Beduk
dan Kentongan
Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan Keagamaan
|
KOMPAS,
25 Februari
2018
Sebuah
beduk besar yang indah menyita perhatian saya saat mengunjungi Masjid Jawa di
Bangkok. Masjid yang didirikan pada tahun 1905 ini adalah masjid tinggalan
para pemukim berdarah Jawa di Bangkok. Arsitekturnya menyerupai masjid-masjid
Nusantara, begitu pun tradisi yang dihidupinya.
Pak
Abu, salah seorang pengelola masjid, mengisahkan bahwa beduk tersebut dibawa
di tahun 1930-an. “Dulu juga ada kentongan kayu yang cukup besar. Sayangnya
kentongan tersebut rusak sehingga sekarang hanya ada beduk besar itu.”
Menyebut
beduk dan kentongan, ingatan saya spontan melayang kepada kisah favorit Gus
Dur tentang perbedaan pendapat yang tajam antara Hadratussyaikh KH Hasyim
Asy’ari dari Jombang dan KH Faqih Maskumambang dari Gresik, Jawa Timur, di
awal tahun 1900-an. Keduanya adalah ulama berpengaruh besar, dan menduduki
jabatan terhormat sebagai Rais Akbar dan Wakil Rais Aam Nahdlatul Ulama.
Kiai
Hasyim Asy’ari berpendapat bahwa kentongan tidak dapat digunakan menjadi
pewarta masuk waktu shalat, dengan dasar tidak ditemukannya dalil yang
mendukungnya. Kiai Faqih, sebaliknya, menyatakan bahwa kentongan boleh saja
digunakan, dengan qiyas (disamakan) terhadap beduk yang juga digunakan untuk
fungsi yang sama.
Sekiranya
beliau berdua adalah tokoh-tokoh “zaman now” yang sedang mengejar posisi dan
pengaruh, apa kiranya yang akan terjadi? Pasukan bot mungkin akan menyerbu
lansekap media sosial dengan pertempuran antar #tagar di dunia maya. Aksi
ratusan ribu pendukung mungkin akan berlangsung silih-berganti. Saling lapor
ujaran penghinaan antarkelompok barangkali akan menyibukkan kantor-kantor polisi
dan pengadilan.
Kala
itu, Kiai Hasyim Asy’arisegera mengumpulkan para ulama di Jombang dan
murid-murid seniornya. Bukan untuk meyakinkan hadirin akan kebenaran
pendapatnya, tetapi justru mempersilakan untuk menentukan apakah akan
menggunakan kentongan di masjid dan suraunya masing-masing. Kiai Hasyim hanya
memberlakukan fatwa tersebut kepada pondok pesantrennya di Tebuireng,
Jombang.
Beberapa
waktu setelahnya, Kiai Hasyim Asy’ari diundang memberikan ceramah di
pesantren Maskumambang. Tiga hari sebelum kedatangan beliau, Kiai Faqih
mengutus beberapa santrinya berkeliling masjid dan surau di seputar Gresik,
membawa pesan untuk menyimpan semua kentongan sebagai bentuk penghormatan
selama Kiai Hasyim Asy’ari berada di Gresik.
Dari
kedua ulama besar ini, kita belajar bahwa #belaagama dapat dilakukan dengan
kebesaran jiwa, dengan saling menghormati pendapat yang berbeda, tanpa
berpikir menang-kalah. Dan, bahwasanya, sikap saling menghormati adalah
kearifan yang telah lama hidup dalam tradisi kepemimpinan dan kehidupan
bersama kita.
Howard
Gardner dalam bukunya 5 Minds for the Future menyebutkan, respecting mind
adalah salah satu keterampilan berpikir yang terpenting di zaman global.
Teknologi informasi dan transportasi membawa arus perjumpaan antarkultur dan ideologi
yang deras dan cepat. Keberagaman menjadi sebuah keniscayaan, dan pada saat
yang sama, menciptakan kegamangan dalam mempertahankan ideologi dan kultur
kelompok. Sikap menghormati yang berbeda menjadi kunci untuk menjaga
keseimbangan antara keduanya. Menariknya, melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari ternyata tidak semudah mengucapkannya. Bahkan ia menjadi barang
langka.
Di
jalan raya, para pengemudi hanya menaati aturan karena tidak ingin ditilang
polisi, bukan karena mereka menghormati kepentingan para pengguna jalan yang
lain. Dalam hidup bertetangga, alih-alih menghidupkan semangat rukun agawe
sentosa (rukun membawa sejahtera), bauran kepentingan politik praktis dengan
agama menciptakan ketegangan antarrumah. Antarpejabat lembaga negara tidak
bekerja sama dengan saling menghormati wewenang masing-masing, justru saling
menegasikan kebijakan dan lembaga masing-masing. Para politisi saling umbar
kelemahan lawannya untuk memenangi kekuasaan, melupakan sikap ksatria dalam
pertempuran.
Memang
sikap penghormatan kepada yang lain dan yang berbeda tampak sebagai hal yang
sederhana, tetapi mengabaikannya sudah terbukti membawa kerusakan yang
sistemik. Aturan serumit apa pun, instrumen sosial secanggih apa pun, hanya
akan menjadi ritual mekanis belaka saat ia kehilangan nilai dasar
penghormatan kepada yang berbeda. Akibatnya orang akan sibuk menuntut haknya
sambil bersungut-sungut memenuhi kewajiban sebagai mandat hidup bersama.
Tidak mencari titik temu, orang akan sibuk membangun dinding-dinding psikologis
untuk melindungi kepentingannya dan kelompoknya.
Di
tengah karut-marut kehidupan berbangsa saat ini, tidakkah kita merindukan
teladan para pemimpin, seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Faqih
Maskumambang? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar