Pemanfaatan
Lahan Gambut
Supiandi Sabiham ; Guru Besar Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB
|
TEMPO.CO,
23 Februari
2018
Dua
tahun silam, ratusan ribu hektare hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan
terbakar habis. Kabut asap tebal yang ditimbulkannya bahkan mengganggu negara
tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei. Setelah peristiwa buruk
itu terjadi, restorasi lahan gambut menjadi agenda penting pemerintah dan semua
pihak yang terkait. Gambut menjadi kambing hitam kebakaran itu lantaran
dianggap telah rusak akibat penanaman kelapa sawit.
Setelah
dua tahun berlalu, pemerintah mengklaim luas kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi pada 2017 hanya 125 ribu hektare dibanding pada 2015 yang mencapai
2,6 juta hektare. Apakah karena restorasi berhasil? Saya melihat turunnya
angka itu lebih karena faktor alam, seperti tingginya curah hujan sepanjang
tahun tersebut. Di saat yang sama, karena menanam di lahan gambut dianggap sebagai
pemicu kebakaran, pemanfaatan lahan itu pun menjadi berkurang.
Luas
lahan gambut di wi-layah Indonesia mencapai 13,2 juta hektare. Menurut data
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, 2,1 juta hektare lahan
itu ditanami sawit dan 1 juta hektare merupakan sumber cadangan air. Kondisi
itu menuai banyak protes dari para pencinta lingkungan, yang menilai
pemanfaatan lahan gambut menjadi kebun sawit merusak kelestarian alam.
Sejatinya
ini merupakan pandangan yang salah. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan
kelapa sawit tidak merusak lingkungan asalkan dikelola secara benar. Bahkan,
sebetulnya, pengelolaan lahan gambut yang baik dibutuhkan untuk
mengoptimalkan produktivitas tanaman sawit itu sendiri. Artinya, menanam di
lahan gambut tidak sekadar mengejar aspek ekonomi, tapi juga bertujuan
menjaga ekosistemnya.
Tanah
gambut memang memiliki karakter cepat kering dan mudah terbakar pada saat
musim kemarau. Tapi hal itu dapat diantisipasi dengan pembangunan sistem
drainase yang baik. Caranya dengan membuat sistem kanal beserta parit-parit
serta pintu-pintu air yang berfungsi membuang kelebihan air ketika musim
hujan dan menahan air saat musim kemarau. Dengan begitu, air tanah akan
terjaga, sehingga tidak mudah terjadi kebakaran.
Kuncinya
adalah pengelolaan yang benar, disiplin, dan berkesinambungan da-lam menjaga
agar gambut tetap lembap dan kedalaman muka air tanah tidak lebih dari 40
sentimeter, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Bagi saya,
batasan 40 sentimeter itu pun perlu dipertanyakan karena se-betulnya,
sepanjang manajemennya tepat, kedalaman lebih dari 40 sentimeter tetap aman
ditanami. Hal itu terbukti di perkebunan sawit lahan gambut di kawasan Sarawak
yang tidak pernah terjadi kebakaran.
Sebagian
besar kebakaran pada 2015 justru terjadi di kawasan yang bukan perkebunan
kelapa sawit. Sebab, kawasan itu tidak ada yang mengelola dan bertanggung
jawab. Sebaliknya, lahan yang dijadikan kebun sawit justru jelas siapa
pengelolanya, termasuk masyarakat lokal, yang bertanggung jawab agar
kebakaran tidak terjadi.
Memang,
ada lahan gambut yang salah penanganannya, sehingga menyebabkan kebakaran.
Maka, di sinilah pentingnya kerja sama antara perusahaan sawit, komunitas
masyarakat, dan pemerintah setempat untuk menjaga agar kebakaran itu tidak
terjadi. Caranya, misalnya, perusahaan memberi hadiah atau kompensasi kepada
masyarakat setempat karena tidak melakukan pembakaran berupa bantuan program
atau peralatan senilai tertentu. Kemudian, pemerintah melakukan pengawasan
secara tepat dan konsisten.
Sekalipun
restorasi lahan gambut harus dilakukan, hal itu sepatutnya tidak
menghilangkan sumber pendapatan atau keuntungan ekonomi bagi masyarakat di
sekitarnya. Sebab, lahan gambut umumnya sudah menjadi "sumber
kehidupan" bagi sebagian masyarakat di beberapa wilayah, seperti di
Kalimantan. Di sana sudah berpuluh-puluh tahun masyarakat memanfaatkan lahan
gambut untuk bercocok tanam sawit. Manfaat sawit pun ikut memberikan
kontribusi terhadap penyediaan infrastruktur lokal, sehingga mampu membawa
masyarakat pada akses pendidikan dan kesehatan.
Kehadiran
pertanian, termasuk kebun sawit, sebetulnya juga merupakan bagian dari
restorasi gambut. Selain memberi manfaat ekonomi, para petani dapat
berkontribusi dalam menjaga dan mencegah terjadinya kebakaran di lahan gambut
secara berkesinambungan. Di tangan masyarakat, tata kelola lahan gambut juga
berjalan lebih baik karena mereka menyesuaikannya dengan kearifan budaya lokal.
Para
pemangku kepentingan (pengusaha, masyarakat, pemerintah) perlu duduk bersama
dengan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu (sosial, ekonomi, dan
lingkungan) untuk mencari jalan keluar atau cara yang tepat dalam pemanfaatan
sekaligus konservasi lahan gambut. Prinsipnya, pemanfaatan lahan yang
disertai manajemen dan pengawasan yang tepat tidak akan menyebabkan
kebakaran. Sebaliknya, ia justru memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat dan
itu sudah terbukti berpuluh-puluh tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar