Ancaman
Legitimasi Moral Pilkada 2018
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2018
DI tengah gencarnya
operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap sejumlah kepala
daerah dan jejaring korupsinya akhir-akhir ini, munculnya berita yang sangat
menyedihkan yang terjadi di kalangan penyelenggara pemilu. Ketua Panwaslu dan
anggota KPU Kabupaten Garut tertangkap dalam OTT yang dilakukan Satgas
Antipolitik Uang Reskrim Polri (Media Indonesia, 25/2/2018).
Patut diduga, perbuatan
tercela seperti halnya dilakukan oknum penyelenggara pemilu di Garut itu
sudah jadi kebiasaan yang (boleh jadi) merata di setiap momentum pesta
demokrasi, baik itu pilkada maupun pemilihan legislatif. Hanya saja selama
ini hanya semacam ’embusan angin berbau tak sedap’ dengan para oknum
pelakunya selalu berkelit dengan dalih ’hanya fitnah’ belaka. Apalagi para
penegak hukum tidak serius menindaklanjuti (atau mengabaikan) informasi ’bau
busuk’ dari penyelenggara pemilu itu sehingga kebiasaan itu terus berulang
sampai adanya OTT yang dilakukan di Garut itu.
Kecenderungan seperti itu
tentu sangat memprihatinkan. Soalnya, penyelenggara pemilu, termasuk di
dalamnya pilkada seperti akan berlangsung pada 2018 ini, sebenarnya harus
terdiri dari figur-figur yang memiliki derajat integritas tinggi dan teruji.
Mereka tak boleh terbeli oleh para politikus busuk dengan kekuatan pemodal
sebagai pendukungnya, tak boleh terpengaruh dengan materi.
Di tangan para
penyelenggara pemilulah akan ditentukan baik-tidaknya negara ini,
bersih-tidaknya para pejabat penentu dan pelaksana kebijakan. Tepatnya, baik
anggota KPU maupun KPUD harusnya berposisi bagaikan ’malaikat utusan Tuhan’
untuk mengabdi dan menentukan para penyelenggara negara yang baik dan bersih.
Namun, berdasarkan fakta
di Garut itu (jika diakui hanya lagi apes), yang terjadi justru sebaliknya.
Lembaga penyelenggara pemilu (baca: khususnya di daerah-daerah) tak lebih
hanya sebagai tempat bekerja sementara untuk memperoleh bukan sekadar
penghasilan yang jauh nominalnya pasti lebih besar, ketimbang remunerasi
pegawai negeri, melainkan juga memanfaatkan kesempatan di tengah rusaknya
moralitas politikus yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.
Tampaknya sangat disadari
bahwa setiap kontestan peserta pemilu (pilkada) sangat membutuhkan peran para
anggota KPU dan Bawaslu/Panwaslu (daerah). Ya, mereka para penyelenggara
pemilihan mengetahui data pemilih, memiliki jaringan penyelenggara hingga
sampai pada TPS (tempat pemungutan suara) dan bisa mengarahkan jaringan
strategis mereka. Itu termasuk berperan menentukan pembagian surat undangan
untuk memilih.
Bahkan pada tingkat
tertentu para oknum penyelenggara pemilu di daerah itu bisa mengetahui peta
dukungan pemilih terhadap para kontestan. Jadi, jika sudah ’diikat materi’
(seperti di Garut itu) oleh salah satu kontestan, mereka sudah bisa dengan
mudah menyalahgunakan kewenangan. Itu termasuk menyiasati pendistribusian
surat undangan untuk memilih.
Begitu strategis dan
pentingnya peran penyelenggara pemilu di daerah maka tidak mengherankan tak
sedikit para politikus yang berduit dan tajir dalam kampanye pemilu
legislatif untuk perebutan kursi di DPR RI (termasuk juga di DPRD), meski
sangat jarang turun lapangan dan kampanye, tetap saja selalu terpilih.
Tepatnya, tidak perlu berkomunikasi intensif dengan rakyat sebagai pemilih
karena cukup menjalin hubungan komunikasi transaksional dengan penyelenggara
pemilu di daerah, sudah bisa memastikan dirinya bisa terpilih atau kembali
mewakili rakyat masuk ke DPR/D.
Karena itu, tidak
mengherankan jika sebagian dari oknum penyelenggara pemilu di daerah itu
tiba-tiba memiliki pertambahan harta di luar kewajaran setelah jadi penyelenggara
pemilu (pilkada), apalagi sudah menjabat lebih dari satu periode. Apalagi
jika ’ada kerja sama yang baik’ dengan kepala daerah petahana, sudah pasti
berbagai kemudahan untuk keuntungan materi akan diperolehnya.
Biasanya, memang, bagi
para petahana, figur-figur anggota penyelenggara pemilu (pilkada) itu selalu
dianggap sebagai pihak yang ’harus dirawat’ dengan cara-cara yang lebih
pragmatis. Oleh karena itu, juga tidak mengherankan jika begitu serunya
perebutan ruang untuk jadi calon anggota KPU daerah dan Bawaslu provinsi
serta Panwaslu di kabupaten/kota. Bahkan tak jarang informasi berseliweran
(dan lagi-lagi selalu saja ’bagai angin berbau busuk’) tentang adanya praktik
transaksi dengan panitia seleksi (pansel) daerah.
Jika kecenderungan fenomenal
seperti itu diakui memiliki kebenaran, apalagi dengan fakta aktual berupa
ter-OTT-nya oknum penyelenggara pemilu di Garut, jelas memberi isyarat serius
tentang derajat legitimasi moral dari penyelenggaraan dan produk pilkada.
Panwaslu atau Bawaslu yang seharusnya menjadi pengawas penyelenggaraan pemilu
(pilkada) yang bersih dan berkualitas justru jadi pihak yang harus diawasi.
Patut diduga kasus OTT itu hanyalah merupakan bagian ’titik permukaan dari
gunung’ yang sesungguhnya terjadi secara merata, hanya dengan kadar dan modus
operandi yang berbeda satu sama lain.
Lalu apa yang harus
dilakukan? Pertama, memberi sanksi tegas, berat, dan nyata pada oknum yang
ter-OTT di Garut agar bisa jadi contoh yang diharapkan berefek jera. Pihak
pimpinan lembaga penyelenggara pemilu di Jakarta (KPU dan Bawaslu Pusat)
harus segera mengambil sikap tegas kepada oknum-oknum itu. Tidak boleh
dianggap sebagai hal kecil yang kemudian diabaikan. Ini soal moral dan hukum
sekaligus.
Kedua, sudah saatnya
dilakukan dan sekaligus diakuinya lembaga pengawasan penyelenggara pemilu
(pilkada) secara berlapis. Dalam konteks ini partisipasi masyarakat sangat
diperlukan, termasuk media sosial dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang
berbasis di tingkat lokal. Kasus terbentuk dan adanya gerakan masyarakat di
Kabupaten Muna Barat (Sulawesi Tenggara) yang dalam putaran pilkada serentak
2017 lalu pernah menggegerkan ’adanya gerakan aksi tangkap tangan’ politik
uang yang dilakukan aktivis setempat, barangkali bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan
pengawasan partisipatif dari masyarakat.
Yang terlebih penting,
hasil kerja dari pengawasan terhadap penyelenggara secara partisipatif itu
ditindaklanjuti pihak yang berwenang, Satgas Antipolitik Uang Mabes Polri
merupakan salah satunya.Sayangnya, gerakan seperti itu yang kemudian didukung
Bupati Muna Barat ternyata mendapat perlawanan dari salah satu parpol.
Setidaknya berbuntut panjang secara politik, yakni dengan dipecatnya Ketua
PAN Kabupaten Muna Barat (LM Rajiun Tumada) dari keanggotaannya di partai
reformasi bentukan Prof Dr M Amien Rais itu (Media Indonesia, 23/2/2018).
Fenomena itu menunjukkan
masih saja tetap ada yang secara terbuka oknum-oknum dari parpol tertentu
yang melihat ’politik uang’ wajar-wajar saja karena barangkali mereka itu
juga terlahir dari proses kotor dan busuk seperti itu.
Ketiga, pihak pimpinan
penyelenggara pemilu di Jakarta (KPU dan Bawaslu), kecuali harus
mengintensifkan pengawasan internal, juga harus mengembangkan strategi lain
dalam rekrutmen aparat penyelenggara di tingkat daerah. Faktor integritas dan
rekam jejak mulai panitia seleksi sampai dengan para calon anggota yang
mendaftar harus secara saksama diperiksa atau diteliti. Strategi rekrutmen
berdasarkan ’akomodasi kepentingan unsur’ harusnya mulai harus dikoreksi
sehingga bisa menghadirkan figur-figur yang netral, berintegritas, dan
profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar