Kamis, 22 Februari 2018

Pemilu 2019 dan Indonesia 2030-2045

Pemilu 2019 dan Indonesia 2030-2045
Muhammad Farid  ;    Fellow pada Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 22 Februari 2018



                                                           
PADA 17 Februari 2018, KPU menetapkan 14 parpol sebagai peserta Pemilu 2019. Berbagai analisis sosial politik menyangkut Pemilu 2019 sudah banyak sekali dilakukan. Akan tetapi, agaknya–mungkin saja salah–hampir tidak ada yang mengaitkan Pemilu 2019 dengan antisipasi puncak bonus demografi RI pada 2030 dan 100 tahun RI pada 2045. Analisis dari sudut pandang demografi ini diperlukan sebab diperkirakan pada Pemilu 2019 jumlah pemilih generasi Y (generasi milenial) atau mereka yang lahir di rentang 1980-1995 mencapai 47%-50% dari total pemilik hak suara (Media Indonesia, 30 Oktober 2017).

Pemilu 2019 juga 'penghantar' peralihan ke masa transisi menuju masa puncak produktivitas generasi Z atau mereka yang lahir pada pertengahan dekade 1990-an hingga dekade 2010-an. Dengan demikian, generasi Y dan Z merupakan komponen terpenting saat terjadinya bonus demografi 2030, ataupun saat RI berusia 100 tahun. Menurut Kementerian PPN/Bappenas, pada 2030-2040, penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) diperkirakan mencapai 64% dari total jumlah penduduk RI yang diproyeksikan 297 juta jiwa.

Masa krusial

Tidak dimungkiri, para politikus dan parpol yang akan berkompetisi di Pemilu 2019 sudah menyadari besarnya ceruk pemilih dari generasi Y-Z dan memiliki berbagai strategi guna mendulang suara dari generasi itu. Namun, ada yang lebih penting dari sekadar merumuskan strategi memenangi kursi, yaitu merancang arah pembangunan menuju 2030 dan 2045. Hal itu tidak berlebihan karena Pemilu 2019 memilih persona-persona yang akan memimpin negeri ini hingga 2024 atau hanya enam tahun menjelang 2030. Artinya, stabilitas negeri ini pada 2030 dan 2045 bukanlah sesuatu yang dapat diciptakan dalam waktu singkat, melainkan membutuhkan kerja berkesinambungan.

Sebagai gambaran, pada 2015 negara tetangga Singapura sudah merumuskan tiga tantangan mendasar hingga 50 tahun ke depan, yaitu mempertahankan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan rasio fertilitas warga negara Singapura, dan menegaskan jati diri kesingapuraan.

Momen Pemilu 2019 merupakan kesempatan dan tantangan 'bertarung' dalam gagasan menuju Indonesia 2030 dan 2045. Dalam hal ini, politisi dan parpol yang mengikuti Pemilu 2019 masih memiliki waktu mempersiapkan gagasan, terutama generasi Y dan Z, mengingat masa kampanye baru berlangsung pada 23 September 2018-13 April 2019.

Lemhannas sejak 2015 sudah menawarkan gagasan skenario Indonesia 2045 yang dimuat dalam buku Skenario Indonesia 2045: Sketsa Peluang dan Tantangan Masa Depan. Berbeda dengan ‘prediksi’, ‘visi’, dan ‘rencana’ yang masing-masing memiliki pengertian sebagai apa yang dipercaya terjadi di masa depan, tentang apa yang diinginkan, serta apa yang diupayakan terjadi di masa depan, 'skenario' memiliki pengertian sebagai kisah tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan.

Skenario itu menggunakan pendekatan skenario transformatif yang memungkinkan pengambil kebijakan melakukan perubahan (transformasi) saat menghadapi situasi yang tidak stabil atau tidak dikehendaki. Ada empat skenario Indonesia 2045, yaitu skenario mata air, skenario sungai, skenario kepulauan, dan skenario air terjun. Pada skenario mata air, RI pada 2045 yang didominasi generasi Y dan Z sudah lebih sejahtera. Namun, masih menghadapi ketimpangan antardaerah, gesekan sosial, hingga aspirasi memisahkan diri dari NKRI.

Generasi Y dan Z pada masa itu juga akan memiliki pandangan bahwa keutuhan NKRI harus lebih didasarkan pada prinsip integrasi fungsional daripada integrasi historis. Pada skenario sungai, ketahanan ekonomi RI pada 2045 sudah lebih tangguh. Transformasi sebagai negara industri yang cukup maju mampu mengeluarkan RI dari ancaman negara gagal. Di masa ini pula proses pembangunan sudah lebih bertumpu pada basis ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, karakter Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar dan beragam akan sangat berdampak pada situasi ekonomi, sosial politik, dan pertahanan keamanan.

Selanjutnya, skenario kepulauan mendeskripsikan pada 2045, ketahanan nasional RI belum tangguh secara menyeluruh. Ini tecermin dari kuatnya pengaruh aktor state dan non-state dunia global pada kedaulatan RI. Masa itu juga akan diwarnai menipisnya nasionalisme. Adapun dalam hal militer, RI sudah memiliki kekuatan yang besar, tapi belum efektif dan efisien karena teknologi dan penguasaannya sudah tidak sesuai dengan zaman. Pada saat yang sama, kapasitas diplomasi RI belum diakui oleh kekuatan regional dan internasional sehingga sulit memperjuangkan kepentingan nasional di forum-forum internasional.

Pada skenario air terjun, pembangunan RI pada 2045 lebih menekankan pada pembangunan berbasis rendah karbon sebagai strategi utama dalam meningkatkan ketahanan energi di dalam negeri. Pada masa ini, RI sudah fokus pada prinsip-prinsip pembangunan ekonomi, lingkungan, dan sosial berkelanjutan, serta isu kedaulatan pangan.

Gagasan antisipatif

Pada tataran tertentu, Skenario RI 2045 sebenarnya dapat dijadikan salah satu referensi menyusun gagasan atau program kampanye Pemilu 2019. Salah satunya dalam hal pendidikan dan pembangunan karakter bangsa. Di masa Orba, Indonesia memiliki program penataran P4 dari tingkat sekolah menengah hingga pegawai. Program ini sudah dihapus pascareformasi 1998. Namun, RI saat ini membutuhkan suatu pendidikan karakter yang lebih luas daripada penataran P4, serta mampu mengantisipasi perubahan zaman, menipisnya nasionalisme, dan ancaman disintegrasi bangsa.

Gagasan lain yang perlu disusun ialah bagaimana meningkatkan daya saing lokal atau daerah dalam konteks daya saing nasional pada tataran global. Ini dibutuhkan tidak hanya untuk meningkatkan kemakmuran dan ketahanan ekonomi, tapi juga untuk menekan kecemburuan sosial dan daerah yang dapat berujung pada aspirasi separatisme.

Masih berkaitan dengan peningkatan daya saing nasional, RI memerlukan gagasan penciptaan sinergi antara dunia pendidikan dan kebutuhan pembangunan ekonomi. Sebagai gambaran, laporan the Economist Intelligence Unit pada 2011 menyebutkan bahwa pembangunan Indonesia terkendala kurangnya tenaga produktif yang sesuai dengan permintaan industri walau jumlah lulusan pendidikan tersier cukup tinggi.

Mengacu pada skenario kepulauan yang lebih digerakkan faktor geopolitik, para politikus dan parpol dapat mengajukan gagasan terkait dengan pembangunan pertahanan keamanan nasional, seperti kemandirian industri pertahanan dalam negeri dan penyusunan perangkat hukum tentang komponen cadangan pertahanan negara.

Yang tidak kalah pentingnya ialah gagasan memperkuat ketahanan pangan. Sebagai gambaran, UU No 7/1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap masyarakat, yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam hal jumlah dan mutu secara aman, merata, terjangkau, dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal.

Gagasan-gagasan yang telah disebutkan hanyalah sekelumit usulan ide kepada para kontestan Pemilu 2019. Masalah yang dihadapi bangsa ini menjelang 2030-2045 tentu lebih kompleks dari yang diprediksi. Tentu saja, para politikus dan parpol memiliki kemampuan menyusun lebih luas gagasan-gagasan yang tidak hanya menarik bagi pemilih generasi Y dan Z sebagai pemilih utama, tapi juga yang dapat membantu generasi-generasi itu lebih siap menghadapi masa akan datang. Sekaranglah masa krusial bangsa ini menghadapi kurun 2030-2045. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar