Kejahatan
Kebencian
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS,
22 Februari
2018
Meskipun kasuistik dan isolated; serangan fisik,
pembacokan, atau penganiayaan oleh orang tertentu terhadap fungsionaris
agama, semacam kiai atau ustaz, dan juga pastor, di beberapa tempat di Tanah
Air dalam dua bulan terakhir penting diwaspadai. Tanpa harus membesar-
besarkan, aksi semacam ini perlu diantisipasi setiap mereka yang peduli
karena dapat merusak tenunan masyarakat dan kohesi sosial.
Kita patut bersyukur, kasus-kasus
penganiayaan yang menghebohkan gagal menciptakan konflik intra dan antaragama
di antara umat beragama. Respons cepat para pemimpin agama, elite
sosial-budaya, dan kalangan warga mampu meredam kemungkinan meletupnya
konflik intra dan antaragama yang tidak menguntungkan kehidupan beragama,
berbangsa, dan bernegara.
Peningkatan kewaspadaan elite kepemimpinan,
politik, agama, dan sosial-budaya pada berbagai level—nasional, lokal, dan
alas rumput—sangat diperlukan. Hal ini tak lain karena kasus- kasus
memprihatinkan itu tampaknya hanyalah ”puncak dari gunung es” masalah lebih
luas.
Kejadian nestapa seperti itu bisa marak
pada tahun politik 2018 (dengan pilkada di 171 daerah) dan Pemilu Legislatif
(Pileg) serta Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 karena meningkatnya eskalasi
politik. Seperti terjadi dalam kontestasi politik sebelumnya —Pilkada
2016-2017 serta Pileg dan Pilpres 2014—muncul berbagai isu yang dapat
mendorong aksi kekerasan terhadap fungsionaris agama, baik lingkungan intra
maupun antaragama.
Kekerasan terhadap fungsionaris agama
belakangan ini terlihat mengandung ”kejahatan kebencian” (hate crime).
Berbeda dengan kejahatan atau aksi kriminal biasa, ”kejahatan kebencian”
didasarkan pada prasangka (prejudices), bias, permusuhan, dan kebencian
pelakunya terhadap orang atau komunitas lain yang berbeda dengan dirinya.
Perwujudan ”kejahatan kebencian” dapat
mengambil berbagai bentuk. Pertama, dapat bermula dengan kekerasan verbal
yang kemudian meningkat menjadi intimidasi dan kekerasan fisik. Kedua, bentuk
kejahatan kebencian dapat mengakibatkan trauma psikologis bagi korban; dan
dalam skala luas dapat menimbulkan kekhawatiran, ketakutan, kecurigaan, serta
permusuhan di antara berbagai komunitas.
Lazimnya ”kejahatan kebencian” terjadi
terhadap orang atau kelompok yang berbeda agama dan keyakinan, ras atau
etnisitas, sosial-budaya, serta sosial-ekonomi. Dalam kerangka yang sudah
lama populer di Tanah Air, ”kejahatan kebencian” terutama terkait
penyalahgunaan (use dan abuse) isu SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan).
Fenomena hate crime sering terkait dengan faktor politik dan ekonomi.
Berbeda dengan masa otoritarianisme Orde Baru yang sangat sensitif dan
represif dalam isu SARA—dapat menjadi kejahatan kebencian yang mengganggu
stabilitas nasional—di masa reformasi dengan liberalisasi politik dan
demokratisasi, kejahatan kebencian tampak terus bertumbuh.
Ekuilibrium politik yang belum tercapai
juga setelah Indonesia menerapkan demokrasi liberal multipartai hampir dua
dasawarsa membuat kontestasi dan fragmentasi politik terus berlanjut. Dalam
keadaan ini, ada kalangan kekuatan politik dan elite yang turut menciptakan
iklim cukup kondusif bagi tumbuhnya kejahatan kebencian. Hal ini, misalnya,
karena sikap dan gesture yang seolah merestui (condoning) orang atau kelompok
yang punya tendensi melakukan hate crime.
Pertumbuhan kejahatan kebencian kian
merebak akibat penyebaran ideologi religio-politik transnasional. Terdapat
elemen tertentu dalam paham dan praksis transnasional ini yang dapat
mendorong tumbuhnya kejahatan kebencian.
Kejahatan kebencian mengalami eksplosi
penyebaran dan penggunaan media sosial. Nyaris tak terkontrol, media sosial
menjadi wahana penyebaran hoaks, fitnah, provokasi, ujaran kebencian (hate
speech) yang mengilhami dan menjerumuskan warga melakukan kejahatan
kebencian.
Kejahatan kebencian jelas tak kondusif bagi
kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Jika berkelanjutan tanpa
kontrol, konflik dan disintegrasi bisa terjadi pada berbagai level kehidupan
sejak dari agama, politik, sampai sosial-budaya.
Pencegahan kejahatan kebencian mesti
dimulai para elite politik, keagamaan, dan sosial-budaya sejak dari tingkat
nasional, lokal, sampai alas rumput. Elite politik dan politisi yang
bertarung dalam kontestasi politik wajib menghindari isu yang dapat menjadi
motif orang tertentu untuk melakukan kejahatan kebencian.
Pada saat yang sama, wajib pula ada penegakan
hukum yang tegas tetapi terukur, adil, transparan, dan kredibel. Aparat
kepolisian perlu secara cepat mengusut pelaku kebencian, tetapi tidak secara
terburu-buru dan sepihak menyatakan pelaku kebencian sebagai ”orang gila”
atau ”tidak waras”.
Untuk sampai pada ”penetapan” seperti itu,
semestinya Polri melibatkan psikolog dan psikiater profesional. Jika tidak,
kalangan masyarakat dengan segera membangun persepsi tentang adanya
konspirasi atau mastermind yang secara sistematis dan terstruktur melakukan
penganiayaan dan persekusi terhadap fungsionaris agama.
Kejahatan kebencian mesti pula memerlukan
ketentuan hukum komprehensif. Sejauh ini, ketentuan hukum hanya tersedia
dalam beberapa undang-undang yang terpisah satu sama lain, yang belum memadai
untuk menghadapi kejahatan kebencian.
Oleh karena itu, perlu segera ada UU khusus
berkenaan dengan kejahatan kebencian. UU ini mestilah lebih keras dan tegas
dibandingkan dengan ketentuan hukum kejahatan biasa karena dampak kejahatan
kebencian yang sangat destruktif terhadap kehidupan beragama, berbangsa, dan
bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar