Sengketa
Perpajakan
Ferdy A Sihotang ; Bekerja di Pengadilan Pajak
|
KOMPAS,
27 Februari
2018
Seiring dengan semakin
tingginya target pajak dalam APBN 2018, Direktorat Jenderal Pajak diyakini
akan mengintensifkan pemungutan dan penegakan hukum di bidang perpajakan.
Apalagi setelah selesainya
pelaksanaan amnesti (tax amnesty) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah telah menerbitkan PP No 36/2017
tanggal 6 September 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas
Penghasilan Tertentu berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap
sebagai Penghasilan.
Yang menjadi sasaran dari
pelaksanaan PP No 36/2017 tersebut adalah para wajib pajak (WP) yang telah
mengikuti program pengampunan pajak atau yang belum mengikuti dan belum atau
kurang melapor semua harta bersih. Untuk melengkapi regulasi dalam pemungutan
pajak pasca- amnesti tersebut juga telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 165/PMK.03/2017 tanggal 17 November 2017 tentang Pelaksanaan UU No
11/2016 tentang Pengampunan Pajak.
Pokok-pokok dalam
regulasi-regulasi terkait pengampunan pajak tersebut di atas mengatur
mengenai bagaimana
perlakuan Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) terhadap WP, baik yang sudah mengikuti program
pengampunan pajak maupun yang belum, jika DJP menemukan harta bersih (harta
dikurangi utang) yang tidak atau kurang dilaporkan. Terhadap WP yang sudah
mengikuti pengampunan pajak kemudian DJP menemukan harta bersih yang belum
atau kurang diungkap dalam surat pernyataan, maka harta tersebut dianggap
sebagai tambahan penghasilan yang akan ditagih dengan surat ketetapan pajak
kurang bayar (SKPKB).
Tambahan penghasilan
tersebut selanjutnya akan dikenai Pajak Penghasilan final dengan tarif sesuai
dengan Pasal 4 PP Nomor 36 Tahun 2017 ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan 200 persen sesuai dengan ketentuan UU Pengampunan Pajak. Sementara
terhadap WP yang tidak mengikuti program pengampunan pajak, jika DJP
menemukan harta bersih yang belum dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh maka
tambahan harta tersebut akan ditagih dengan SKPKB dengan mengenakan tarif
Pajak Penghasilan final sesuai dengan Pasal 4 PP No 36/2017 ditambah sanksi
administrasi berupa bunga 2 persen sebulan paling lama 24 bulan sesuai UU
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Sengketa
pajak amnesti pajak
Apabila atas SKPKB
tersebut WP menyatakan tidak setuju/keberatan, maka akan timbul sengketa
pajak. Seandainya sengketa pajak tersebut berlanjut sampai ke pengadilan,
maka upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh WP? Menurut Pasal 19 UU
Pengampunan Pajak, ”Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU
Pengampunan Pajak hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan, dan
gugatan tersebut hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.”
Lebih lanjut di dalam
Pasal 46 Ayat 3 PMK No 165/2017 disebutkan, penyelesaian sengketa atas
penerbitan SKPKB terkait UU Pengampunan Pajak tersebut dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum
dan tata cara perpajakan. Ini berarti terhadap sengketa pajak atas penerbitan
SKPKB dalam rangka pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, upaya hukumnya adalah
melalui pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak.
Sementara menurut hukum
acara di Pengadilan Pajak (Pasal 31 UU No 14/2002 tentang Pengadilan Pajak)
dikenal ada dua jalur penyelesaian sengketa, yaitu melalui banding atau
gugatan. Proses pengajuan banding dan gugatan ke Pengadilan Pajak mengikuti
ketentuan yang ada dalam UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 16/2009 tentang
Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Apabila WP tidak setuju
atas isi/materi surat ketetapan pajak seperti ketidaksetujuan terhadap
besarnya jumlah pajak, maka WP dapat mengajukan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak (Pasal 25 dan 26 UU KUP) dan jika surat keberatannya ditolak
serta DJP menerbitkan keputusan penolakan, maka keputusan tersebut menjadi
dasar pengajuan banding ke Pengadilan Pajak (Pasal 27 UU KUP).
Sementara yang merupakan
obyek gugatan diatur dalam Pasal 23 Ayat 2 UU KUP, yaitu: (a) atas
pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan atau
pengumuman lelang; (b) keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; (c)
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal 26; atau (d) penerbitan surat
ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak
sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan demikian, baik
menurut UU Pengadilan Pajak maupun UU KUP, jika sengketa pajak terkait dengan
isi/materi SKPKB, setelah adanya keputusan penolakan keberatan dari DJP, maka
upaya hukumnya adalah banding, bukan melalui gugatan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 19 UU Pengampunan Pajak.
Perbaikan
regulasi
Guna mengatasi
problematika hukum dalam penyelesaian sengketa pajak terkait pelaksanaan
aturan pengampunan pajak tersebut di atas, diperlukan adanya perbaikan
terhadap aturan-aturan yang terkait. Langkah yang paling baik adalah
melakukan revisi terhadap ketentuan
Pasal 19 UU Pengampunan Pajak.
Susunan redaksional Pasal
19 Ayat 1 UU Pengampunan Pajak
sebaiknya diubah menjadi, ”Segala sengketa yang berkaitan dengan
pelaksanaan undang-undang ini dapat diselesaikan melalui pengajuan Banding
atau Gugatan sesuai ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan”. Dengan demikian, ketentuan tersebut akan
sejalan dengan UU Pengadilan Pajak dan UU KUP.
Sepanjang sengketa pajak
terkait dengan isi/materi surat ketetapan pajak, maka upaya hukumnya melalui
banding, sedangkan jika yang jadi sengketa adalah prosedur penerbitan atau
aspek pemenuhan ketentuan formal penerbitan surat ketetapan pajak, maka upaya
hukumnya dilakukan melalui pengajuan gugatan.
Namun, jika UU Pengampunan
Pajak tidak dikehendaki untuk direvisi, yang berarti penyelesaian sengketa
atas pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tetap melalui jalur gugatan sesuai
Pasal 19 UU Pengampunan Pajak, maka apakah hal itu dimungkinkan? Satu-satunya
peluang untuk dapat mengajukan gugatan atas terbitnya suatu surat ketetapan
pajak dan selama ini memang dalam praktiknya banyak ditempuh oleh WP adalah
melalui Pasal 36 Ayat 1 Huruf b UU KUP.
Banyak WP lebih memilih
menggunakan ketentuan Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP daripada proses keberatan
sesuai Pasal
25 UU KUP karena batas
waktu penyelesaian permohonannya lebih cepat, yaitu ditentukan paling lama
enam bulan. Sementara jika menggunakan mekanisme pengajuan keberatan, batas
waktu penyelesaiannya lebih lama, yaitu paling lama 12 bulan.
Ketentuan Pasal 36 Ayat 1
Huruf b UU KUP berbunyi, ”Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan
pajak yang tidak benar.”
Pasal 36 Ayat 1 Huruf
b UU KUP ini dapat menjadi ”jalan”
menuju Pasal 23 Ayat 2 UU KUP yang merupakan ”pintu masuk” pengajuan
gugatan ke Pengadilan Pajak. Apabila
atas suatu SKPKB, WP tidak mengajukan keberatan sesuai Pasal 25 UU KUP tetapi
memilih mengajukan permohonan pembatalan SKPKB melalui Pasal 36 Ayat 1 b UU
KUP, maka jika permohonannya ditolak, keputusan penolakan tersebut menjadi
dasar pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak.
Dasar ketentuannya adalah
Pasal 23 Ayat 2 Huruf C UU KUP yang berbunyi, ”Gugatan Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan
keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal
26, hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak”.
Namun, ketentuan Pasal 36
Ayat 1 b UU KUP ini dalam praktiknya sering diperdebatkan karena dianggap
”tumpang tindih” dengan mekanisme pembatalan surat ketetapan pajak melalui
pengajuan keberatan sesuai Pasal 25 dan Pasal 26 UU KUP. UU KUP tidak
memberikan kriteria dan batasan yang jelas dalam hal apa pembatalan suatu
surat ketetapan pajak diajukan melalui pasal ini dan apa perbedaannya dengan
mekanisme pengajuan keberatan atas surat ketetapan pajak yang diatur dalam
Pasal 25 UU KUP.
Di dalam penjelasan Pasal
36 Ayat 1 Huruf b UU KUP antara lain berbunyi, ”Selain itu, Direktur Jenderal
Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan
unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang
tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena
tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya)
meskipun persyaratan material terpenuhi.”
Sebenarnya isi penjelasan
pasal sedemikian hanya menyebutkan suatu contoh dalam hal apa ketentuan Pasal
36 Ayat 1 b dapat digunakan, yaitu digunakan jika WP tidak dapat menempuh
prosedur keberatan sesuai Pasal 25 UU KUP karena terdapat persoalan formal
pengajuan keberatan yang tidak dapat
dipenuhi oleh WP, sementara secara material/substansi sebenarnya WP sudah
benar sehingga memang surat ketetapan pajak itu tak benar. Untuk itu, dengan
alasan keadilan, Dirjen Pajak dengan kewenangannya dapat membatalkan surat
ketetapan pajak.
Memori penjelasan pasal
tersebut sebenarnya hanya merujuk pada suatu contoh saja dan tidak
menyebutkan suatu norma hukum tertentu tentang kriteria dan persyaratan
pengajuan permohonan secara jelas. Dalam praktiknya kemudian pasal tersebut
ditafsirkan secara meluas menjadi segala sesuatu yang menyangkut aspek formal
atau prosedur penetapan/penerbitan surat ketetapan pajak yang dianggap tidak
sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku, maka upaya hukumnya ditempuh
melalui Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP.
Selain itu, ada juga
pandangan yang menyatakan bahwa penggunaan Pasal 36 UU KUP merupakan wewenang
penuh Dirjen Pajak, di mana WP dapat
memohon pembatalan surat ketetapan pajak dengan mengharapkan ”kemurahan dan kebaikan hati” (clemency)
Dirjen Pajak. Padahal, dalam kondisi saat ini kecil kemungkinan Dirjen Pajak
bersedia membatalkan suatu surat ketetapan pajak tanpa adanya alasan-alasan yuridis yang cukup, sekalipun dengan alasan
keadilan.
Mengingat saat ini sedang
berlangsung pembahasan revisi UU KUP,
sebaiknya ketentuan Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP ini perlu direvitalisasi agar
jelas kriteria dan ruang lingkupnya sehingga menjadi jelas pula perbedaannya
dengan mekanisme keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU KUP. Dalam
konteks pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, perlu pula dipertimbangkan dalam
revisi UU KUP apakah khusus atas SKPKB
yang diterbitkan dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak dapat
diselesaikan melalui Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP.
Penyelesaian sengketa
SKPKB yang terkait pengampunan pajak semestinya lebih sederhana prosesnya
karena prinsipnya hanya mencocokkan data harta kekayaan yang dilaporkan oleh
WP dengan data harta yang dimiliki DJP dan semestinya tidak diperlukan proses
pemeriksaan dan pembuktian pembukuan/pencatatan yang rumit seperti halnya
penyelesaian keberatan menurut Pasal 26 UU KUP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar