Indonesia
Masih Berutang Mata Novel Baswedan
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;
Melbourne Law School dan Faculty of
Arts, University of Melbourne, Australia
|
KOMPAS.COM,
22 Februari
2018
SEPULUH bulan purnama
telah berlalu sejak Novel Baswedan disiram air keras saat pulang shalat
berjamaah pada subuh 11 April 2017. Teror biadab itu menyebabkan mata kirinya
buta, sementara mata kanannya harus memakai lensa.
Hari ini, 22 Februari
2018, Novel Baswedan akan pulang dan langsung menuju rumah juangnya di Komisi
Pemberantasan Korupsi ( KPK), disambut para sahabat yang mencintainya. Saya
ingin pula menyambutnya, meski lewat tulisan ini semata.
Mengapa kita perlu
menyambut Novel dengan suka cita? Bukan semata karena kita cinta Novel
Baswedan, melainkan kita ingin merayakan semangat juang tak kenal takut dan
dan integritas tak terbeli yang diteladankannya.
Novel adalah ikon
perjuangan antikorupsi yang lengkap secara profesional kerja dan akhlak
personalnya. Bayangkan, meskipun mata fisiknya dibutakan, Novel tetap
memancarkan terang integritas melalui mata hatinya.
Setri Yasa, seorang
jurnalis, hari ini membagi cerita di halaman FB-nya, bagaimana Novel yang berkurang
gajinya karena sedang dalam perawatan di Singapura, harus menjual rumah
kreditannya untuk sang bunda tercinta di Semarang dan menjual pula mobil
keluarga satu-satunya, agar tetap dapat menafkahi hidup keluarganya.
Di tengah kesulitan
ekonomi yang sedemikian nyata, integritas moral Novel tetap bersinar
benderang. Jangankan yang haram, bantuan halal pun masih halus ditolaknya.
Ketika sahabat yang
bersimpati menggalang bantuan dana dan dari situ terkumpul Rp 120 juta,
dengan santun Novel tidak menerimanya.
Mengutip Setri, Novel
berkata, “Sedekah itu hanya boleh diterima orang miskin. Dan saya tidak ingin
menjadi miskin karena itu. Insya Allah saya masih mampu. Tolong sampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman”.
Menitik air mata saya
membacanya. Terharu akan sinar teladan yang dipancarkannya.
Mata fisiknya bisa
digelapbutakan, tetapi mata hati Novel nyata-nyata masih memberikan silau
antikorupsi yang tak kunjung padam. Hanya orang yang punya pribadi mulia yang
bisa bertutur dengan nilai keimanan dan kemanusiaan yang sedemikian kuat dan
dalam.
Karena itu, kita menyambut
Novel dengan bahagia. Karena, kita ingin merayakan perjuangan antikorupsi
yang tidak surut dan takut dengan teror biadab, sejahat apa pun.
Kita ingin menegaskan bahwa
kita akan selalu bersama Novel Baswedan, menghadapi berbagai teror para
koruptor, yang tidak akan pernah berhenti melemahkan KPK dan para pejuang
antikorupsinya.
Novel adalah simbol juang
antikorupsi yang teguh memegang prinsip moralitas dan profesionalitas. Novel
adalah ikon pemberantasan korupsi yang sederhana, tak kenal takut, dan terus
konsisten dalam semangat juang untuk Indonesia yang bebas korupsi.
Pengungkapan kasus Novel
Baswedan karenanya adalah pertaruhan ke-sekian kita bahwa keadilan itu masih
ada di bumi pertiwi dan layak diperjuangkan. Bahwa harapan pemberantasan
korupsi tidak akan pernah hilang karena kalah dengan teror biadab para
koruptor.
Sejarah hitam negeri ini
mencatat tidak sedikit pejuang HAM dan antikorupsi yang diteror—bahkan dibunuh—dan
pelaku utamanya tetap bebas melenggang merdeka.
Tulisan ini bisa menjadi
daftar panjang kasus peti es serupa itu. Beberapa di antaranya ada di zaman
otoritarian Orde Baru, tetapi— sayangnya—terus berlanjut ke era reformasi,
yang seharusnya mengharamkan impunitas.
a. Aktivis
buruh Marsinah dibunuh dengan penyiksaan berat dan mayatnya ditemukan di
hutan pada 8 Mei 1993. Nyaris seperempat abad kemudian pembunuhnya tidak
pernah terungkap;
b. Fuad
Muhammad Syafrudin adalah wartawan harian Bernas di Yogyakarta yang kritis
menuliskan isu antikorupsi sebelum dianiaya oleh orang tidak dikenal dan
akhirnya meninggal dunia pada 16 Agustus 1996. Lebih dari dua dekade
kemudian, pelaku pembunuhannya masih melenggang tanpa pertanggungjawaban;
c. Pejuang
HAM Munir Said Thalib dibunuh secara kejam dengan racun arsenik saat akan
hijrah menuntut ilmu di Belanda. Telah lewat 13 tahun, sejak 7 September
2004, saat pesawat Garuda GA-974 mendarat di Amsterdam, dan yang turun adalah
jasad Munir yang telah tak bernyawa. Hingga kini pelaku utamanya masih bebas
dan terus eksis tanpa sentuhan hukum secuil pun;
d. Pada
8 Juli 2010, aktivis antikorupsi ICW Tama S Langkun dianiaya dengan sabetan
senjata tajam. Hampir delapan tahun kemudian, jangankan pelakunya terungkap,
berita kasusnya pun tidak pernah lagi ada.
The
untouchable
Catatan kelam penganiayaan
dan pembunuhan aktivis HAM dan antikorupsi mestinya lebih panjang lagi. Tidak
sedikit terjadi tanpa advokasi dan pemberitaan yang memadai, sehingga lenyap
tenggelam ditelan lebatnya hutan belantara, dalamnya samudera, serta tebalnya
tembok tebal benteng pertahanan para pelaku yang menorehkan prestasi negatif
sebagai penjahat tak tersentuh hukum—the untouchables.
Melihat panjangnya daftar
tragedi hukum yang lumpuh berhadapan dengan para untouchables, kita akan
mudah untuk menyerah, termasuk dalam mendesakkan tuntasnya kasus Novel
Baswedan.
Waktu yang terus bergulir
adalah salah satu pembunuh semangat yang efektif dan mudah melenakan kita
untuk melupakan keadilan yang masih absen dalam kasus Novel.
Namun, kita tidak boleh
kalah! Saya yakin, secara teknis investigasi, kasus Novel Baswedan bukan
kasus yang sulit untuk diungkap tuntas. Ini kasus mudah.
Dalam banyak kasus serupa,
bahkan lebih rumit sekali pun, polisi kita sudah terbukti mumpuni untuk
mengungkapnya secara cepat dan tuntas.
Jika sekarang tidak
kunjung selesai, maka sebagaimana kasus Marsinah, Udin, Munir, Tama, dan
kasus serupa lainnya, persoalannya bukan pada soal teknis hukum melainkan
pada keberanian untuk melawan dan memenjarakan the untouchables.
Ada film The Untouchables yang dirilis pada
1987 dan dibintangi Kevin Costner, Andy Garcia, Robert De Niro, dan Sean
Connery. Film itu diangkat dari kisah nyata seorang pimpinan mafia di Chicago
yang bernama Al Capone.
Kejahatannya sangat masif,
mencakup semua kejahatan berat pada masa awal abad ke-20, seperti prostitusi,
penyelundupan manusia, penyuapan penegak hukum, dan penggelapan pajak.
Pembunuhan juga merupakan modus yang dilakukannya untuk menyingkirkan para
musuh dan saingan bisnisnya.
Namun, selicin apa pun
sang belut mafioso berusaha terlepas dari jeratan hukum, pada akhirnya sang
pemimpin gangster bertekuk lutut dan dipenjarakan dengan penjagaan superketat
di Al Catraz.
Adalah tim khusus penegak
hukum yang dipimpin Eliot Ness yang berhasil membekuknya. Oleh karena itu,
dalam film ini, yang dijuluki tak tersentuh bukanlah Al Capone, tetapi
sebaliknya Eliot Ness dan timnya yang menjelma sebagai the untouchables.
Pesan moral dari film yang
diilhami kisah nyata tersebut, sebenarnya tidak ada orang yang tidak bisa
disentuh hukum, siapa pun orangnya, apa pun kekuatannya.
Syaratnya, para penegak
hukum itu sendiri yang harus untouchables. Hukum itu sendiri yang harus bebas
dari berbagai intervensi, baik politik kekuasaan yang korup (political
corrupt) ataupun suap keuangan (judicial
corruption).
Hadirnya penjahat yang
tidak tersentuh hukum dalam kasus-kasus sejenis Novel bukanlah karena pelaku
kejahatan yang tidak tersentuh, melainkan karena penegak hukum sendiri yang mudah
disentuh, gampang dimanipulasi. Yaitu, penegak hukum yang tidak dilindungi
dan karenanya mudah diintervensi oleh tekanan politik kuasa dan godaan
korupsi peradilan. Dalam kasus sejenis, bukanlah teknis investigasi hukum
yang rumit, melainkan bertahan dari serangan intervensi kuasa dan dana yang
menyebabkan kasusnya menjadi sulit.
Karena itu, untuk
mengungkap kasus Novel, perlu dibentuk dan dilindungi otoritas penegak hukum
yang sejatinya tak tersentuh, tak terbeli, the untouchables. Penegak hukum yang komplet, tidak hanya berani
tetapi juga jujur dan berintegritas sekokoh cadas karang, yang tak lekang
dihantam derasnya ombak samudera.
Polisi kita seharusnya
mampu melakukan peran itu. Namun, tembok tebal yang mengadangnya membuktikan
Presiden Jokowi tidak cukup hanya meminta laporan dan terus-menerus menunggu.
Presiden wajib menggunakan
kuasanya untuk membantu Polri. Di situlah urgensi perlunya kebijakan
pembentukan tim independen kepresidenan untuk membantu polisi mengungkap
tuntas kasus Novel Baswedan.
Kita semua, apalagi
Presiden Joko Widodo, berutang mata kepada Novel Baswedan agar kasusnya
terungkap tuntas. Ini bukan demi diri Novel semata. Bukan juga demi mata
fisik Novel saja. Ini justru adalah perjuangan kita untuk melawan setiap
upaya teror koruptor yang menutup mata hati kita.
Novel secara pribadi sudah
mendekati khatam sebagai pejuang antikorupsi. Meskipun ia tentu gundah, saya
yakin Novel sudah cukup ikhlas, bahkan mungkin memaafkan pelaku lapangan
terornya.
Novel pun tidak pernah
surut takut. Karena—sebagaimana kutipannya yang terkenal—, berani tidak
memanjangkan umur, sebagaimana takut tidak memperpendek usia.
Yang lebih memerlukan
terungkapnya kasus ini bukan Novel Baswedan pribadi, melainkan kita semua
sebagai Indonesia. Kita yang justru berutang mata kepada Novel dan pada
perjuangan antikorupsi untuk secara serius dan maksimal mengungkap pelaku
utama teror air keras pada Novel.
Sebagai utang, ini adalah
tanggung jawab kita untuk membayar lunas pengorbanan Novel yang telah
menyerahkan seluruh dedikasi dan perjuangan hidupnya bagi kerja-kerja
antikorupsi.
Tentu, tidak berlebihan
jika upaya pelunasan utang mata kita kepada Novel ini dipimpin langsung oleh
kepala negara, Presiden Jokowi.
Meskipun, membentuk tim
independen kepresidenan bukanlah jaminan pelaku teror akan terungkap, karena
tim yang sama dengan keterbatasan kewenangan pada akhirnya tidak mampu mendorong terjeratnya
pelaku utama pembunuhan Munir.
Namun, paling tidak, dalam
kemandekan kasus Novel saat ini, pembentukan tim independen kepresidenan,
dengan kewenangan yang memadai, merupakan langkah awal—bahkan minimal—yang
bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk menegaskan komitmen pemberantasan
korupsinya adalah nyata dan tidak semata retorika.
Tentu, ujung dari tim
independen kepresidenan demikian harus juga dipastikan berhasil mengungkap
pelaku utama teror air keras Novel. Itu berarti hasil kerjanya tidak boleh
hanya menjadi tumpukan kertas rekomendasi yang masuk laci sejarah tanpa
tindak lanjut.
Karena itu, tim independen
tetap harus mempunyai kewenangan projustitia, tetap terdiri dari penegak
hukum gabungan polisi dan KPK yang integritasnya tak terbeli, ditambah tokoh
masyarakat yang diposisikan sebagai penasihat—yang masukannya mengikat
langkah dan strategi investigasi.
Novel Baswedan akan pulang
dari Singapura ke Indonesia, ke KPK, ke rumah antikorupsi kita. Sebagai
sahabat dan rumah juangnya, Indonesia tentu tidak boleh mengkhianatinya.
Utang mata fisik novel
harus kita bayar lunas dengan membuka mata hati kita untuk terus berjuang
tanpa takut, tanpa henti. Sampai pelaku utama teror air keras Novel terungkap
dan dipenjara, utang kita belum pernah lunas.
Presiden Jokowi wajib
mencicil utang mata hati ini dengan langkah nyata membantu Polri melalui
pembentukan tim independen kepresidenan yang diproteksi dan dijamin
efektivitas kerjanya.
Kepada Novel Baswedan kita
berutang mata fisik dan mata jiwa antikorupsi. Kita Indonesia, tidak boleh
mengemplang pembayarannya.
Pilihan Indonesia hanya
satu. Indonesia harus lunas membayarnya. Berapa pun harganya, bagaimana pun
tantangannya, dan apa pun risikonya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar