Memaknai
Pertemuan Paus-Erdogan
A Agus Sriyono ; Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan
|
KOMPAS,
14 Februari
2018
Bertempat
di Istana Apostolik Vatikan, 5 Februari 2018, Paus Fransiskus bertemu dengan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan guna membahas, antara lain, masalah
status Jerusalem, perdamaian Timur Tengah, dan gelombang pengungsi. Kunjungan
Presiden Erdogan ke Vatikan merupakan yang pertama setelah 59 tahun.
Sebelumnya, Presiden Celal Bayar bertemu dengan Paus Johanes XXIII di Vatikan
pada 1959.
Pertemuan
kedua tokoh ini menarik perhatian dunia karena Paus Fransiskus sebagai
pemimpin Gereja Katolik sedunia bertemu seorang presiden dari sebuah negara
anggota NATO yang 95 persen dari 81 juta penduduknya Muslim. Paus sendiri
mengunjungi Turki tahun 2014.
Keputusan
Presiden AS Donald Trump pada 6 Desember 2017 untuk memindahkan Kedutaan
Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem menimbulkan polemik di tengah masyarakat
internasional. Dalam Sidang Darurat Majelis Umum PBB, 21 Desember 2017,
delegasi Vatikan menyerukan perlunya semua negara menghormati status quo Kota
Suci Jerusalem sejalan dengan resolusi-resolusi PBB.
Di
tempat berbeda, Turki bersama negara-negara anggota Organisasi Kerja sama
Islam (OKI) menolak klaim Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Bahkan, OKI
mendeklarasikan Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Sementara
itu, kawasan Timur Tengah masih terus bergolak. Belum ada tanda-tanda konflik
yang terjadi di Afghanistan, Suriah, Irak, dan Yaman akan berakhir. Menurut
Paus Fransiskus, rekonsiliasi melalui dialog merupakan salah satu cara
mewujudkan perdamaian. Dialog yang didasari rasa saling percaya sangat
diperlukan bagi pihak-pihak yang bertikai. Namun, perlu dicatat, saat ini
Turki masih bagian dari konflik di Irak dan Suriah.
Mengenai
pengungsi, Paus Fransiskus secara tegas menyatakan sebagai masalah
kemanusiaan. Menurut dia, pengungsi jangan dilihat semata dari status hukum
legal atau ilegal, tetapi mereka harus dilihat sebagai sosok manusia yang
memiliki martabat yang wajib dilindungi. Dalam pesannya pada the World Day of
Migrants and Refugees tahun 2016, Paus mengimbau semua pihak agar bersedia
menerima pengungsi sebagai bagian dari keluarga. Turki sendiri sejauh ini
menampung 3,7 juta pengungsi.
Status Jerusalem
Dalam
menyikapi isu Jerusalem, baik Paus Fransiskus maupun Presiden Erdogan
memiliki sikap dasar yang sama. Dialog, perundingan, menghargai hak-hak asasi
manusia dan hukum internasional menjadi acuan bersama. Dengan demikian,
mereka memandang penting perlunya status quo Jerusalem dipertahankan
sekaligus menghormati resolusi-resolusi PBB terkait. Pengakuan Jerusalem
sebagai ibu kota Israel hanya akan memicu konflik berkepanjangan antara
Israel dan Palestina.
Bagi
Paus Fransiskus, Jerusalem merupakan tempat suci dan rumah bersama bagi kaum
Kristiani, Muslim, dan Yahudi sehingga memiliki ”panggilan khusus” untuk
perdamaian dunia. Diharapkan semua pihak berlaku bijak dan hati-hati dalam
menyikapi isu Jerusalem guna menghindari ketegangan baru di dunia yang sudah
kacau ini. Vatikan menghendaki lahirnya dua negara independen yang diakui
secara internasional sehingga terwujud koeksistensi damai.
Sementara
bagi Presiden Erdogan, sejalan dengan sikap OKI, penyelesaian masalah
Israel-Palestina juga harus didasarkan pada two-state solution. Di samping
itu, pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel dipandang sebagai
pelanggaran terhadap hukum internasional.
Dari
perspektif sejarah, Jerusalem dikuasai Israel setelah perang 1967, tetapi
tidak pernah diakui komunitas internasional. Sejumlah resolusi PBB mendesak
Israel untuk menarik diri dari wilayah yang direbut dalam perang 1967 itu.
Dalam perang enam hari, di samping merebut wilayah Jerusalem Timur yang diduduki
Jordania, Israel mengambil alih wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran
Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai.
Perdamaian Timur Tengah
Kawasan
Timur Tengah memiliki sejarah perang yang panjang. Bencana kemanusiaan akibat
perang sangat memilukan. Dewasa ini terdapat empat titik konflik yang perlu
penanganan: Irak, Suriah, Afghanistan, Yaman, dan Israel-Palestina.
Meskipun
konflik di Irak sedikit mereda, potensi konflik sektarian dan ancaman
terorisme masih ada. Masalah etnis Kurdi adalah salah satunya. Hal yang sama terjadi di Afghanistan.
Sementara proxy war yang melibatkan AS, Rusia, Iran, Arab Saudi, dan Turki
juga terus berlangsung.
Menyikapi
konflik tersebut, Paus Fransiskus berharap munculnya sejumlah prakarsa
perdamaian dengan mengedepankan rasa saling percaya sehingga proses
rebuilding dapat segera dimulai. Kunjungan Paus ke Jordania tahun 2014
merupakan salah satu upaya mendorong perdamaian di Timur Tengah. Perlunya
merawat kebebasan beragama di kawasan ini jadi pesan inti kunjungannya ke Jordania.
Menyangkut
perdamaian di Timur Tengah, Turki dalam posisi sulit. Hal ini mengingat Turki
sedang berusaha mencegah menguatnya pengaruh politik komunitas Kurdi di Irak
dan Suriah dengan tindakan militer. Bagi Turki, Kurdi merupakan ancaman.
Diperkirakan, Paus Fransiskus dalam pertemuan dengan Presiden Erdogan juga
mengungkapkan rasa prihatin atas nasib etnis Kurdi.
Pengungsi
Konflik
yang sedang terjadi di Afghanistan, Suriah, Irak, dan Yaman telah
mengakibatkan gelombang pengungsi besar-besaran. Di Eropa saat ini
diperkirakan terdapat 5,2 juta
pengungsi yang sebagian besar berasal dari negara-negara ini. Sejumlah negara
Eropa, seperti Jerman, Italia, dan Yunani, telah memberikan penampungan
kepada para pengungsi. Sementara Jordania, Lebanon, dan Turki juga melakukan
hal yang sama. Secara khusus, pada Maret 2016, Turki menyelenggarakan
pertemuan para pemimpin Uni Eropa guna mencari solusi penanganan pengungsi.
Masalah
pengungsi itu sendiri pada dasarnya menyangkut tiga dimensi persoalan:
kemanusiaan, hukum, dan keuangan. Bagi negara-negara penerima pengungsi akan
dihadapkan pada dilema antara tanggung jawab kemanusiaan dan risiko politik,
seperti perlawanan dari kaum ultra-kanan yang anti-pendatang.
Menyikapi
ini, baik Paus Fransiskus maupun Erdogan berpandangan perlunya kesediaan
negara-negara menampung pengungsi. Secara khusus, dalam sebuah kesempatan,
Paus meminta semua pihak untuk mengesampingkan retorika dan mulai berbuat
konkret karena panggilan kemanusiaan. Dikatakan, salah satu hak fundamental manusia
adalah freedom of movement.
Dalam
pertemuan 50 menit itu tentu tak semua permasalahan dapat dibahas. Konon, isu
Islamofobia dan xenofobia dibahas sebagai upaya melawan persepsi keliru yang
menyamakan Islam dengan terorisme. Namun, tak jelas, apakah persoalan seperti
perlakuan Turki terhadap kaum minoritas Kristiani dibicarakan. Juga persoalan
klasik: tuduhan genosida masa Kekaisaran Ottoman terhadap penganut Kristen
Armenia antara 1915 dan 1919 yang kontroversial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar