Minggu, 25 Februari 2018

Delik Korupsi dalam RUU Hukum Pidana

Delik Korupsi dalam RUU Hukum Pidana
Eddy OS Hiariej  ;  Guru Besar Hukum Pidana FH UGM
                                                     KOMPAS, 24 Februari 2018



                                                           
Saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP). Tim Pemerintah yang dipimpin Prof Enny Nurbaningsih juga melibatkan beberapa guru besar hukum pidana, antara lain Prof Muladi, Prof Barda Nawawi Arief, Prof Nyoman Serikat Putrajaya (Universitas Diponegoro); Prof Harkristuti Harkrisnowo (Universitas Indonesia); serta Prof Marcus Priyo Gunarto dan Prof Eddy OS Hiariej (Universitas Gadjah Mada). Dimasukkannya delik korupsi ke RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP, kemudian diubah jadi RUU HP) telah melalui perdebatan panjang dengan dasar argumentasi.

Pertama, KUHP yang dibentuk bersifat integratif dan komprehensif dengan sistem terbuka. Artinya, masih dimungkinkan pengaturan di luar KUHP terhadap jenis-jenis kejahatan baru di masa mendatang.

Kedua, dirumuskannya delik korupsi dalam RUU HP tidaklah berarti menghilangkan sifat extra ordinary dari kejahatan tersebut. Secara doktriner, suatu kejahatan dikatakan sebagai bijzondere delic (delik khusus) jika hukum materiil atau hukum formil dari kejahatan tersebut menyimpang dari ketentuan umum.

Ketiga, kendatipun delik korupsi dimasukkan dalam RUU HP, hukum acara masih tetap merujuk kepada UU di luar KUHP, termasuk UU KPK.

Keempat, dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi eksistensi lembaga-lembaga penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi, termasuk KPK, akan diatur pada aturan peralihan dalam RUU KUHP. Dengan demikian, dimasukkannya delik korupsi dalam RUU HP sama sekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan, apalagi meniadakan KPK.

Kelima, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan UU No 7/2006 masih harus disesuaikan dengan hukum nasional.

Merujuk pada UNCAC, ada 11 tindakan yang dikriminalisasikan sebagai korupsi. Secara garis besar, dari 11 perbuatan dimaksud, ada yang bersifat mandatory offences dan ada yang bersifat non- mandatoty offences. Kedua sifat ini tidak terlepas dari kesepakatan negara-negara peserta dalam konvensi tersebut.

Jika suatu tindakan yang dikriminalisasikan bersifat mandatory berarti ada kesepakatan seluruh peserta konvensi untuk mengatur tindakan tersebut dalam UU nasionalnya sehingga menimbulkan kewajiban dari state party. Sebaliknya, jika suatu tindakan bersifat non-mandatory berarti tidak ada kesepakatan di antara para peserta konvensi untuk menyatakan tindakan tersebut sebagai kriminal. Konsekuensinya, state party boleh tidak mengatur perbuatan tersebut dalam hukum nasionalnya.

Tindakan kriminalisasi

Ada lima tindakan yang dikriminalisasikan dalam UNCAC bersifat mandatory offences, yakni: (1) penyuapan pejabat publik nasional; (2) penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik; (3) penggelapan, penyelewengan, atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik; (4) pencucian hasil kejahatan; dan (5) perbuatan menghalang-halangi proses peradilan. Sementara ada enam tindakan bersifat non-mandatory offences: (1) memperdagangkan pengaruh; (2) penyalahgunaan fungsi; (3) memperkaya secara tidak sah; (4) penyuapan di sektor swasta; (5) penggelapan kekayaan dalam sektor swasta; dan (6) penyembunyian.

Perumusan tindakan-tindakan yang dikriminalisasi dalam suatu konvensi internasional, sebagaimana juga yang terdapat dalam UNCAC, memiliki karakteristik tersendiri. Pertama, perumusan tindakan yang dikriminalisasikan saling tumpang tindih antara satu dan yang lain. Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, unsur-unsur tindakan yang dikriminalisasikan jadi tidak jelas. Tegasnya, perumusan yang demikian tidak memenuhi syarat lex certa (aturan pidana harus jelas) sebagai hal yang prinsip dalam asas legalitas. Ketiga, perumusan tindakan-tindakan yang dikriminalisasikan tidak diikuti oleh suatu sanksi pidana yang tegas. Karakteristik perumusan yang demikian bukan tidak ada tujuannya. Hal ini dimaksudkan agar pelaku kejahatan internasional dapat dijerat dengan berbagai perumusan yang tumpang tindih. Artinya, jangan sampai pelaku kejahatan internasional lolos dari hukuman.

Apabila dihubungkan dengan asas legalitas dalam hukum pidana internasional tidaklah dapat disamakan dengan ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana nasional. Selain karena hukum pidana internasional tak dikodifikasi sebagaimana hukum pidana nasional, hukum pidana internasional juga bersumber dari kebiasaan internasional sehingga sangat dimungkinkan berlakunya asas legalitas adalah berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Padahal, dalam konteks hukum pidana nasional ukuran berlakunya asas legalitas adalah berdasarkan hukum tertulis (lex scripta) dan aturan yang jelas (lex certa) sehingga tidak dibenarkan berlakunya asas legalitas hanya berdasarkan hukum kebiasaan.

Masih diperdebatkan

Saat ini ada tiga kejahatan yang jadi perdebatan apakah akan dimasukkan ataukah tidak dalam RUU HP: memperdagangkan pengaruh, korupsi di sektor swasta, dan memperkaya secara tak sah.

Pertama, memperdagangkan pengaruh. Ketentuan ini perlu diatur dalam RUU HP dalam rangka memberantas perilaku koruptif dengan memperluas orang-orang yang dapat dijatuhi pidana. Apabila dihubungkan dengan teori penyertaan ekstensif berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No 1/1955/MA Pid, memperdagangkan pengaruh memperluas pelaku kejahatan: tidak hanya mereka yang melakukan perbuatan secara materiil dan memiliki syarat persoonlijk sebagaimana dirumuskan dalam rumusan delik, tetapi lebih dari itu bahwa di antara para pelaku peserta tidak perlu harus punya sifat dan karakteristik yang sama seperti dituangkan dalam rumusan delik. Memperdagangkan pengaruh ini dibagi menjadi dua, yaitu memperdagangkan pengaruh secara aktif dan pasif.

Kedua, perihal korupsi di sektor swasta yang terdiri dari penyuapan di sektor swasta dan penggelapan kekayaan di sektor swasta. Ketentuan ini merupakan hal baru dalam pemberantasan korupsi. Kendati korupsi di sektor swasta bersifat non-mandatory offences, perlu dimasukkan ke dalam RUU HP berdasarkan argumentasi berikut: pertama, korupsi yang terjadi di Indonesia hampir selalu melibatkan pihak swasta. Kedua, salah satu latar belakang internasionalisasi kejahatan korupsi adalah karena korupsi dianggap merusak pasar. Dalam hal ini adalah korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa yang selalu melibatkan swasta. Ketiga, ketentuan pasal-pasal a quo dalam UNCAC adalah untuk melindungi sektor swasta dari tindakan-tindakan koruptif setiap orang yang bekerja di sektor swasta tersebut.

Ketiga, terkait memperkaya secara tidak sah. Pada hakikatnya ketentuan ini sepadan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta masih tetap dipertahankan dalam RUU HP. Bahkan, ketentuan Pasal 2 dan 3 lebih tegas dan jelas jika dibandingkan dengan ketentuan memperkaya secara tidak sah dalam UNCAC. Pasal 2  UU Tipikor, korupsi tidak hanya memperkaya diri sendiri, tetapi juga memperkaya orang lain atau korporasi dengan cara melakukan perbuatan melawan hukum.

Demikian juga dengan ketentuan Pasal 3 yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya. Selain itu, ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 B UU Tipikor sudah mengatur mekanisme pembuktian terhadap harta kekayaan yang belum didakwakan, tetapi diduga merupakan hasil korupsi sehingga dapat dirampas untuk negara.

Tegasnya, ketentuan memperkaya secara tidak sah dalam UNCAC tidak perlu lagi dimasukkan dalam RUU HP. Selain ketentuan itu bersifat non-mandatory offences, formulasi aturan yang tidak jelas juga sangat berbahaya bagi penegakan hukum karena dengan mudah aparat penegak hukum mengkriminalisasi perbuatan secara sepihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar