Jumat, 23 Februari 2018

MK dan Pembenahan Proses Legislasi

MK dan Pembenahan Proses Legislasi
Ali Rido  ;    Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII, Yogyakarta
                                                KORAN SINDO, 22 Februari 2018



                                                           
UNDANG-undang yang di­hasilkan oleh peme­rin­tah dan DPR semakin banyak yang di-judicial review ke Mah­kamah Konstitusi (MK) untuk diuji konsti­tu­si­ona­li­tas­nya. Ini sesungguhnya menjadi problem serius dalam proses legislasi di Indonesia.  Semakin banyak produk undang-undang yang dibatalkan oleh MK dapat diartikan kualitas kinerja par­lemen dan eksekutif buruk da­lam membentuk undang-undang.

Selama kurun waktu setahun, yakni periode 17 Agustus 2016 hingga 14 Agustus 2017, MK te­lah mengeluarkan 121 pu­tus­an yang menguji 258 pasal dalam 62 produk undang-undang. Ha­sil­nya, 26 putusan dikabulkan, 38 ditolak, 41 tidak dapat di­te­rima, 5 gugur, dan 11 ditarik kem­bali. Ke depan penting mem­buat upaya preventif yang dapat me­minimalisasi lahirnya undang-undang yang inkons­ti­tusional

Forum Konsultasi pada MK

Secara prinsip, forum kon­sultasi merupakan sebuah me­kanisme yang dirancang de­ngan "melibatkan" cabang ke­kua­saan kehakiman dalam proses pembentukan undang-un­dang  sehingga undang-undang yang dihasilkan dapat seirama dengan orbit konstitusi. Peran dari cabang kekuasaan ke­ha­kim­an untuk menilai dan mem­beri masukan kepada legislatif dalam tahapan pembentukan undang-undang.

Hal itu bisa saja dianggap tabu, tapi disadari atau tidak, te­ro­bosan yang telah dilakukan MK melalui putusan yang ber­sifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional  atau­pun conditionally uncons­ti­tu­tional),  maka sejatinya ini me­rupakan bentuk lain turut cam­purnya lembaga yudikatif dalam praktik legislasi di Indo­ne­sia yang kemudian menjadi la­zim dan dibenarkan.

Padahal, pada mulanya MK didesain sebagai negative legis­la­ture  (penghapus atau pem­ba­tal norma) bukan sebagai po­si­tive legislature (pembuat nor­ma).

Terlepas dari itu, forum kon­sultasi coba didesain sede­mi­ki­an rupa agar cabang kekuasaan kehakiman tidak sampai masuk terlalu dalam atau bahkan men­campuri kekuasaan legislatif.  Hal ini penting sebagai upaya meminimalkan kekhawatiran akan hilangnya hakikat legis­lasi. Atas hal itu, maka penting dilakukan penelaahan guna men­cari celah cabang kekuasaan kehakiman yang masuk da­lam proses legislasi senafas dengan social context keta­ta­ne­ga­ra­an Indonesia.

Langkah yang perlu dila­ku­kan dengan melihat lebih dulu alur baku legislasi di Indonesia. Merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 setidaknya ter­da­pat lima tahapan dalam me­la­ku­kan legislasi, yaitu dari tahap perencanaan, penyusunan, pem­­bahasan, pengesahan, hing­­ga pengundangan. Dari ke­lima tahapan itu, jika ditelaah, kemungkinan dilakukan kon­sultasi ialah pada tahapan ke­ti­ka rancangan undang-undang te­lah dilakukan pembahasan ber­sama antara DPR dan Pre­siden, tapi secara resmi belum disahkan (ante) menjadi un­dang-undang oleh Presiden

Dengan meletakkan forum kon­sultasi pada titik itu, maka meng­artikan; 1) tahap pem­ba­hasan yang menjadi puncak po­li­ti­si berdebat atas isi rancangan un­dang-undang telah usai; 2) porsi forum legislator sejatinya telah terakomodasi dan ter­dis­tri­busi pada tahapan peren­ca­naan, penyusunan dan pem­ba­hasan ran­cang­an undang-un­dang. Ka­re­na itu, dilakukannya forum kon­sul­ta­si pasca pem­ba­hasan atau sebe­lum rancangan undang-undang disahkan men­jadi un­dang-un­dang sesungguhnya ti­dak frontal membajak forum le­gis­lator dalam mem­ben­tuk un­dang-undang.


Penambahan Wewenang MK

Pilihan berkonsultasi ke­pa­da MK tentu bukan tanpa alas­an. Telah menjadi pemahaman bersama MK merupakan lem­ba­ga negara tunggal verifikator konstitusionalitas undang-undang. Ha­nya, jika melihat ket­entuan da­lam Pasal 24C ayat (1) dan (2) se­olah kewe­nang­an­nya telah ter­limitasi sehingga perlu dila­ku­kan rekayasa yuri­dis melalui pe­nga­turan atau kebijakan dalam konstitusi, yaitu dengan meng­amandemen UUD 1945. Na­mun, rasanya su­lit jika harus de­ngan aman­de­men, selain di­per­lukan syarat kuorum tertentu antara DPR dan MPR juga per­lu­kan mo­men­tum dan konsensus di anta­ra keduanya.

Sulitnya amandemen kons­ti­tusi, diperlukan langkah alter­natif dengan cukup me­nam­bah­kan kewenangannya dalam UU Nomor 24/2003 jo  UU Nomor 4/2014  tentang MK. Kon­se­kuen­sinya, tentu perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang tersebut. Da­lam konteks itu, maka le­gis­lator terlebih dulu harus me­na­f­sir­kan maksud Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 yang me­nye­but­kan bahwa pengang­kat­an dan pem­berhentian hakim mah­ka­mah konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lain tentang mah­ka­mah konstitusi diatur de­ngan undang-undang.

Mak­sud "ke­­ten­tuan lain" itulah yang dapat ditafsirkan oleh legislator bahwa MK tidak hanya terbatas pada kewenangan yang saat ini dimiliki, melainkan dapat di­tambah kewenangan melalui undang-undang sepanjang ter­k­ait kewenangan menjaga kons­titusi, termasuk terkait kewenang­an menerima kon­sul­tasi RUU.

Secara faktual, le­gis­lator pernah melakukan pe­naf­siran pasal konstitusi yang ke­mudian dijadikan norma dalam sebuah undang-undang. Dulu saat pe­nyu­sunan UU Nomor 22/2007 tentang Pemilu, DPR me­ma­suk­an pilkada se­ba­gai rezim pemilu.

Padahal konstruksi Pasal 22E UUD 1945 yang masuk rum­pun kepemiluan hanya un­tuk memi­lih anggota DPR, DPD, presiden dan wakilnya, serta DPRD. Arti­nya, legislator telah memperluas makna pemilu da­lam Pasal 22E UUD 1945. Kon­se­kuensinya, lem­ba­ga yang meng­adili perse­li­sih­an hasil pil­kada pun berpindah yang awal­nya di Mahkamah Agung ber­alih ke MK yang me­mang diberi wewenang me­mutus per­se­lisihan hasil pemilu.

Akhirnya, perlu digaris­ba­wahi forum konsultasi tidak bo­leh dilihat dalam konteks me­nye­robot kewenangan legislasi, tapi harus dilihat dengan jernih sebagai upaya mewujudkan undang-undang yang baik dan kons­titusional. Semoga! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar