Kekerasan
dan Tantangan Kebinekaan Indonesia
Muhammadun ; Dosen Sosiologi Ushul Fiqh STAI Sunan Pandanaran Yogya;
Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr PWNU DIY;
Peneliti Lakpesdam PWNU DIY
2006-2011
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Februari 2018
TRAGEDI
penyerangan gereja di Sleman (11/02) menjadi tragedi mengerikan dalam kasus
kekerasan akhir-akhir ini. Sebelumnya, juga terjadi kasus kekerasan terhadap
sejumlah ustaz di Jawa Barat. Kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama itu jangan
sampai melukai dialog dan persaudaraan kebangsaan kita. Kekerasan terhadap
tokoh agama, rumah ibadah, dan kelompok keagamaan hanya dijadikan sebagai
alat adu domba. Ingat, 2018 menuju 2019 ini ialah tahun politik. Semua harus
saling waspada, jangan terprovokasi.
Indonesia
ialah rumah bersama. Para pendiri bangsa sudah mendirikan RI dengan darah dan
nyawa, semua untuk generasi hari ini dan masa depan. Jangan sampai darah
perjuangan yang dikorbankan para pendiri bangsa justru dinodai pertumpahan
darah antaranak bangsa. Itu jelas membuat pendiri bangsa menangis. Suburnya
kekerasan dan radikalisme melukai karakter dan prinsip berbangsa dan
bernegara.
Para
pendiri bangsa sudah mewariskan Pancasila. Para pendiri bangsa juga sudah
menyadarkan kita ihwal kebinekaan. Bahwa kebinekaan yang melekat dalam diri
bangsa Indonesia adalah bersifat 'given'. Sebagai sesuatu yang terberi,
manusia Indonesia tidaklah mengusahakan terjadinya perbedaan karena perbedaan
itu sudah melekat sejak lahir dan harus diterima apa adanya. Di mana pun dan
dalam kondisi apa pun, perbedaan itu akan tetap ada, baik pada level
sosiologis, politik, antropologis, psikologis, dan lain-lain. Keragaman di
sini termasuk latar belakang, gaya hidup, jabatan dan organisasi, status,
mental, dan lain-lain. Semua sudah melekat.
Di
alam demokrasi RI, keragaman menjadi potensi sekaligus menjadi ancaman.
Berpotensi untuk membangun peradaban bangsa lebih maju dan sejahtera, tetapi
juga ancaman disintegrasi dan konflik horizontal yang mudah disulut, apalagi
disulut aspek sentimen agama. Bagi Chantal Mouffe dalam The Democratic
Paradox (2000), membangun demokrasi tanpa adanya 'lawan' merupakan hal
berbahaya sebab kondisi itu justru melemahkan demokrasi dan memperkuat
pemerintahan yang otoriter.
Dilema
yang diketengahkan Mouffe sangat menarik dalam konteks keragaman di RI,
terlebih di tengah isu primordial agama yang didemonstrasikan dalam berbagai
media. Konflik politik dari pilkada yang dibumbui isu SARA menjadikan
keragaman di Indonesia menjadi celah konflik yang sangat berbahaya. Di sisi
lain, bangsa ini harus tetap menguatkan integrasi kebangsaan dan melakukan
konsolidasi demokrasi berdasarkan pada potensi keragaman yang dimiliki warga
bangsanya.
Di
sinilah, peran Pancasila sangat krusial. Para pendiri bangsa sebenarnya sudah
melakukan diskusi dan pendalaman serius terkait problem ini sehingga
melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Bung Karno menggali Pancasila dari
nilai-nilai luhur bangsa berdasarkan kekayaan tradisi, budaya, adat, dan
agama.
Sebagai
dasar pandangan hidup bernegara dan sistem nilai kemasyarakatan, Prof
Notonagoro (1975) melihat Pancasila setidak-tidaknya mengandung empat pokok
pikiran. Pertama, negara Indonesia merupakan negara persatuan, yang Bhinneka
Tunggal Ika. Persatuan tidak berarti penyeragaman, tetapi mengakui kebinekaan
yang mengacu pada nilai-nilai universal ketuhanan, kemanusiaan, rasa keadilan
dst.
Kedua,
negara Indonesia didirikan dengan maksud mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, dan berkewajiban mewujudkan kesejahteraan
serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketiga,
negara Indonesia didirikan di atas asas kedaulatan rakyat.
Kedaulatan
rakyat tidak bisa dibangun hanya berdasarkan demokrasi di bidang politik. Demokrasi
harus juga dilaksanakan di bidang ekonomi. Keempat, negara Indonesia
didirikan di atas dasar Ketuhanan YME. Ini mengandung arti bahwa negara
Indonesia menjunjung tinggi keberadaan agama-agama yang dianut bangsa
Indonesia.
Membangun konsolidasi
Ada
tugas penting bagi manusia Indonesia dalam menyikapi keragaman yang sudah
melekat, yakni membangun konsolidasi demokrasi secara terus-menerus, tentu
saja dengan visi sesuai Pancasila dan UUD 1945. Menurut Hafidz Nuur (2017),
mengutip gagasan Mouffe, bahwa pada kondisi alami demokrasi yang mencakup
kawan dan lawan. Serta pertentangan gagasan dan kepentingan, perlu adanya
seperangkat nilai bersama yang dihormati.
Isu
primordialisme, yakni agama dan etnik, baru-baru ini terkesan menjadi alat
mobilisasi politik, harus diwaspadai dengan serius. Mengapa? Karena Indonesia
ialah proyek yang belum selesai sehingga untuk melanjutkan proyek ini, perlu
secara intensif membicarakan struktur, proses sosial, perubahan sosial serta
fenomena sosiologis yang berkaitan seperti globalisasi dan berbagai relasi
sosial.
Pancasila
harus diletakkan sebagai alat melakukan integrasi bangsa yang beragam.
Pancasila jangan memaksakan keseragaman yang akan mengakibatkan integrasi
koersif, seperti yang terjadi pada Orba, sedangkan keberagaman membutuhkan
integrasi fungsional, yakni dengan melakukan pemerataan kesejahteraan dan
utamanya kesadaran berbangsa.
Namun,
juga ingat, banyak sekali solidaritas agama yang menyalahgunakan demokrasi
berpotensi menjadi agresivitas massal yang anarkistis. Bahkan mengarah pada
civil disobedience, yakni ketidakpedulian pada segala peraturan yang ada.
Namun, negara tetap harus mempertahankan konsolidasi demokrasi sebelum
potensi itu benar menjadi nyata.
Pancasila
harus digerakkan sebagai pengikat semua anak bangsa dalam membangun
konsolidasi kebangsaan, jangan hanya dibebankan kepada aparatur negara.
Keterlibatan semua anak bangsa akan menjadi kekuatan yang menyeimbangkan
berbagai tantangan keragaman. Karena Pancasila yang mengakar kuat dalam
kehidupan sehari-hari anak bangsa akan melahirkan tata kehidupan yang saling
membina, mengayomi, dan mengasihi. Gotong royong menjadi etiket bersama dalam
keseharian.
Sejarah
para pendiri bangsa sudah mengajarkan anak bangsa hari ini. Jejak hidup Bung
Karno, Bung Hatta, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya sangat
jelas memberikan spirit perjuangan dalam membangun konsolidasi kebangsaan
menuju bangsa yang beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar