Senin, 26 Februari 2018

Guru dan Gawe-Gawe Politik

Guru dan Gawe-Gawe Politik
Fuad Fachruddin  ;   Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma
                                           MEDIA INDONESIA, 26 Februari 2018



                                                           
APAKAH gawe-gawe guru itu ‘political’ dan secara personal apakah guru itu apolitis? Jawaban pertanyaan tersebut akan bergantung pada pemahaman seseorang tentang pendidikan dan politik. Misalnya, “Apakah pendidikan itu politik atau bukan?” Mereka yang berpaham politik identik dengan kekuasaan semata cenderung menilai pendidikan tidak masuk politik. Pendidik atau guru dipahami hanya sebagai operator dari kebijakan atau keputusan politik. Dalam pemahaman konvensional, ‘gawe’ utama guru atau pendidik ialah mentransfer ilmu dan keterampilan untuk menyiapkan peserta didik dalam menghadapi kehidupan mendatang atau dunia kerja (labor market). Dengan kata lain, pendidikan bukanlah ‘gawe’ politik atau political (Dove, 1995; Ginsburg, 1996). Oleh karenanya, jika pendidik atau guru ingin disebut ‘being political’ hendaknya terjun dalam formal politik.

Pendidikan sebagai politik

Pihak lain berpendapat bahwa pendidikan ialah politik. Juga guru (being) political atau aktor politik (Ginsburg, 2012: 8). Gawe-gawe pendidik di kelas atau di luar kelas merupakan gawe politik. Terdapat variasi pandangan dalam paham bahwa pendidikan itu politik, yaitu, pertama, pendidikan ialah politik atau political. Paham itu diinspirasi pemikiran ‘kiwari’ seperti Plato dan John Locke bahwa pendidikan adalah politik (to govern). Bagi kelompok itu, pendidikan dan politik ialah dua sisi mata uang yang sama. Pendapat itu berlaku kuat dalam tradisi (aliran) liberalisme dan demokrasi. Pendidikan, bagi kelompok itu, identik dengan memerintah (‘to educate is to govern and to govern is to educate’).

Kedua, pendidikan ialah politik karena pendidikan merupakan hasil dari keputusan politik. Dalam masyarakat modern, pendidikan dipahami sebagai a public or mere good yang ditetapkan berdasarkan keputusan politik. Ketiga, pendidikan ialah politik karena pendidikan seperti unsur-unsur lain dalam masyarakat (misalnya media massa dan jaringan sosial) berjalan sebagai bagian dari tatanan sosial dan politik kekuasaan, otoritas (Frazer, 1999). Kelompok keempat melihat pendidikan sebagai politik dalam perspektif kritis.

Pendidikan merupakan sarana untuk menumbuhkan kesadaran reflektif di kalangan peserta didik karena dalam kehidupan selalu akan ditemukan fragmentasi dan konflik immanent antara tradisi atau nilai-nilai yang disepakati dengan kenyataan sosial dan struktural (Davies, 2000). Oleh karenanya, pendidikan merupakan proses penyadaran terhadap struktur sosial politik kehidupan dan pembebasan kelompok yang tersisihkan. Dengan konsep pedagogi dan teori pembelajaran transformatif, Freire (1974. 2005; 1983, 2000) telah mengintegrasikan melek huruf dengan menumbuhkan kesadaran sosial dan struktural (conscientization).

Manifestasi gawe politik guru

Guru dapat melakukan gawe-gawe politik dengan mengamalkan kemampuan profesional dalam dunia sekolah/kelas atau di luar kelas. Pendidik dapat mengembangkan contoh dan perilaku demokratis dalam program-program yang melibatkan orang tua peserta didik dan masyarakat. Guru melakukan kajian dan mengembangkan kurikulum berdasarkan problem yang ditemukan dalam pembelajaran. Lalu, guru mengembangkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan mutu pembelajaran sehingga meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tempat dia bertugas. Apa yang dilakukan guru merupakan gawe-gawe politik. Guru membimbing murid, misalnya, melakukan penelitian air di sungai-sungai yang berada di sekitar sekolah. Guru memberikan pendampingan kepada peserta didik mereka dalam mengumpulkan data dengan metodologi penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Guru membimbing peserta didik mengolah dan mengana­lisis data, membuat laporan. Peserta didik menyajikan di depan orangtua murid saat kegiatan pertemuan orangtua dan masyarakat, seperti hari kenaikan kelas, pembagian rapor, atau acara lain. Dengan kegiatan seperti ini, peserta didik menjadi terlatih untuk mengemukakan sesuatu berdasarkan data, mengkaji dan mengomunikasikan hasil penelitian kepada pihak lain. Peserta didik dapat memberikan jawaban terhadap audiensi secara artikulatif dan percaya diri.

Guru menciptakan suasana demokratis dalam menyelenggarakan pembelajaran. Misalnya, memberi bimbingan kepada peserta didik yang dapat mempunyai kemampuan belajar cepat dan atau peserta didik yang mengalami kesulitan (lambat) dalam pembelajaran. Peserta didik semua memperoleh bimbing­an secara adil sehingga mereka semua dapat mencapai standar mutu.

Guru dapat membimbing warga yang masih buta aksara. Misalnya, dengan menggunakan model atau teori pembelajaran transformatif, warga masyarakat yang buta aksara dapat membaca dan menulis, misalnya kata ‘adil dan tidak adil’. Selanjutnya, setelah mereka dapat baca tulis, guru melanjutkan langkah berikut melakukan dialog tentang situasi kehidupan yang timpang. Melalui dialog, peserta belajar dapat memahami ketimpangan dan muncul kesadaran untuk melakukan praksis dalam mempersempit ketimpangan. Itu merupakan gawe politik yang dapat dilakukan guru.

Contoh-contoh tersebut di muka merupakan gawe-gawe politik karena ‘politics is how you live in your life, not whom you vote for. All aspects of human experience have a political dimension. What educators do occurs in the context of power relations and distributions of symbolic material resources, and what action (or inaction) educators engage in has political implications for themselves and others’ (Ginsburg, 1996, 2012). Sayang, pemahaman gawe politik seperti ini belum sepenuhnya dapat dipahami dan belum mendapat pengakuan. Hal ini juga dapat memungkinkan bapak dan ibu guru tergoda untuk masuk ke gawe-gawe politik dalam pengertian formal politik, misalnya menjadi aktivis partai politik dengan menelantarkan gawe-gawe mendidik demi aktualisasi diri dan kehidupan. Atau mungkin guru tergoda untuk menjadikan organisasi guru sebagai kendaraan untuk mencapai posisi politik di eksekutif atau legislatif ketimbang menjadi wadah untuk mengembangkan profesionalitas para guru untuk peningkatan mutu pendidikan.

Semoga para guru tetap istikamah mengemban profesi--mendidik anak bangsa sebagai amanah--mengembangkan kegiatan untuk meningkatkan profesionalitas untuk melahirkan peserta didik yang bermutu dari dimensi intelektualitas, kecerdasan emosi, keterampilan sosial dan akhlak untuk kemajuan bangsa. Juga, dalam melaksanakan pendidikan politik, para tokoh politik tidak terhenti pada paham dan praktik formal politik lantaran kepentingan sesaat sehingga misi (fungsi) pendidikan politik dalam pengertian yang luas (substantif), seperti political literacy, diabaikan (Fachruddin, 2006). Semoga prophetic politics yang direpresentasikan antara lain dengan komitmen terhadap perjuangan untuk kemakmuran rakyat, jujur, amanah dan santun; benci terhadap ketidakadilan, hipokrisi dan korupsi, politik kekerasan, selalu menjadi pedoman mereka dalam berpolitik. ●

1 komentar:

  1. Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi tikus

    BalasHapus