Sebuah
Titik Kritis Transformasi Angkutan Umum
Yusa Cahya Purnama ; Perencana Transportasi
|
KOMPAS.COM,
08 Februari 2018
Kritis.
Inilah kata yang bisa menggambarkan gentingnya kondisi angkutan umum di
Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan. Di hampir semua kawasan,
angkutan umum berada dalam kondisi yang kian memburuk atau stagnan.
Hal
ini terindikasi dari persentase pengguna angkutan umum dari tahun ke tahun
yang cenderung menurun dengan perkecualian pengguna KRL di Jabodetabek yang
meningkat, dan penumpang BRT di Jakarta yang relatif stabil.
Sementara
di sisi lain, kendaraan bermotor pribadi justru semakin meningkat populasi,
dan penggunaannya. Akibatnya,
kemacetan dan polusi udara kian parah, kualitas hidup dan lingkungan merosot
tajam.
Pertanyaan
yang harus diajukan adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Melihat
sejarahnya, sesungguhnya angkutan umum pernah mengalami masa jaya ketika
perekonomian Indonesia mulai berkembang. Periode 1970-an hingga akhir 1980-an
ketika belum banyak masyarakat yang memiliki akses terhadap kendaraan
bermotor pribadi.
Faktor
ekonomi, logistik maupun keterbatasan akses terhadap pembiayaan, menjadikan
angkutan umum sebagai primadona pergerakan masyarakat. Namun, ketika
perekonomian kian membaik terutama pasca krisis ekonomi pada awal 2000-an,
situasi berbalik.
Dengan
perbaikan kondisi infrastruktur jalan, kemudahan logistik ke seluruh pelosok,
perbaikan dan peningkatan ekonomi, plus kemudahan fasilitas keuangan,
populasi dan penggunaan kendaraan bermotor pribadi pun melonjak terutama di
kawasan Jabodetabek dan Pulau Jawa.
Masyarakat
dengan ekonomi yang meningkat, dan terdidik, makin sadar akan hak dan
kebutuhannya. Tuntutan perbaikan layanan yang ingin didapatkan juga
bertambah. Demikian pula dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan pergerakannya.
Namun,
ketika kebutuhan pergerakan tersebut tidak dapat diakomodasi dengan baik,
mereka pun dengan mudah dan cepat beralih ke kendaraan pribadi.
Kendaraan
pribadi menawarkan kemudahan pergerakan, fleksiblitas, serta suka tidak suka
telah sukses diposisikan sebagai lambang kemakmuran sekaligus lonceng
kematian industri angkutan umum.
Fenomena
ini diperparah dengan belum siapnya para pelaku industri angkutan umum dalam
menangkap perubahan preferensi konsumen serta kondisi pasar dengan cepat dan
tepat.
Pelaku
industri angkutan umum terlihat lambat merespon perubahan pola pasar terutama
di kawasan perkotaan dan pedesaan yang masih mengandalkan bus serta minibus
yang kondisinya serta layanannya tidak berubah banyak.
Dapat
dikatakan hanya industri taksi yang pada awalnya masih dapat mengikuti
perubahan pola pasar ini meskipun pada akhirnya tak luput dihantam oleh
krisis perekonomian 2009-2010 yang diperparah dengan kemunculan angkutan
berbasis aplikasi.
Kendati
demikian, pelaku industri angkutan umum tidak dapat disalahkan sepenuhnya
karena sejak bertahun-tahun mereka dibiarkan oleh pemerintah dan cenderung
mencari cara bertahan hidup sendiri.
Ini
sangat berbeda dengan perlakuan terhadap industri kendaraan bermotor pribadi
yang mendapat berbagai dukungan dan kemudahan bahkan hingga regulasi
fasilitas pembiayaan yang memungkinkan kredit kendaraan terjangkau.
Hal
yang sangat berbeda ketika pelaku industri angkutan umum ingin memperbarui
armadanya. Ini hanya satu contoh gambaran hambatan yang dihadapi industri
angkutan umum.
Untuk
menjawab semua kendala itu, transformasi sangat penting diwujudkan guna
menyelamatkan industri angkutan umum Indonesia. Transformasi berupa perubahan
pola pikir baik penyedia jasa maupun pemerintah sebagai regulator serta
transformasi pola pikir masyarakat sebagai pengguna.
Penyedia
jasa harus belajar dari pengalaman bahwa mereka sedang bergerak dalam
industri yang berubah secara cepat menjadi sebuah industri jasa. Tuntutan
pengguna bukan sekadar keberadaan layanan namun ketepatan layanan, kualitas,
jumlah, konsistensi, keamanan serta kenyamanan. Pendekatan kepada pengguna
maupun calon pengguna tidak bisa lagi berdasar pola pikir “gunakan apa yang
disediakan” melainkan harus menjadi “sediakan apa yang dibutuhkan”.
Penyiapan
rute trayek, perencanaan usaha, operasional hingga pencapaian keselamatan
harus dilakukan dengan jelas dan detail karena ini mencakup kebutuhan
masyarakat banyak yang tuntutan perbaikan layanan akan meningkat setiap hari.
Kelayakan
rute tidak bisa lagi sekadar dilihat dari penumpang harian namun harus secara
detail membandingkan kapasitas produksi dengan keterisian sehingga
menghindari kesalahan penilaian penggunaan dan pertumbuhan penumpang semu.
Subsidi
bagi BUMN dan BUMD transportasi juga harus mulai diposisikan tidak sebagai
sumber pendapatan utama untuk menghindari keterlambatan inovasi serta
perbaikan untuk pencapaian target peningkatan pengguna. Demikian halnya
dengan regulator yang harus bertransformasi secara cepat dan tepat. Regulasi
yang dihasilkan harus tepat sasaran dan berdasarkan pola pikir melayani
kebutuhan masyarakat.
Indonesia
merupakan negara hukum tapi bukan berarti hukum dan regulasi harus membatasi
pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Dukungan
kepastian serta kemudahan sejak dari perencanaan layanan, perancangan
kendaraan, pembiayaan penyediaan kendaraan, dukungan subsidi serta kemudahan
operasi hingga kejelasan regulasi rute serta penegakan persyaratan keamanan
dan keselamatan tidak lagi dapat ditawar.
Semua
regulasi harus disusun dengan dasar yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan
namun di sisi lain memberi insentif serta melindungi. Masyarakat yang selama
ini “dicuci otak” akan kemewahan kendaraan pribadi perlu didorong menggunakan
kendaraan umum dengan insentif sistem tarif sesuai kebutuhan, penyediaan
subsidi tepat sasaran, kemudahan akses serta kemudahan penggunaan angkutan
umum.
Persyaratan
pendukung yang tidak kalah penting adalah jaminan penegakkan hukum dan
perlindungan pedestrian serta pengguna angkutan umum. Kondisi keamanan
wilayah yang kondusif akan membuat masyarakat tidak ragu menggunakan angkutan
umum.
Kompleks
memang permasalahan angkutan umum di Indonesia.
Namun
tanpa transformasi, kita selamanya hanya bisa berandai-andai kapan negeri ini
bisa seperti negara maju lain yang penduduknya terbebas dari kekangan
penggunaan kendaraan pribadi serta memilih moda angkutan sesuai kebutuhan. Transformasi
layanan KRL serta keberhasilan industri angkutan udara kita dalam memperbaiki
layanan serta mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat menunjukkan bahwa
transformasi bukanlah hal yang mustahil.
Jadi,
kapankah kita akan bertransformasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar