri, pembekalan dakwah, dan lain sebagainya. Lokasinya berdekatan dengan
sebuah kampus swasta yang terkenal dengan jurusan jurnalistiknya.
Pada mulanya semua
berjalan baik-baik saja, hingga pada satu ketika saya menemukan keganjilan.
Suatu malam, ketika sedang mengkaji kitab tauhid, ustaz dari kawan saya itu
menjabarkan bahwa pemerintah adalah thagut, undang-undang yang digunakan
karena buatan manusia juga thagut, dan yang semisal. Saya mulai gelisah.
Sebelumnya, saya yang pernah belajar kitab tauhid berlabel wahabi di
pesantren tidak pernah sekalipun diajarkan hal seperti ini. Yang membuat saya
heran adalah fakta bahwa sang ustaz bukanlah orang sembarangan: ia seorang
hafiz al-Quran, juga menghapal banyak hadits.
Kegelisahan dan
ketidaksetujuan pada pendapatnya soal thagut itu membuat saya menjauh. Dan,
akhirnya saya tidak pernah mengikuti kajiannya lagi karena saya lebih fokus
belajar dan kuliah di kampus yang terletak di Jakarta Timur. Saya tidak
pernah bertemu lagi dengan kawan saya itu, maupun ustaznya, hingga sekarang.
Belakangan saya dikejutkan
oleh berita yang cukup heboh. Kawan saya itu dan ustaznya, serta beberapa
orang yang ikut kajiannya, yang saya tidak kenal, ditangkap oleh aparat
keamanan. Mereka disergap di sebuah rumah di Depok. Pemicunya karena sebuah
bom meledak saat sedang dirakit. Kasus itu kemudian dikenal dengan peristiwa
Bom Cimanggis 2004.
Sebelum kejadian, ustaz
itu ternyata sudah dikeluarkan dari kepengurusan masjid yang tadi saya
sebutkan karena pemahamannya yang radikal itu. Dan selanjutnya, dalam setiap
aksi teror yang terjadi di negeri ini, nama ustaz itu sering dikait-kaitkan.
Saya bersyukur karena saya pernah nyantri dan bekal pengetahuan yang saya
dapatkan dari pesantren telah menyelamatkan saya dari pemahaman yang
melegitimasi kekerasan atas nama agama itu.
***
Peristiwa di Tangerang
mungkin tidak ada hubungannya dengan kejadian di Yogyakarta. Juga dengan cerita
si anak, atau bahkan cerita saya sendiri. Namun, dari semua itu ada benang
merah yang ingin saya tarik: bahwa kekerasan atas nama agama itu nyata ada di
sekitar kita, dan pada kelompok tertentu, ajaran yang melegitimasi kekerasan
itu benar-benar ada.
Kejadian dengan modus
seperti di Tangerang lebih sering terjadi karena ia tidak khusus dilakukan
oleh kelompok tertentu. Ia bisa dilakukan siapa saja, dari kalangan mana pun.
Masyarakat awam apabila diprovokasi sedikit saja dapat dengan mudah
terpancing emosinya. Bahkan kadang karena alasan yang sebenarnya remeh temeh
seperti anggapan bahwa ibadah harus dilakukan di tempat ibadah, tidak boleh
di rumah tinggal. Kejadian seperti ini seringkali karena prasangka dan tidak
didasari ideologi tertentu yang melegitimasi kekerasan, dan pelakunya lebih
mudah disadarkan.
Yang lebih mengkhawatirkan
tentu peristiwa di Yogyakarta. Hingga saat saya menulis ini aparat keamanan
belum mengungkap motifnya karena pelaku sendiri masih dalam perawatan usai
dilumpuhkan akibat melakukan perlawanan saat hendak ditangkap. Karena
pelakunya individual dan dalam aksinya menunjukkan ketidaksetujuan pada
peribadatan di sana, kemungkinan besar terkait dengan keyakinan yang
dianutnya --atau singkatnya didasari ideologi tertentu, meskipun harus
diselidiki ideologi apa yang mempengaruhinya hingga melakukan tindakan itu.
Namun bagi saya yang
paling mengkhawatirkan adalah cerita terakhir, tentang siswa sekolah dasar
yang didoktrin gurunya. Para orangtua tentu tidak akan menduga kejadian seperti
itu dapat terjadi di sebuah institusi pendidikan yang idealnya mentransfer
nilai-nilai yang agung dan luhur. Dalam benak kita, sekolah yang melabeli
dirinya dengan sekolah agama tentunya menjadi benteng yang melindungi kita
dari ideologi kekerasan. Walaupun peristiwa itu kasuistik, hal ini
menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan tanpa kita sadari doktrin itu telah
merasuki pikiran anak-anak kita, saudara kita, atau siapapun yang kita kenal
di sekitar kita.
Saya tidak mampu
membayangkan, seandainya hal itu tidak terkuak, lalu anak itu menyaksikan
peristiwa Tangerang, Yogyakarta, atau berbagai kekerasan atas nama agama
lainnya yang belakangan ini marak, kemudian ia tidak menerima pendampingan
yang cukup, entah apa yang akan terjadi padanya.
Mungkin seiring
pertumbuhannya ia akan mengetahui bahwa kekerasan atas agama tidak dapat
dibenarkan, atau mungkin yang terjadi malahan sebaliknya, sesuatu yang tidak
kita harapkan: ia akan terus mengingatnya, mungkin suatu saat bersinggungan
dengan penyebar doktrin kekerasan, menempuh jalur itu secara diam-diam dan
pada saatnya menjadi seperti pemuda di Yogyakarta itu. Kemudian kita hanya
bisa menyesalinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar