Kemuliaan
dalam Berbangsa
Haedar Nashir ; Ketua Umum Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
25 Februari
2018
Adakah di antara anak
bangsa saaat ini tengah menyimpan getaran marah dan benci pada siapapun di
negeri tercinta yang bermuara pada hilangnya sikap arif nan mulia? Suatu aura
kemarahan dan ketaksukaan yang tergores tajam oleh gelora perseteruan politik
dan luka-luka sosial lain yang menyuburkan benih permusuhan dan berpotensi
menyebabkan retak di tubuh bangsa!
Kita perlu belajar pada
perangai emas Khalifah Ali bin Abi Thalib, hakim Syuraih bin al-Harits, dan
seorang Yahudi yang terlibat dalam perkara rebutan baju besi. Ali merasa
kehilangan pakaian kebeserannya yang berpindah tangan pada seorang Yahudi.
Meski Ali penguasa, dia tidak menggunakan tahtanya untuk mengambil paksa.
Khalifah keempat
mengajukan Yahudi itu ke pengadilan. Hakim Syuraih yang dikenal adil sejak
era Umar bin Khattab dalam proses peradilan itu ternyata memenangkan perkara
untuk Yahudi. Ali tak mampu menunjukkan bukti yang kuat, sedangkan putranya
Hasan ditolak kesaksiannya kerena senasab. Saudara sepupu Nabi putra Abi
Thalib itu dengan ikhlas menerima keputusan yang tidak menguntungkan dirinya.
Khalifah sempat protes kenapa
anaknya yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah tidak diterima kesaksiannya.
Syuraih dengan tegas mengutip ayat Alquran surat al-Maidah ayat ke-8, yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu berbuat tidak adil”.
Frasa “Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu berbuat tidak adil”, sungguh
merupakan nilai utama yang mendalam, yang dipakai rujukan oleh hakim dalam
memutuskan perkara. Ayat ini sabab nuzulnya terkait soal rebutan kunci Ka’bah
antara Abbas paman Nabi dan ayah Utsman. Syuraih menggunakannya sebagai dasar
menentukan keputusan yang adil. Dia tidak ingin karena yang berperkara
seorang khalifah versus warga negara beragama Yahudi, membuat dirinya tidak
adil.
Ali rela hati kalah dalam
perkara itu dan bangga akan sikap adil sang hakim. Khalifah bahkan kemudian
mengikhlaskan baju besi kesayangannya itu menjadi milik warga Yahudi. Sang
Yahudi pun kagum dengan sikap mulia Ali dan hakim Syuraih, sehingga akhirnya
memeluk Islam. Itulah keindahan perangai utama, yang lahir dari jiwa tulus
nan autentik ketika terlibat dalam silang sengketa kehidupan.
Sikap
adil
Islam mengajarkan
pemeluknya untuk berbuat adil, yakni sikap benar yang objektif dan tidak
berat sebelah. Adil itu menempatkan sesuatu pada peoporsinya yang tepat. Jika
orang lain bertindak benar, maka benarkan dia, demikian pula manakala salah
janganlah dibenarkan. Benar dan salah pun bukan ukuran subjektif sendiri,
tanya pula suara hati. Tidaklah boleh rasa suka atau tidak suka mempengaruhi
sikap untuk berbuat adil pada orang lain. Perangai dan tindakannya terukur
benar dan tidak melampaui batas.
Ajaran tentang keadilan
merupakan hal yang sangat esensial dalam Islam. Allah berfirman dalam Alquran
yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran." (QS An-Nisaa':135). Sikap
adil itu pantulan dari nilai benar dan nirhawa nafsu, sehingga insan beriman
menjadi lurus hati sekaligus proporsional. Menyuarakan kebenaran tanpa
kegarangan.
Sikap adil bahkan harus
ditunjukkan meskipun terhadap pihak lain yang dianggap buruk perangai. Allah
berpesan dalam Alquran yang artinya: "Mereka itu adalah orang-orang yang
suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang
Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara
itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari
mereka, maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan
jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil."
(QS al-Ma'idah :42). Pesan ini penting untuk misi dakwah agar tidak bermuatan
amarah.
Pandangan yang terasa
tajam tentang ajaran keadilan itu sesungguhnya menunjukkan betapa mendasarnya
nilai yang satu itu bagi ketertiban dan kelangsungan hidup manusia. Secara
alamiah atau naluriah manusia sering kehilangan sikap adil karena dorongan
hawa nafsu. Nafsu memandang orang lain musuh, nista, dan serba buruk yang
mesti dihadapi dengan sikap yang sama. Mereka yang berbuat buruk harus
dibalas dengan keburukan. Mereka yang dipandang lawan harus diperlakukan
sebagaimana hukum perang. Lebih-lebih manakala diri merasa benar dihadapan
pihak lain yang mesti kita perlakukan sepadan, yang buahnya sikap tidak adil.
Karena merasa pihak lain
lawan dan buruk, maka ketika berbuat baik sekalipun maka hilanglah kebaikan
itu. Pada titik ini lantas siapapun yang semula normal dalam berpikir dan
bertindak, tidak jarang kehilangan keseimbangan atau batas normalitas, yang
menyeruak justru ketaknormalan. Energi
yang keluarpun serbanegatif, sehingga orang lain atau dunia serbasesak dan
tidak ada baiknya. Jika penyakit hati seperti ini terus tertanam, maka lama
kelamaan akan menjadi benih keresahan dan ketidaktenteraman hidup karena di
luar sana kehidupan penuh dengan kegelapan.
Para pemimpin dan warga
yang adil menjadi dambaan di negeri manapun. Pemimpin negeri, termasuk tokoh
agama, tidak boleh berat sebelah. Memperlakukan orang lain buruk karena tidak
suka, sebaliknya bersikap baik karena suka. Lebih-lebih di era media sosial
yang dengan mudah memproduksi hal-hal yang membuat diri dipenuhi hawa nafsu
untuk berkata dan berbuat tidak adil dengan aura marah dan benci. Kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara akan makin hiruk-pikuk dan gaduh manakala
hilang jiwa adil dalam diri elite dan warga bangsa. Maka bertanyalah pada
hati yang paling jernih, sudahkan kita bersikap adil satu sama lain?
Jiwa
ihsan
Selain nilai adil, setiap
mulsim juga diajarkan untuk berbuat ihsan. Ihsan ialah kebajikan utama yang
melintas batas ruhani seseorang. Ihsan ialah “engkau menyembah Allah seolah
engkau melihat Dia, kalaupun engkau tak mampu melihat Dia, sesungguhnya Allah
melihatmu” (HR Bukhari-Muslim). Hadis tersebut mengandung makna hakikat dan
makrifat dalam habluminallah (hubungan dengan Allah), yang buahnya ialah
habluminannas atau hubungan antar insan yang serba luhur.
Alamiah manusia diberi
rasa suka dan tidak suka pada sesuatu, namun jangan berlebihan. Agama
mengajarkan, siapa tahu apa yang engkau suka itu di kemudian hari buruk
bagimu. Sebaliknya yang engkau benci itu membawa kebaikan untuk dirimu. Hidup
itu penuh warna dan rahasia, adakah diri kita serba baik? Di situ pemaknaan
tentang hikmah, qadha, dan taqdir. Insan beriman harus yakin akan kebenaran
serta beramar ma’ruf dan nahyu munkar, tetapi tegakkan sikap tengahan berbasis
adil dan ihsan. Amar ma’ruf nahyu munkar pun perlu hikmah, edukasi, dan
dialog (QS al-Nahl: 125), bukan dengan kegarangan dan merasa diri paling
benar.
Sikap ihsan yang
memancarkan kemuliaan ditunjukkan dalam uswah hasanah Nabi. Ketika beliau
dilempari batu hingga terluka parah tatkala hijrah ke Thaif, Nabi akhir zaman
itu bahkan menolak tawaran Malaikat Jibril agar kaum yang melukainya itu
diberi azab Tuhan. Nabi justru memaafkannya karena kaum Thaif itu belum
berpengetahuan. Sikap buruk tidak dibalas dengan keburukan, sebaliknya
diganti dengan kebaikan. Memang berat, tetapi itulah pancaran kemuliaan insan
beriman.
Nabi bahkan mengajarkan
umatnya untuk menyambung tali silaturahim yang terputus. Menghalalkan pihak
yang mengharamkan diri kita. Bersikap lembut terhadap mereka yang kasar.
Inilah ihsan sebagai mozaik ruhani yang melahirkan sikap mulia nan utama.
Sikap luhur yang melampaui batas
langit dan bumi, karena ruhani Rasulullah
telah mengalami mi’raj hingga ke puncak tertinggi Ilahiah, yang niscaya
diikuti oleh para umatnya manakala merasa sebagai pengikut Nabi Muhammad.
Jika tidak ingin meraih kemuliaan perangai, apa yang hendak dicari sebagai
kelebihan muslim dibanding yang lain dalam menampilkan al-akhlaq al-karimah
sebagaimana risalah Nabi.
Nabi bersama kaum muslimin
memang pernah perang melawan kaum Quraisy. Namun perangnya Nabi karena
membela diri dan menjaga keberadaan umat serta membela ajaran Islam, yang
segala halnya dilakukan dengan akhlaq yang mulia. Bukan karena dorongan hawa
nafsu dan ambisi-ambisi duniawi yang bertentangan dengan ajaran utama Islam
sebagai agama damai dan penyebar keselamatan. Jangan pula jiwa perang itu
terus membara dalam relasi habluminannas yang normal. Bukankah Islam bermakna
selamat dan damai?
Ujian bersikap adil dan
ihsan kini hadir di depan kehidupan setiap insan beriman di negeri ini.
Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan saat ini selain memerlukan mutiara
adil yang autentik, juga memerlukan nilai mulia ihsan. Allah bahkan dengan
tgas memerintahkan kaum beriman untuk berbuat adil dan ihsan (QS an-NAhl:
90). Para mubaligh ketika berkhutbah bahkan selalu mengutip ayat al-Quran itu
sebagai pengunci pesan khutbah dan tausyiyah. Sebarkanlah nilai adil dan
ihsan itu sebagai perekat hidup berbangsa dan bernegara sebagai cermin
risalah Islam rahmatan lil-‘alamin.
Maknanya agar baik umat
yang awam lebih-lebih muslim yang berilmu dan menjadi penyuluh ajaran dapat
mempraktikkan adil dan ihsan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Sebarkan pesan-pesan positif yang ma’ruf dan membawa kegembiraan
agar umat dan bangsa makin optimis dan damai dalam berperikehidupan
sehari-hari secara bersama-sama. Ketika harus menyuarakan peringatan atas
hal-hal buruk atau munkar, gelorakan dengan cara yang ma’ruf dalam bingkai
adil dan ihsan. Bukan dengan amarah dan aura kegarangan hatta atasnama pesan
agama sekalipun.
Media sosial dan politik
jangan menyuburkan insan beriman gemar memproduksi segala bentuk kebencian,
amarah, dan permusuhan yang menjauhkan diri dari sikap adil dan ihsan. Dalam
keadaan dan melalui media apapun semestinya tidak ada ruang bagi insan muslim
mengeluarkan ujaran dan sikap yang menunjukkan akhlaq madhmumah (tercela),
sekaligus menggerus akhlak karimah nan mulia. Jadilah Muslim yang
akil-baligh, mnjauhi sikap kekanak-kanakkan oleh pola asuh media sosial yang
salah kaprah. Bukankah kemuliaan Muslim terletak pada akhlaknya yang luhur
sebagaimana ajaran uswah hasanah Nabi akhir zaman.
Ketika Abu Bakar Siddiq
berbantah-bantahan dengan kaum Yahudi yang meninggikan derajat Nabi Musa
ketimbang Nabi Muhammad, Abu Bakar membalas dengan mengatakan Muhammad lebih
tinggi ketimbang Musa. Rasulullah SAW menegur Abu Bakar agar tidak bersikap
berlebihan. Nabi akhir zaman itu mengajarkan keutamaan sikap adil dan ihsan
wujud akhlak karimah sebagaimana risalah kenabiannya, “Aku diutus tiada lain
untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar