Saham
Freeport untuk Papua
Ferdy Hasiman ; Peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia
|
KOMPAS,
26 Februari
2018
Pemerintah
pusat melalui Kementerian Keuangan dan Kemen- terian ESDM sepakat memberikan
10 persen saham PT Freeport Indonesia dari 51 persen saham yang akan didi-
vestasikan ke pihak nasional kepada peme- rintah daerah Papua. Dari 10 persen
saham itu, 5 persen untuk pemerintahan provinsi dan 5 persen untuk Pemerintah
Kabupaten Mimika (daerah operasi Freeport).
Mekanisme
pembelian saham Freeport dilakukan tanpa harus membebani APBD, tetapi melalui
mekanisme korporasi dengan cara membentuk perusahaan daerah (BUMD). BUMD
kemudian bekerja sama dengan perusahaan BUMN, seperti PT Indonesia Asahan
Aluminium (Inalum).
Dengan
pemberian 10 persen saham ke pemda Papua, maka saham Freeport yang harus
didivestasikan tersisa 30,64 persen karena pemerintah telah mengantongi 9,34
persen saham Freeport. Sisa saham sebesar 30,64 persen itu menurut rencana
akan diakuisisi konsorsium BUMN yang dipimpin PT Inalum. Meskipun demikian,
renegosiasi kontrak terkait divestasi saham bukan berarti sudah tuntas.
Proses
divestasi saat ini sudah di bawah kendali Kementerian Keuangan terkait urusan
teknis valuasi dan harga saham. Proses divestasi masih menemukan jalan buntu
karena pemerintah harus membeli 40 persen saham Rio Tinto di Freeport dan ada
masalah perbedaan harga. Jikapun proses divestasi 51 persen saham tuntas,
Freeport tetap mengendalikan operasi tambang Grasberg. Porsi 49 persen saham
sudah cukup bagi Freeport mengendalikan operasi tambang Grasberg.
Bukan
sekadar saham
Pemberian
saham kepada pemda Papua memiliki dasar hukum jelas. Berdasarkan UU No 4/2009
tentang Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah pusat memiliki first right
mengakuisisi saham Freeport. Jika pemerintah pusat tak menggunakan kesempatan
ini, penawaran akan diserahkan ke pemda atau swasta nasional melalui lelang.
Prosedur dan mekanisme pemberian saham secara berjenjang ke pemerintah pusat
dan pemda itu diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2012 yang
direvisi menjadi PP No 01/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Perintah UU No 4/2009 inilah yang membuat
Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bakrie Group mendapat 24 persen saham
Newmont Nusa Tenggara (sekarang Amman Mineral).
Pemberian
saham kepada pemda Papua bukan sekadar proyek menenangkan hati orang Papua.
Bukan juga untuk meredam gejolak dan gelombang protes orang Papua terhadap
pemerintah pusat. Pemberian saham kepada Papua lebih terkait penghargaan
terhadap martabat dan harga diri orang Papua. Freeport sudah masuk ke tambang
Grasberg sejak 1967 setelah Presiden Soeharto mengesahkan UU No 11/1967
tentang Penanaman Modal Asing dan menandatangani Perjanjian Kontrak Karya
(KK). KK mencederai konstitusi UUD 1945 karena meletakkan negara sejajar
dengan korporasi. Risikonya, pertambangan strategis itu gagal mengangkat
kesejahteraan rakyat dan posisi negara tergerus hanya sebatas menjaga
kontrak.
Bagi
warga Papua, KK Freeport yang ditandatangani 1967 itu cacat sejak lahir.
Cacat, karena yang berkontrak dalam KK pemerintah pusat dan Freeport, bukan
warga Papua (Amungme dan Kamoro), pemilik hak ulayat lahan pertambangan.
Warga Papua tak pernah terlibat perjanjian. Negara seharusnya perlu berdialog
dulu dengan warga sebelum mengikat kontrak. Namun, warga Papua merasa tak
pernah berkomunikasi dengan pemerintah dan Freeport dalam KK. Selain itu,
masuk ke lahan hak ulayat dan tanah warga harus melalui izin pemilik tanah,
jangan sampai Anda dicap pencuri.
Buktinya,
warga Amungme-Papua tak pernah diberitahukan soal investasi tambang. Mereka
terkaget-kaget ketika mesin-mesin raksasa menggerus hak ulayat masyarakat
adat, merusak lingkungan, dan mencemari Sungai Wanagon yang dianggap keramat
dalam budaya orang Amungsal. Warga kemudian melakukan protes. Namun,
kesadaran mereka datang terlambat karena Freeport dan pemerintah sudah
mengikat kontrak lebih awal. Untuk mengakomodasi protes warga, pemerintah
pusat sepakat membuat January Agreement tahun 1971, yang berisi perjanjian
antara Freeport dan masyarakat adat Amungme untuk menghormati hak-hak
masyarakat adat. Namun, perjanjian itu hanya formalitas belaka. Keberadaan
Freeport masih menorehkan luka bagi Papua.
Pelanggaran
HAM di sekitar area tambang kerap terjadi, ditambah lagi kerusakan lingkungan
dan deforestasi. Warga Papua menganggap sejarah Freeport adalah sejarah
penindasan dan eksploitasi. Sejarah suku Amungme adalah sejarah orang- orang
kalah. Sejak membuka tambang Erstberg, warga suku Amugme dipindahkan secara
paksa ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
Warga
Komoro dan Amungme harus minggir ke kawasan Mimika dan Puncak Jaya dengan
berbagai tekanan politik dan militer. Warga Amungme di sekitar Puncak
Jayawijaya memang mendapat permukiman dan perkebunan dari Freeport, tetapi
mereka tetap pulang kampung dan tinggal di sekitar areal pertambangan,
seperti Kampung Banti, Waa, dan Aroanop di aliran Sungai Wanagon.
Mereka
mengimani tanah layaknya figur ibu yang merawat, mendidik, dan membesarkan.
Namun, sejak Freeport beroperasi, Sungai Wanagon menjadi tempat pembuangan
limbah tambang.
Tak
mengherankan, jika warga Papua menganggap Freeport Indonesia (FI) sebagai imperialisme
baru di Papua. Pemerintah dianggap kaki tangan korporasi. Pemerintah ikut
memfasilitasi kerusakan lingkungan hidup, deforestasi, dan pelanggaran HAM
oleh Freeport hanya untuk meningkatkan penerimaan negara. Penerimaan negara
dari Freeport memang tinggi. FI membayar pajak 421 juta dollar AS dan royalti
118 juta dollar AS tahun 2014. Tahun 2015, Freeport membayar 109 juta dollar
AS kewajiban ekspor dan 114 juta dollar AS royalti. Itu sudah menunjukkan
pemerintah pusat memiliki ketergantungan fiskal cukup tinggi terhadap
Freeport. Padahal, Freeport mengeksploitasi alam Papua secara masif.
Eksploitasi
dan eksplorasi tembaga dan emas oleh Freeport di Papua sudah berlangsung
sejak awal KK dibuat. Tahun 1971, Freeport mulai melakukan eksplorasi tambang
tembaga dan emas di lahan seluas 10.000 hektar di Pegunungan Erstberg, tanah
milik suku Amungme. Tambang Ertsberg dibangun pada ketinggian 4.500 meter di
atas permukaan laut dan secara resmi pada 1973 dan 1981 dibuka pula Ertsberg
timur. Jalan kereta api tram (tramway) telah dibuat untuk mengangkut tembaga,
peralatan, dan tenaga kerja ke puncak gunung itu. Setelah menjarah habis
Erstberg, korporasi asal AS ini kemudian berekspansi ke pertambangan open-pit
di Pegunungan Grasberg.
Tambang
open-pit Grasberg adalah tambang paling menguntungkan dan mendulang banyak
uang bagi FI. Produksi terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi
rata-rata harian untuk bijih tembaga naik dari 112.000 ton per hari (1994)
menjadi 238.000 ton per hari (1999) dan 220.00 ton per hari (2005). Seiring
berjalannya waktu dan begitu besar eksploitasi, produksi turun menjadi
166.000 ton (2010), 121.000 ton (2013), dan 163.000 ton (2014). Dalam waktu
tak lama lagi, nasib Grasberg akan sama dengan Erstberg, cadangan tembaga dan
emas habis dieksploitasi dan hanya meninggalkan lubang menganga tanpa
reklamasi.
Untuk
mengantisipasi titik puncak Grasberg, Freeport sejak 2004 sudah berinvestasi
di tambang bawah tanah (underground) yang dianggap masa depan Freeport.
Tambang bawah tanah ini termasuk Grasberg Blok Cave, Deep Mill Level Zone
(DMLZ), Deep Mill Level Zone (DMLZ), dan Deep Ore Zone (DOZ).
Berdasarkan
laporan keuangan Freeport tahun 2012, tambang bawah tanah menyumbang 91
persen cadangan tembaga Freeport dan sisanya 9 persen disumbangkan tambang
open-pit. Tambang bawah tanah adalah masa depan Freeport yang menjanjikan.
DOZ berkapasitas 80.000 metrik ton bijih per hari. Blok Cave Grasberg dan
DMLZ, dalam perkiraan kasar, akan menghasilkan 24.000 metrik ton per hari
untuk mengantisipasi masa transisi tambang open-pit pada 2016. Sebagai proyek
ambisius, pendanaan untuk membangun tambang bawah tanah juga perlu dana
investasi cukup besar. Tahun 2004-2016, Freeport sudah mengeluarkan sekitar 8
miliar dollar AS untuk pembangunan tambang bawah tanah dan perusahaan akan
mengeluarkan dana 17 miliar dollar AS lagi untuk investasi di tambang bawah
tanah sampai 2031.
Satu
hal yang pasti bahwa sepotensial apa pun tambang bawah tanah pasti akan
terkerus habis. Apalagi jika dieksploitasi secara masif, cadangan tambang
pasti habis dan meninggalkan bekas-bekas tambang di belakangnya. Tambang
Freeport di Grasberg diperkirakan akan mencapai masa puncak produksi sekitar
2065. Setelah itu Freeport kembali ke negeri asalnya, AS, sambil meninggalkan
masalah lingkungan di belakangnya dan masalah sosial karena harus merumahkan
ribuan karyawan. FI berkontribusi 0,8 persen terhadap PDB Indonesia, 37,5
persen terhadap PDRB Provinsi Papua, dan 91 persen PDRB Kabupaten Timika. Itu
artinya, ketergantungan Papua dan Mimika terhadap Freeport sangatlah besar.
Kita tidak tahu lagi bagaimana masa depan Papua dan Mimika pasca-pertambangan
Freeport.
Kontrol
korporasi
Untuk
mengontrol karakter serakah korporasi dan eksploitasi tambang berlebihan,
sangat penting bagi perusahaan negara dan pemda Papua menjadi pemegang saham
Freeport. Papua harus memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang saham
(RUPS) dan melibatkan wakilnya di manajemen Freeport. Perwakilan Papua di
manajemen memiliki hak suara untuk mengontrol jika keputusan manajemen
merugikan warga Papua, merusak lingkungan, dan merusak hutan.
Ekonom
Joseph Stiglitz mengatakan, keputusan manajer dalam sebuah perusahaan
(apalagi perusahaan tambang) cenderung menimbulkan asimetri informasi.
Artinya, rakyat tak pernah mengetahui bagaimana manajer membuat keputusan
penting untuk investasi. Rakyat baru mengetahui keputusan itu setelah produk
ada di pasar dan merusak kehidupan. Mereka tak pernah terlibat dalam proses
pengambilan keputusan. Masuknya Papua dalam RUPS penting untuk mengontrol
karakter serakah korporasi yang cenderung mengakumulasi modal. Papua tentu
bukan sekadar minta saham. Pekerjaan bagi pemda Papua tentu bukan hanya
sampai pada permintaan saham. Pemda Papua harus mempersiapkan perusahaan BUMD
yang profesional dan mempersiapkan anak-anak Papua agar mampu berkompetisi
dengan pekerja luar Papua. Pemda juga harus memikirkan sejak dini bagaimana
mengantisipasi dan membangun roda ekonomi Papua pasca-pertambangan Freeport
usai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar