Profesor
Minim Karya Ilmiah
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Februari 2018
KARYA ilmiah profesor atau
guru besar di Indonesia dalam tiga tahun terakhir dilaporkan sangat minimal. Dari hasil evaluasi Kementerian Riset dan
Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) per tiga tahun yang untuk pertama
kalinya dilakukan mulai November 2017, tercatat dari 5.366 profesor yang ada,
ternyata hanya 1.551 orang yang memenuhi syarat publikasi sebagaimana
diamanatkan dalam Permenristek-Dikti No 20/2017.
Artinya, hanya 1 dibanding
3 profesor yang terbukti mampu melahirkan karya ilmiah di jurnal
internasional bereputasi. Sebagian besar profesor di Tanah Air ternyata
menghabiskan waktu mereka di kampus hanya untuk mengajar dan membimbing
mahasiswa.
Fakta bahwa tidak banyak
profesor yang menghasilkan baik karya ilmiah, paten, maupun karya seni atau
desain monumental sebagaimana dilaporkan Kemenristek-Dikti tentu sangat
memprihatinkan. Meski pemerintah telah memutuskan untuk menunda pencabutan
tunjangan guru besar yang seharusnya mulai dilaksanakan 2018 ini ke 2019
nanti, data tentang minimnya karya ilmiah para profesor di Tanah Air itu
mengindikasikan bahwa ada yang keliru tentang produktivitas profesor.
Apa sebetulnya yang
menyebabkan para profesor seolah enggan menulis karya ilmiah di jurnal
internasional bereputasi? Kenapa para profesor di luar negeri begitu
produktif menghasilkan artikel ilmiah di jurnal internasional, sementara para
profesor di Tanah Air terkesan mandul?
Faktor
penyebab
Sampai akhir Desember
2017, publikasi karya ilmiah intelektual dari Indonesia sebetulnya tercatat
sudah meningkat cukup tajam, yakni mencapai 16.471 karya ilmiah. Dua tahun
sebelumnya jumlah karya artikel ilmiah para intelektual Indonesia tidak lebih
dari 10 ribu artikel. Jika dibandingkan dengan Thailand yang hanya
menghasilkan 14.200 artikel di jurnal internasional, saat ini kita memang
masih lebih baik. Namun, jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Hong
Kong, dan negara maju lainnya, harus diakui kita masih ketinggalan jauh.
Dalam kurun waktu
1996-2015, Indonesia dilaporkan menduduki peringkat ke-11 di kawasan negara
Asia dengan jumlah karya ilmiah hanya 39.719 artikel di jurnal internasional.
Bandingkan, misalnya, dengan Singapura yang mampu menghasilkan 215.553 karya
ilmiah dan Malaysia yang mampu menghasilkan sebanyak 181.251 karya ilmiah. Di
berbagai negara maju, kultur akademik yang telah berkembang mapan menyebabkan
aktivitas menulis karya ilmiah bukan lagi kewajiban, melainkan telah menjadi
tuntutan seluruh intelektual.
Antusiasme para profesor
dan dosen Indonesia untuk menghasilkan dan menyebarluaskan karya ilmiah
tergolong rendah. Dari kewajiban profesor dan dosen melaksanakan Tridharma
Perguruan Tinggi, kebanyakan mereka lebih memilih mengajar dan membimbing
mahasiswa daripada meneliti dan mengabdikan. Tidak banyak profesor yang
antusias dan terbiasa menulis, baik itu buku, artikel opini, apalagi artikel
di jurnal internasional. Para dosen di Indonesia yang terdaftar di Sinta
(Science and Technology Index), misalnya tercatat baru 28% dari total dosen
yang ada.
Keengganan dosen
mendaftarkan diri di Sinta, situs yang dikelola Kemenristek-Dikti itu, sedikit-banyak
merefleksikan kecilnya minat atau ketidakpedulian para dosen, terutama
profesor, untuk berkarya dan menyebarluaskan karya-karya ilmiahnya. Melalui
Sinta, sebetulnya rekam jejak intelektual seorang profesor akan dapat
diketahui. Namun, sering terjadi para profesor enggan mendaftarkan diri ke
Sinta karena memang tidak ada atau sedikit karya ilmiah mereka yang bisa
ditampilkan.
Kenapa sebagian besar
profesor di Indonesia enggan atau belum mampu menghasilkan karya ilmiah di
jurnal internasional yang bereputasi?
Menjawab pertanyaan itu
harus diakui bukan hal yang mudah. Ada banyak faktor yang menyebabkan para
profesor sepertinya terlena dengan status kehormatan mereka sebagai guru
besar dan lupa untuk membuktikan diri melalui karya ilmiah yang dihasilkan.
Beberapa hal yang menjadi penyebab produktivitas profesor rendah dalam
menghasilkan karya tulis ilmiah di jurnal internasional bereputasi ialah
seperti berikut ini.
Pertama, karena para
profesor tampaknya enggan untuk kembali menjadi pemula dan mencoba menulis
artikel ilmiah untuk jurnal internasional bereputasi yang biasanya melalui
proses seleksi yang ketat. Sebagian besar profesor yang sudah terbiasa
menikmati keistimewaan dan status sebagai guru besar yang dihormati tampaknya
banyak yang kemudian enggan jika kembali harus berjuang untuk memperlihatkan
eksistensi mereka melalui karya ilmiah.
Bagi profesor yang minim
berkarya itu, tampaknya lebih baik mereka mengajar dan membimbing mahasiswa
yang sudah pasti akan menghormati kedudukan mereka daripada berusaha menulis
artikel ilmiah di jurnal internasional yang membutuhkan energi ekstra besar.
Ego sebagai guru besar dan kenyamanan yang selama ini telah dirasakan,
langsung atau tidak langsung, membuat banyak profesor akhirnya memilih
berdiam diri daripada susah-payah menghasilkan artikel yang belum tentu lolos
seleksi.
Bukan tidak mungkin, dalam
hati mereka berpikir, daripada nanti malu ditolak karena artikel mereka
dinilai tidak layak muat, lebih baik memilih tidak usah menulis, tetapi tetap
dapat mempertahankan status lewat jalur yang lebih memungkinkan.
Kedua, karena sumber
pemasukan dari mengajar, membimbing, dan menguji mahasiswa dirasakan sudah
cukup menjanjikan daripada memperoleh insentif menulis di jurnal
internasional bereputasi. Meski penghasilan bukan satu-satunya yang menjadi
bahan pertimbangan, iming-iming penghasilan yang besar tanpa harus menulis
artikel ilmiah tentu menjadi tawaran yang sulit ditepis.
Seorang profesor yang
memiliki bimbingan 20 mahasiswa program studi S-3, misalnya, paling tidak ia
sudah memperoleh penghasilan sekitar Rp100 juta. Itu belum termasuk honor
jika mereka menjadi tim penguji atau diundang sebagai dosen tamu dan
narasumber di berbagai seminar.
Sudah bukan rahasia lagi
bahwa banyak profesor lebih memilih menjadi promotor mahasiswa S-3 atau S-2,
selain karena penghasilannya lumayan besar, juga karena biasanya terkadang
mereka juga memperoleh tambahan fasilitas lain, seperti diundang sebagai
narasumber dan memperoleh hadiah berbagai macam dari mahasiswa bimbingannya.
Seorang profesor yang
sudah terlalu lama tidak pernah lagi menulis artikel ilmiah ibaratnya ia
sudah ketinggalan perkembangan ilmu yang terbaru, yang membuat mereka makin
sulit mengembangkan kemampuan intelektualitas mereka.
Ketiga, karena sebagian
profesor lebih memilih menempuh karier di jalur struktural, menjadi pejabat
di kampus dan memperoleh tunjangan yang lumayan besar. Bagi profesor yang
menduduki jabatan struktural, mereka biasanya dengan mudah akan berkilah
sudah terlalu banyak disibukkan dengan tugas administratif, dan karenanya
meminta dimaklumi jika tidak memiliki banyak waktu untuk menulis artikel di
jurnal internasional.
Jangankan menulis artikel
di jurnal internasional bereputasi, bahkan menulis opini di media cetak
maupun media online pun mereka merasa tidak memiliki kesempatan yang cukup
dengan alasan sibuk mengurus administrasi urusan kampus.
Di berbagai perguruan
tinggi, sudah bukan rahasia lagi para profesor yang menduduki jabatan
struktural cenderung mandul. Waktu sehari-hari habis tersita untuk rapat dan
urusan administrasi. Kesempatan untuk berkontemplasi dan menelusur artikel
ilmiah di jurnal bereputasi untuk bahan menulis tidak lagi tersedia.
Pada titik ini, tidak
mengherankan jika profesor yang menduduki jabatan struktural tersebut seolah
seperti orang yang kehabisan ide, pikirannya menjadi tumpul karena tekanan
dan beban pekerjaan rutin.
Keempat, untuk menyiasati
keterbatasan dan ketidakmampuan, sejumlah profesor memang dimungkinkan
melakukan tandem dengan mahasiswa bimbingan mereka atau tandem dengan dosen
junior yang lebih fresh secara intelektual. Cara seperti itu biasanya
dilakukan sebagai bentuk kamuflase untuk menutupi kesibukan dan
ketidakmampuan profesor.
Tidak sedikit profesor
memilih cara tandem itu karena dirasa lebih mudah.
Seorang profesor yang
hanya menulis satu-dua artikel, dan kemudian selebihnya hanya melakukan
tandem atau titip nama kepada mahasiswa bimbingannya, sebetulnya kurang elok.
Namun, cara itu masih ditoleransi Kemenristek-Dikti. Cuma, yang
memprihatinkan, meski cara itu diperkenankan, ternyata juga tidak banyak
profesor yang mau dan mampu melakukannya karena keterbatasan pengetahuan
mereka tentang perkembangan bidang keilmuannya yang terbaru.
Sanksi
sosial
Editorial Media Indonesia
pada 24 Februari 2018 telah menulis keprihatinan kita bersama terhadap
minimnya karya ilmiah profesor. Bahkan, dalam catatan Editorial disebutkan
kemungkinan saat ini kita tengah menghadapi darurat keilmuan profesor.
Jika benar data yang ada
menyatakan sekitar 70% profesor tidak produktif menghasilkan karya ilmiah,
itu bukan hanya mengisyaratkan keprihatinan kita terhadap produktivitas insan
kampus, terutama kemandulan intelektualitas para profesor, melainkan
sebetulnya juga mengisyaratkan ada yang salah tentang mekanisme yang
dikembangkan Kemenristek-Dikti dalam mendorong para profesor menulis.
Ancaman sanksi berupa
pencabutan atau pemotongan tunjangan kehormatan guru besar jika tidak menulis
artikel di jurnal internasional sebenarnya bukanlah solusi yang tepat.
Daripada mengeluarkan ancaman pemotongan atau pencabutan tunjangan kehormatan
guru besar, sesungguhnya akan lebih bijak jika sanksi yang diberlakukan lebih
berupa sanksi sosial.
Melarang profesor yang
tidak pernah menulis artikel di jurnal internasional menjadi promotor,
menurut saya, lebih efektif dan adil karena secara moral tidaklah elok
mewajibkan mahasiswa bimbingannya menulis artikel di jurnal internasional
jika mereka sendiri belum melakukan hal yang sama.
Terlepas dari minimnya
karya ilmiah profesor di Tanah Air, ada baiknya jika pemerintah membebani
lagi dengan sanksi ekonomi seolah gaji mereka selama ini sudah lebih dari
cukup.
Ancaman pencabutan dan
pemotongan tunjangan guru besar jika mereka tidak menulis artikel di jurnal
internasional jangan-jangan justru kontraproduktif karena akar masalahnya
bukan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar