Mental
Block
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 23 Februari 2018
SUATU hari seorang ibu
berjalan bersama anaknya melewati seekor gajah yang kakinya diikat dengan
gelang dari tali bambu, lalu gelang tali itu disambung dan diikatkan ke
sebuah pohon kecil. Melihat seekor gajah yang besar hanya diikat dengan tali
kecil, anak tadi ketakutan ingin lari menjauh. Namun, ibunya meyakinkan pada
anaknya agar tidak usah takut dan tak perlu lari menjauh.
Anaknya heran akan nasihat
ibunya, lalu menjawab: “Bu, gajah itu besar dan kuat. Sedangkan tali dan
pohon itu kecil sekali, sangat mudah bagi gajah untuk lepas. Bagaimana kalau
gajah itu lepas dan mengamuk? Pasti orang-orang kampung akan lari
ketakutan.”
Ibu itu pun menjelaskan,
gajah itu tak akan lari karena sejak masih kecil kakinya sudah dikenakan
gelang pengikat terbuat dari tali sehingga gajah itu tak bisa dan tak pernah
pergi jauh dari tempatnya. Setelah besar, gelang tali itu selalu dikenakan
oleh pemiliknya sehingga gajah yang sudah besar dan berbadan kuat itu pun
akan tetap merasa terikat kakinya dan tak mampu pergi jauh.
Gajah itu tidak lari bukan
karena fisiknya lemah dan sakit, tetapi karena sudah tertanam kuat dalam
dirinya bahwa kakinya selalu terikat sehingga tidak bisa pergi jauh,
alih-alih lari.
Apa yang dijelaskan ibu di
atas, dalam istilah psikologi disebut mental block, yaitu pengalaman buruk
yang terekam kuat ketika masa kanak-kanak akan menghalangi pertumbuhan
mentalnya secara optimal dalam perjalanan hidupnya, kecuali seseorang mampu
membongkarnya.
Pengalaman pahit dan
tertindas itu membuat dirinya kerdil, tidak percaya diri, dan tidak mampu
menggali potensi kekuatan yang terpendam.
Dalam kehidupan anak
terdapat banyak faktor dan pengalaman negatif yang membuat pribadi anak tidak
berkembang akibat terjadi mental block. Salah satunya adalah sikap orang tua
atau guru yang selalu menilai, memberi label dan memperlakukan anak sebagai
anak bodoh, ditanamkan pandangan pesimis bahwa dia tidak akan sukses di masa
depan, serta dibanding-bandingkan dengan anak lain yang dianggap pintar dan
selalu bagus nilai ujiannya.
Orang tua atau guru yang
otoriter, ingin anaknya selalu benar, anak tidak diberi kesempatan untuk
mencoba hal baru dan mengalami berbuat salah, membuat anak tidak memiliki
sikap percaya diri. Dia tidak akan pernah belajar dari kesalahan.
Anak akan terkondisikan
melihat dirinya bodoh, tidak pernah dilatih untuk berimajinasi tentang masa
depan yang lebih luas dan indah. Jika kondisi ini berkepanjangan, situasi ini
akan menciptakan mental block, seperti gajah yang merasa terikat kakinya
padahal hanya oleh tali rapuh.
Contoh lain, remaja yang
menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan juga sangat potensial
dihinggapi mental block. Mereka merasa kehilangan harga diri dan kebanggaan
diri, bahkan ada yang hendak bunuh diri, masa depannya menjadi gelap, dan
merasa dirinya dicemooh oleh orang-orang di sekitarnya.
Pendeknya, hidup tak lagi
menarik, bahkan dirasakan sebagai panggung derita dan penistaan. Oleh
karenanya, remaja yang menjadi korban pemerkosaan sangat memerlukan bimbingan
dan pendampingan psikologis serta penerimaan yang intens, tulus, dan dukungan
dari keluarga serta teman-teman dekatnya.
Dalam konteks sosial,
sebuah bangsa yang pernah lama dijajah sangat bisa jadi dihinggapi mental
block. Suatu ingatan kolektif yang diwariskan dari orang tua pada
anak-anaknya bahwa dirinya adalah bagian dari bangsa yang kalah, lembek, dan
bodoh, sehingga pantas dijajah bangsa lain.
Senang melecehkan bangsa
sendiri (masochistic), mudah kagum terhadap hal-hal yang serba asing atau
impor. Bangsa Indonesia yang lama dijajah asing, sekalipun sudah merdeka
tetap saja mentalnya belum bisa tampil sebagai bangsa merdeka, berdaulat.
Ternyata tidak mudah
memotong warisan mental block, padahal Indonesia merdeka dijemput dengan
perjuangan berdarah-darah dan tak terhitung nyawa melayang. Sebuah agenda
bangsa yang sangat urgen dan mendasar, bagaimana membangun generasi
kreatif-inovatif yang bermental pemenang (winner
mentality).
Pilkada itu mestinya
menjadi ajang pembentukan pribadi tangguh, bermental juara, bukan menang
karena money politics dan permainan
kotor. Itu namanya pecundang demokrasi, bukannya pejuang dan pemenang
kontestasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar