Mencegah
Hukum Draconian
A Ahsin Thohari ; Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta
|
KOMPAS,
23 Februari
2018
Alkisah, pada tahun 621 SM, Draco atau
Drakon (650-600 SM) dikenal sebagai legislator pertama dari Athena pada masa
Yunani Kuno yang berjasa mengganti hukum tak tertulis pada waktu itu dengan
hukum tertulis. Namun, sebenarnya sudah ada enam orang pendahulunya yang
memprakarsai pembentukan hukum tertulis.
Karena hukum tak tertulis tidak efektif
untuk kepentingan kepastian hukum dan kemudahan merujuknya, rakyat Athena
dengan tulus memintanya membuat hukum tertulis yang dapat digunakan sebagai
alat mencapai keadilan dan ketertiban di negara kota itu. Ketulusan yang bersifat ”cek kosong” itu membuat
rakyat Athena sama sekali tak menyadari kalau Draco bukan membentuk UU yang
adil dan mengayomi malah membuat UU yang kejam, brutal, dan kelak rakyat
seantero Athena terkena imbas buruknya.
UU ciptaan Draco memang tidak diskriminatif.
Namun, kejamnya ancaman pidana terhadap setiap orang yang jauh lebih berat
dan tidak sebanding dengan tingkat kesalahan yang dilakukan menjadi sasaran
kritik. Mencuri sebuah apel atau tidur di tempat umum, misalnya, dapat berujung
pada pidana mati. Juga, beberapa tindak pidana ringan lain bisa membuat
status merdeka seseorang hilang dan seketika menjadi budak.
Saking kejamnya, Demades (380-318 SM),
orator dan demagog Athena, pernah menggambarkan bahwa UU ini sejatinya
ditulis dengan darah manusia alih-alih tinta (David D Phillips, The Law of
Ancient Athens, 2016: 336). Tak kalah sinisnya, Plutarch (46-120 M), esais dan penulis biografi jempolan, pun menyebut
UU ini sebagai karya orang gila. Dari sinilah muncul istilah Draconian Law
untuk menyebut UU atau aturan yang kejam dan tidak sebanding antara pidana
dan kesalahan.
Prinsip rekodifikasi
Kini, 26 abad lebih sejak UU buatan Draco
dibuat, kita sedang berdebat soal Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
HP) yang dianggap berisi pasal karet yang multitafsir, pemidanaan yang
berlebihan, mengabaikan HAM, kebebasan, dan privasi warga negara. Norma-norma
itu cenderung berupaya memproteksi kepentingan negara, tetapi pada saat yang
sama berpotensi merampas hak-hak warga negara seperti kebebasan berpendapat
dan berekspresi (Kompas, 3-4/2/2018).
Boleh jadi RUU HP tidak sekejam dan sebrutal
UU buatan Draco. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa beberapa materi muatannya
menyimpan semangat Draconian dengan libido besar menciptakan balasan bagi
pihak yang dianggap menyimpang dan mengganggu apa yang dianggap sebagai
tatanan masyarakat atas nama ketertiban, hukum, moral, dan bahkan agama.
Seolah-olah RUU HP ingin mengungkapkan bahwa pemidanaan yang bersifat
retributif adalah satu-satunya jalan suci paling sahih bagi pemulihan cedera
kolektif masyarakat yang ditimbulkan oleh pelaku.
Kita memang amat masygul dengan satire bahwa
setelah hampir 73 tahun merdeka kita belum mampu membuat KUHP versi kita
sendiri yang lepas dari bayang-bayang penjajah Belanda. Meskipun ruang hukum
kita telah disesaki ribuan peraturan perundang-undangan buatan kita sendiri,
dalam pelbagai jenis dan hierarkinya, tetapi menjadi kurang lengkap karena
induk hukum pidana materiil kita masih mengandalkan KUHP yang sebagian besar isinya
merupakan saduran KUHP Belanda. Oleh karena itu, rekodifikasi KUHP adalah
keniscayaan dan kita sebenarnya sudah memulai proyek ini sejak lama, walaupun
senantiasa menemui kuldesak hingga kini.
Rekodifikasi mesti didasarkan pada tiga
prinsip: dekolonisasi, harmonisasi, dan demokratisasi hukum pidana. Maka,
beberapa hal harus diperhatikan: (1) undang-undang sektoral yang memuat
ketentuan pidana yang bersifat umum di luar KUHP; (2) pemetaan ulang tindak
pidana administratif; (3) aturan tindak pidana dalam peraturan daerah; (4)
hukum yang hidup di masyarakat; dan (5) sejumlah instrumen hukum
internasional yang berlaku (Institute for Criminal Justice Reform, Melihat
Rencana Kodifikasi dalam RKUHP: Tantangan Upaya Pembaruan Hukum Pidana di
Indonesia, 2015: 3).
Unifikasi hukum pidana
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam konteks
tekad pengesahan RUU HP ini adalah sudahkah kita memastikan bahwa RUU HP
benar-benar telah sesuai dengan spirit demokrasi, HAM, kebangsaan,
kebinekaan, serta steril dari muatan konservatisme, eksklusivisme, dan
identitas politik golongan? Bijaksanakah kita mengejar pengesahan RUU HP di
tengah ingar-bingar tahun politik 2018 dan 2019 yang rentan dipolitisasi
partai politik tertentu, melalui fraksi-fraksi di DPR, sebagai ajang pengumpulan
insentif elektoral dengan mengakomodasi pasal-pasal yang bernapaskan
primordialisme dan sektarianisme?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu dijawab
dengan benar oleh DPR dan pemerintah, niat mengesahkan RKUHP sebaiknya
diendapkan dulu. Sebab, kita tidak mau RKUHP yang disahkan nantinya justru
membelah keutuhan kebangsaan kita karena berisi pasal-pasal yang tidak
”netral”.
Oleh karena itu, harus ditegaskan bahwa
perjuangan untuk mengesahkannya bukanlah pertempuran zero-sum game yang
menempatkan pihak pemenang mengambil segalanya di satu sisi dan pihak
pecundang sama sekali tidak mendapatkan bagiannya di sisi lain.
Sebagai induk hukum pidana materiil, RUU HP
harus mampu menampung dan memuliakan keragaman cara pandang masyarakat kita.
Ia tidak boleh menjadi perkakas penindas golongan tertentu terhadap golongan
lain.
Harus diingat bahwa hasrat besar
rekodifikasi KUHP mutlak harus berpegang pada cetak biru unifikasi hukum
pidana yang berkehendak menerapkan penyatuan hukum pidana yang berlaku secara
nasional, suatu hal yang telah lama dicita-citakan seperti terlihat dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1978, 1983, 1988, dan 1999.
Harapan kita kepada pembentuk undang-undang
adalah janganlah KUHP kita ditulis dengan darah manusia, alih-alih tinta,
agar tidak menjelma menjadi hukum Draconian! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar