Selasa, 27 Februari 2018

Insiden Infrastruktur

Insiden Infrastruktur
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada; Pengajar BI Institute
                                                     KOMPAS, 27 Februari 2018



                                                           
Sejumlah kecelakaan dan insiden dalam pembangunan infrastruktur selama dua bulan terakhir menyadarkan kita, membangun infrastruktur bukan semata-mata mengejar aspek kuantitatif (jumlah, panjang, dan volume). Membangun infrastruktur juga terkait dengan aspek kualitatif (keselamatan dan kualitas bangunan) yang tak kalah prioritas.

Pemerintah tampak amat antusias mendorong pembangunan infrastruktur karena Indonesia masih tercecer dibandingkan dengan negara tetangga. Namun, hal itu tidak boleh mengabaikan aspek keselamatan dan kualitas. Sebab, infrastruktur tersebut akan digunakan untuk rentang waktu yang panjang, bahkan menembus seabad untuk kasus, misalnya, angkutan massal cepat (MRT) dan bendungan. Bukan hanya untuk perspektif pendek 5-10 tahun ke depan.

Sebenarnya, kita sudah diingatkan, aspek kuantitatif dan kualitatif bangunan fisik sering kali tidak bisa berjalan seiring, keduanya mengalami trade-off. Ketika pemerintah seperti tergopoh-gopoh menyelesaikan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, untuk mengejar Lebaran 2016, apa yang terjadi? Kualitas penyelesaian terpaksa dikorbankan. Tembok dan lantai bandara tampak bergelombang, atap pernah bocor karena hujan deras sehingga air menggenangi lantai bandara, dan seterusnya. Kasus ini tidak sampai menelan korban manusia, hanya kerusakan.

Namun, ketika belakangan ini timbul korban manusia, pemerintah pun cepat merespons dengan menghentikan sejenak pembangunan infrastruktur jalan layang (elevated). Langkah itu tepat karena inilah saatnya untuk mengambil jeda sejenak guna melakukan evaluasi yang mendalam. Apanya yang salah? Bagaimana memperbaikinya?

Pemerintah tidak perlu malu untuk jujur mengakui, pembangunan infrastruktur kita memang masih mengalami berbagai kendala. Namun, dengan segala kendala itu pun, indeks daya saing kita mengalami kemajuan. Peringkat Indonesia terus membaik ke posisi ke-36 (2018) dari sebelumnya ke-41 (2017) di antara 140 negara. Namun, RI masih di bawah Malaysia (25) dan Thailand (32).

Indeks oleh World Economic Forum di Swiss ini mengacu pada 12 pilar: (1) institusi, (2) infrastruktur, (3) ekonomi makro, (4) pendidikan dan kesehatan dasar, (5) pendidikan tinggi dan pelatihan, (6) efisiensi pasar barang, (7) efisiensi pasar tenaga kerja, (8) perkembangan pasar finansial, (9) kesiapan teknologi, (10) besarnya pasar, (11) kecanggihan dunia bisnis, serta (12) inovasi.

Variasi masalah bisa terentang dari aspek pembebasan lahan, sumber pendanaan, hingga harga tiket yang akan dibebankan kepada konsumen. Misalnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang hingga dua tahun sesudah groundbreaking (Februari 2016) sampai kini masih ber-
gulat dengan berbagai aspek tersebut, termasuk soal penentuan harga tiket. Harga tiket adalah titik krusial, apakah kereta cepat ini akan banyak peminatnya atau tidak.

Kita tahu penentuan harga tiket biasanya banyak ditentukan berbagai dinamika variabel ekonomi, tetapi bahwa harga tiket akan melejit di atas perkiraan semula, hal tersebut patut disesali. Perencanaan yang superketat dengan menyajikan kemungkinan yang terburuk seyogianya dilakukan sejak awal. Tidak perlu memaksakan sebuah proyek ”harus layak” sehingga harus dikerjakan.

Best practices di luar negeri, kereta cepat mencapai skala ekonomi ketika menempuh jarak cukup panjang, misalnya Tokyo-Osaka (515 km) di Jepang dan Beijing-Shanghai (1.318 km) di China, keduanya menghubungkan ibu kota negara. Oleh karena itu, untuk kasus Indonesia, proyek kereta cepat bisa jadi ekonomis (layak) jika terentang di dua kota terbesar, Jakarta-Surabaya (735 km), dibandingkan dengan Jakarta-Bandung (142 km).

Koreksi

Kembali ke insiden proyek infrastruktur, bagaimana selanjutnya? Secara alamiah, sudah terjadi koreksi terhadap harga saham BUMN infrastruktur di bursa efek, yakni Waskita Karya, Wijaya Karya, dan Adhi Karya. Bahwa pasar sempat ”menghukumnya”, itu adalah konsekuensi yang wajar alias sebuah keniscayaan. Namun, itu hanyalah sementara. Ke depan, harga saham BUMN karya masih prospektif. Dengan evaluasi dan komitmen untuk melakukan berbagai perbaikan, kepercayaan investor bisa dikembalikan.

Kasus ini juga seperti mengingatkan isu di kalangan pengusaha swasta bahwa pemerintah perlu berbagi beban dalam membangun infrastruktur. Dengan dana infrastruktur di APBN 2018 yang mencapai Rp 410 triliun, pemerintah perlu memberikan lebih banyak kesempatan kepada kontraktor swasta untuk mengambil peran. Selain berbagi beban sehingga BUMN karya bisa lebih fokus mempertahankan kualitas pekerjaan, pemerintah juga bisa menstimulasi efek pengganda dan ikut membesarkan bisnis swasta.

Terlepas dari insiden kecelakaan infrastruktur, tantangan besar pembangunan infrastruktur kita tahun ini justru berasal dari kenaikan harga minyak dunia yang kini mencapai 67 dollar AS per barrel yang disebabkan penurunan cadangan minyak negara-negara besar.

Kenaikan harga ini, jika terus berlanjut, bakal mengembalikan keadaan perekonomian ke posisi 2014. Pada akhir pemerintahan sebelumnya, dengan harga minyak dunia 100 dollar AS per barrel, subsidi BBM mencapai Rp 250 triliun dan subsidi listrik Rp 100 triliun. Dengan demikian, total subsidi energi mencapai Rp 350 triliun. Jumlah ini justru mendekati anggaran infrastruktur setahun saat ini.

Agar kondisi ini tak memburuk, harapan satu-satunya adalah para produsen minyak dunia yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia (masing-masing produksinya di atas 10 juta barrel sehari) terus menaikkan produksinya untuk memanfaatkan kenaikan harga. Faktor inilah yang akan menjadi koreksi terhadap kenaikan harga minyak ke level yang lebih terjangkau, misalnya 50 dollar AS hingga 60 dollar AS per barrel.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa insiden pembangunan infrastruktur secara umum berdampak kecil dan bersifat sementara bagi pembangunan, tetapi mengandung makna positif bagi upaya mendahulukan keselamatan dan kualitas. Koreksi harga saham juga tidak akan berlarut-larut. Justru harga minyak yang tinggi yang bisa mengganggu kecepatan pemerintah melanjutkan belanja besarnya untuk mendanai infrastruktur. Semoga kenaikan harga minyak hanyalah ”riak” yang tidak berlanjut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar