Insiden
Infrastruktur
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas
Gadjah Mada; Pengajar BI Institute
|
KOMPAS,
27 Februari
2018
Sejumlah kecelakaan dan
insiden dalam pembangunan infrastruktur selama dua bulan terakhir menyadarkan
kita, membangun infrastruktur bukan semata-mata mengejar aspek kuantitatif
(jumlah, panjang, dan volume). Membangun infrastruktur juga terkait dengan
aspek kualitatif (keselamatan dan kualitas bangunan) yang tak kalah
prioritas.
Pemerintah tampak amat
antusias mendorong pembangunan infrastruktur karena Indonesia masih tercecer
dibandingkan dengan negara tetangga. Namun, hal itu tidak boleh mengabaikan
aspek keselamatan dan kualitas. Sebab, infrastruktur tersebut akan digunakan
untuk rentang waktu yang panjang, bahkan menembus seabad untuk kasus,
misalnya, angkutan massal cepat (MRT) dan bendungan. Bukan hanya untuk
perspektif pendek 5-10 tahun ke depan.
Sebenarnya, kita sudah
diingatkan, aspek kuantitatif dan kualitatif bangunan fisik sering kali tidak
bisa berjalan seiring, keduanya mengalami trade-off. Ketika pemerintah
seperti tergopoh-gopoh menyelesaikan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di
Tangerang, Banten, untuk mengejar Lebaran 2016, apa yang terjadi? Kualitas
penyelesaian terpaksa dikorbankan. Tembok dan lantai bandara tampak
bergelombang, atap pernah bocor karena hujan deras sehingga air menggenangi
lantai bandara, dan seterusnya. Kasus ini tidak sampai menelan korban
manusia, hanya kerusakan.
Namun, ketika belakangan
ini timbul korban manusia, pemerintah pun cepat merespons dengan menghentikan
sejenak pembangunan infrastruktur jalan layang (elevated). Langkah itu tepat
karena inilah saatnya untuk mengambil jeda sejenak guna melakukan evaluasi
yang mendalam. Apanya yang salah? Bagaimana memperbaikinya?
Pemerintah tidak perlu
malu untuk jujur mengakui, pembangunan infrastruktur kita memang masih
mengalami berbagai kendala. Namun, dengan segala kendala itu pun, indeks daya
saing kita mengalami kemajuan. Peringkat Indonesia terus membaik ke posisi
ke-36 (2018) dari sebelumnya ke-41 (2017) di antara 140 negara. Namun, RI
masih di bawah Malaysia (25) dan Thailand (32).
Indeks oleh World Economic
Forum di Swiss ini mengacu pada 12 pilar: (1) institusi, (2) infrastruktur,
(3) ekonomi makro, (4) pendidikan dan kesehatan dasar, (5) pendidikan tinggi
dan pelatihan, (6) efisiensi pasar barang, (7) efisiensi pasar tenaga kerja,
(8) perkembangan pasar finansial, (9) kesiapan teknologi, (10) besarnya
pasar, (11) kecanggihan dunia bisnis, serta (12) inovasi.
Variasi masalah bisa
terentang dari aspek pembebasan lahan, sumber pendanaan, hingga harga tiket
yang akan dibebankan kepada konsumen. Misalnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung
yang hingga dua tahun sesudah groundbreaking (Februari 2016) sampai kini
masih ber-
gulat dengan berbagai
aspek tersebut, termasuk soal penentuan harga tiket. Harga tiket adalah titik
krusial, apakah kereta cepat ini akan banyak peminatnya atau tidak.
Kita tahu penentuan harga
tiket biasanya banyak ditentukan berbagai dinamika variabel ekonomi, tetapi
bahwa harga tiket akan melejit di atas perkiraan semula, hal tersebut patut
disesali. Perencanaan yang superketat dengan menyajikan kemungkinan yang
terburuk seyogianya dilakukan sejak awal. Tidak perlu memaksakan sebuah
proyek ”harus layak” sehingga harus dikerjakan.
Best practices di luar
negeri, kereta cepat mencapai skala ekonomi ketika menempuh jarak cukup
panjang, misalnya Tokyo-Osaka (515 km) di Jepang dan Beijing-Shanghai (1.318
km) di China, keduanya menghubungkan ibu kota negara. Oleh karena itu, untuk
kasus Indonesia, proyek kereta cepat bisa jadi ekonomis (layak) jika
terentang di dua kota terbesar, Jakarta-Surabaya (735 km), dibandingkan
dengan Jakarta-Bandung (142 km).
Koreksi
Kembali ke insiden proyek
infrastruktur, bagaimana selanjutnya? Secara alamiah, sudah terjadi koreksi
terhadap harga saham BUMN infrastruktur di bursa efek, yakni Waskita Karya,
Wijaya Karya, dan Adhi Karya. Bahwa pasar sempat ”menghukumnya”, itu adalah
konsekuensi yang wajar alias sebuah keniscayaan. Namun, itu hanyalah
sementara. Ke depan, harga saham BUMN karya masih prospektif. Dengan evaluasi
dan komitmen untuk melakukan berbagai perbaikan, kepercayaan investor bisa
dikembalikan.
Kasus ini juga seperti
mengingatkan isu di kalangan pengusaha swasta bahwa pemerintah perlu berbagi
beban dalam membangun infrastruktur. Dengan dana infrastruktur di APBN 2018
yang mencapai Rp 410 triliun, pemerintah perlu memberikan lebih banyak
kesempatan kepada kontraktor swasta untuk mengambil peran. Selain berbagi
beban sehingga BUMN karya bisa lebih fokus mempertahankan kualitas pekerjaan,
pemerintah juga bisa menstimulasi efek pengganda dan ikut membesarkan bisnis
swasta.
Terlepas dari insiden
kecelakaan infrastruktur, tantangan besar pembangunan infrastruktur kita
tahun ini justru berasal dari kenaikan harga minyak dunia yang kini mencapai
67 dollar AS per barrel yang disebabkan penurunan cadangan minyak
negara-negara besar.
Kenaikan harga ini, jika
terus berlanjut, bakal mengembalikan keadaan perekonomian ke posisi 2014.
Pada akhir pemerintahan sebelumnya, dengan harga minyak dunia 100 dollar AS
per barrel, subsidi BBM mencapai Rp 250 triliun dan subsidi listrik Rp 100 triliun.
Dengan demikian, total subsidi energi mencapai Rp 350 triliun. Jumlah ini
justru mendekati anggaran infrastruktur setahun saat ini.
Agar kondisi ini tak
memburuk, harapan satu-satunya adalah para produsen minyak dunia yang
dipimpin Arab Saudi dan Rusia (masing-masing produksinya di atas 10 juta
barrel sehari) terus menaikkan produksinya untuk memanfaatkan kenaikan harga.
Faktor inilah yang akan menjadi koreksi terhadap kenaikan harga minyak ke
level yang lebih terjangkau, misalnya 50 dollar AS hingga 60 dollar AS per
barrel.
Akhirnya dapat disimpulkan
bahwa insiden pembangunan infrastruktur secara umum berdampak kecil dan
bersifat sementara bagi pembangunan, tetapi mengandung makna positif bagi
upaya mendahulukan keselamatan dan kualitas. Koreksi harga saham juga tidak
akan berlarut-larut. Justru harga minyak yang tinggi yang bisa mengganggu
kecepatan pemerintah melanjutkan belanja besarnya untuk mendanai
infrastruktur. Semoga kenaikan harga minyak hanyalah ”riak” yang tidak
berlanjut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar