MK
dan Pembenahan Proses Legislasi
Ali Rido ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
FH UII, Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 22 Februari 2018
UNDANG-undang
yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR semakin banyak yang di-judicial review ke
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji konstitusionalitasnya. Ini
sesungguhnya menjadi problem serius dalam proses legislasi di
Indonesia. Semakin banyak produk undang-undang yang dibatalkan oleh MK
dapat diartikan kualitas kinerja parlemen dan eksekutif buruk dalam
membentuk undang-undang.
Selama kurun waktu setahun, yakni periode 17 Agustus 2016 hingga 14 Agustus 2017, MK telah mengeluarkan 121 putusan yang menguji 258 pasal dalam 62 produk undang-undang. Hasilnya, 26 putusan dikabulkan, 38 ditolak, 41 tidak dapat diterima, 5 gugur, dan 11 ditarik kembali. Ke depan penting membuat upaya preventif yang dapat meminimalisasi lahirnya undang-undang yang inkonstitusional Forum Konsultasi pada MK Secara prinsip, forum konsultasi merupakan sebuah mekanisme yang dirancang dengan "melibatkan" cabang kekuasaan kehakiman dalam proses pembentukan undang-undang sehingga undang-undang yang dihasilkan dapat seirama dengan orbit konstitusi. Peran dari cabang kekuasaan kehakiman untuk menilai dan memberi masukan kepada legislatif dalam tahapan pembentukan undang-undang. Hal itu bisa saja dianggap tabu, tapi disadari atau tidak, terobosan yang telah dilakukan MK melalui putusan yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional ataupun conditionally unconstitutional), maka sejatinya ini merupakan bentuk lain turut campurnya lembaga yudikatif dalam praktik legislasi di Indonesia yang kemudian menjadi lazim dan dibenarkan. Padahal, pada mulanya MK didesain sebagai negative legislature (penghapus atau pembatal norma) bukan sebagai positive legislature (pembuat norma). Terlepas dari itu, forum konsultasi coba didesain sedemikian rupa agar cabang kekuasaan kehakiman tidak sampai masuk terlalu dalam atau bahkan mencampuri kekuasaan legislatif. Hal ini penting sebagai upaya meminimalkan kekhawatiran akan hilangnya hakikat legislasi. Atas hal itu, maka penting dilakukan penelaahan guna mencari celah cabang kekuasaan kehakiman yang masuk dalam proses legislasi senafas dengan social context ketatanegaraan Indonesia. Langkah yang perlu dilakukan dengan melihat lebih dulu alur baku legislasi di Indonesia. Merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 setidaknya terdapat lima tahapan dalam melakukan legislasi, yaitu dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan. Dari kelima tahapan itu, jika ditelaah, kemungkinan dilakukan konsultasi ialah pada tahapan ketika rancangan undang-undang telah dilakukan pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, tapi secara resmi belum disahkan (ante) menjadi undang-undang oleh Presiden Dengan meletakkan forum konsultasi pada titik itu, maka mengartikan; 1) tahap pembahasan yang menjadi puncak politisi berdebat atas isi rancangan undang-undang telah usai; 2) porsi forum legislator sejatinya telah terakomodasi dan terdistribusi pada tahapan perencanaan, penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang. Karena itu, dilakukannya forum konsultasi pasca pembahasan atau sebelum rancangan undang-undang disahkan menjadi undang-undang sesungguhnya tidak frontal membajak forum legislator dalam membentuk undang-undang. Penambahan Wewenang MK Pilihan berkonsultasi kepada MK tentu bukan tanpa alasan. Telah menjadi pemahaman bersama MK merupakan lembaga negara tunggal verifikator konstitusionalitas undang-undang. Hanya, jika melihat ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) seolah kewenangannya telah terlimitasi sehingga perlu dilakukan rekayasa yuridis melalui pengaturan atau kebijakan dalam konstitusi, yaitu dengan mengamandemen UUD 1945. Namun, rasanya sulit jika harus dengan amandemen, selain diperlukan syarat kuorum tertentu antara DPR dan MPR juga perlukan momentum dan konsensus di antara keduanya. Sulitnya amandemen konstitusi, diperlukan langkah alternatif dengan cukup menambahkan kewenangannya dalam UU Nomor 24/2003 jo UU Nomor 4/2014 tentang MK. Konsekuensinya, tentu perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang tersebut. Dalam konteks itu, maka legislator terlebih dulu harus menafsirkan maksud Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim mahkamah konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lain tentang mahkamah konstitusi diatur dengan undang-undang. Maksud "ketentuan lain" itulah yang dapat ditafsirkan oleh legislator bahwa MK tidak hanya terbatas pada kewenangan yang saat ini dimiliki, melainkan dapat ditambah kewenangan melalui undang-undang sepanjang terkait kewenangan menjaga konstitusi, termasuk terkait kewenangan menerima konsultasi RUU. Secara faktual, legislator pernah melakukan penafsiran pasal konstitusi yang kemudian dijadikan norma dalam sebuah undang-undang. Dulu saat penyusunan UU Nomor 22/2007 tentang Pemilu, DPR memasukan pilkada sebagai rezim pemilu. Padahal konstruksi Pasal 22E UUD 1945 yang masuk rumpun kepemiluan hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakilnya, serta DPRD. Artinya, legislator telah memperluas makna pemilu dalam Pasal 22E UUD 1945. Konsekuensinya, lembaga yang mengadili perselisihan hasil pilkada pun berpindah yang awalnya di Mahkamah Agung beralih ke MK yang memang diberi wewenang memutus perselisihan hasil pemilu. Akhirnya, perlu digarisbawahi forum konsultasi tidak boleh dilihat dalam konteks menyerobot kewenangan legislasi, tapi harus dilihat dengan jernih sebagai upaya mewujudkan undang-undang yang baik dan konstitusional. Semoga! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar