Tantangan
Pers "Jaman Now"
Meutya Hafid ; Wakil Ketua Komisi I DPR, Dapil
Sumut 1
|
DETIKNEWS,
09 Februari
2018
Masih
terngiang dalam ingatan, hanya berselang dua hari setelah rakyat Indonesia
bersuka cita merayakan 72 tahun kemerdekaannya dengan cara yang agak berbeda
dari tahun-tahun sebelumnya karena warna-warni pakaian adat dari seantero
negeri menghiasi Istana Merdeka manakala sang saka merah putih dikibarkan,
simbol negara kebanggaan kita harus mendapatkan perlakuan tak menyenangkan
karena perkara yang sangat sulit dimengerti, yakni salah cetak.
Ya,
warna bendera kita terbalik posisinya pada materi buku panduan resmi Sea
Games ke-29 yang dipublikasikan oleh Malaysian Organizing Committee (MASOC).
Dari seluruh negara peserta, hanya bendera Indonesia yang mengalami salah
cetak. Buku tersebutlah yang kemudian dibagikan kepada seluruh kontingen dan
tamu yang hadir pada acara pembukaan di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur.
Hal
itu sungguh telah melukai rasa persahabatan Indonesia-Malaysia yang sudah
terjalin selama 60 tahun lamanya. Terlebih Malaysia adalah tetangga paling
dekat dan serumpun.
Namun,
tak perlu waktu lama, meski terpisah ruang dan waktu, hanya berselang dua jam
setelah cuitan Menpora atas insiden ini, rakyat Indonesia beramai-ramai
menunjukkan rasa kekecewaannya dengan berita tersebut. Satu suara
menghentakkan dunia maya dengan menjadikan tagar #ShameOnYouMalaysia sebagai
trending topic nomor wahid di jagat Twitter. Pemerintah Malaysia pun segera
menyampaikan permohonan maafnya secara resmi.
Peristiwa
tadi menjadi satu contoh saja, bagaimana sebuah peristiwa dengan ultra-cepat
diberitakan luas hanya melalui sebuah cuitan. Kemudian, dengan satu cuitan
tersebut, tanggapan jutaan orang dapat dengan segera juga lahir ke permukaan
dan bahkan mempengaruhi dinamika hubungan internasional. Revolusi digital
telah menciptakan perubahan yang masif.
Efek Negatif
Sebaliknya,
bayangkan jika ada sebuah cuitan palsu dari sebuah akun palsu yang sengaja
diviralkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Faktanya tak semua
cuitan atau pun pemberitaan yang viral adalah benar, terlebih jika itu
terkait dengan isu politik. Kemenkominfo merilis, pada Januari 2017 yang
bersinggungan dengan momentum Pilkada DKI Jakarta, terdapat aduan tertinggi
mengenai konten hoaks di dunia maya yang mencapai 5.070 aduan. Secara
keseluruhan pun, sepanjang tahun 2017 angka aduan akan konten negatif dan
hoaks cukup mencengangkan karena naik 900%, dari 6.357 aduan sepanjang 2016
menjadi 60.135 aduan. Hal ini harus menjadi perhatian penting, terlebih tahun
2018 ini adalah tahun politik dan akan ada pilkada serentak di 171 daerah.
Jumlah
tadi bisa terus bertambah dan sangat berpotensi menciptakan keresahan sosial
(social unrest) jika tak ditanggulangi dengan serius, apalagi penetrasi
internet masih terus melaju dengan sangat cepat. Dari hanya 9,4% penduduk
pada 2006, dalam satu dekade telah meningkat menjadi 51,7% (APJII). Angka
tersebut berarti setara dengan 500% lebih. Parahnya lagi, hoaks semakin
meluas dan menjurus pada kebencian dikarenakan beberapa pihak justru
menjadikannya sebagai komoditi bisnis pemberitaan (e-hate), seperti sindikat
Saracen yang belum lama terungkap.
Kekuatan Media Konvensional
Riset
Nielsen Consumer & Media View pada kuartal III/2017 menunjukkan bahwa
media-media konvensional masih tetap menjadi andalan publik di tengah-tengah
melesatnya penetrasi digital. Baik itu koran, radio, maupun televisi.
Koran,
meski hanya memiliki daya penetrasi pada kurang dari 8% penduduk Indonesia,
nyatanya merupakan sumber utama bagi mereka yang berasal dari kalangan yang
lebih affluent. Meski frekuensi mereka menggunakan internet mencapai 86%,
elemen trust koran tetap lebih besar karena kebutuhan akan informasi yang akurat
untuk sumber referensi dapat dipenuhi lantaran analisis yang sangat detail
hanya bisa ditemukan di media cetak.
Radio,
dengan tingkat penetrasinya yang berkisar pada angka 37% dengan lama waktu
mendengar rata-rata 129 menit per hari, memiliki daya tarik berbeda karena
programnya dan penyiarnya yang memiliki kekhasan tersendiri di antara
lantunan musik yang diputar. Pendengar radio pun cenderung lebih percaya
dengan iklan yang disiarkan oleh radio (54%) daripada video online (48%).
Televisi
sendiri masih bertengger sebagai pemuncak karena penetrasinya masih yang
tertinggi di antara seluruh media, mencapai 96%. Terbatasnya infrastruktur
dan pengetahuan teknologi terkini yang masih rendah pada sebagian lapisan
masyarakat serta kenyamanan dengan konten yang telah disediakan oleh TV
konvensional merupakan beberapa alasan utama yang membuatnya tetap paling
terjangkau.
Menengok
pada data-data tersebut, maka sebetulnya kekuatan media-media konvensional
masih sangat besar meski arus digital juga terus menguat. Adapun agar dapat
menyesuaikan diri dengan era digital ini, maka media-media konvensional
memang sudah selayaknya juga menambah/menguatkan platform-nya di ranah online
agar dapat mengimbangi dinamika yang sedang dan akan berlangsung.
Wartawan Garda Terdepan
Tingkat
kepercayaan terhadap koran, durasi radio, serta penetrasi televisi
sesungguhnya dapat menjadi kombinasi yang ampuh untuk menghadang efek negatif
yang muncul dari dunia maya. Hoaks dapat dikunci mati jika wartawan-wartawan
media konvensional bersatu padu menangkalnya.
Saat
ini, meski media-media online terus lahir dan telah menembus 40.000-an media,
namun penguatan peran media-media konvensional yang telah merambah platform
online sangatlah diperlukan. Sebab, masih banyak dari media online yang ada
belum mampu berperan dengan baik dalam memberikan informasi yang jernih dan
menjernihkan. Masih sangat sedikitnya jumlah media online yang belum lolos
verifikasi dewan pers juga menjadi salah satu indikator.
Untuk
itu, pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya mengingatkan kembali kepada
semua elemen pers agar dapat mendorong pelaksanaan ratifikasi Piagam
Palembang (2010) semaksimal mungkin, terutama pada 4 hal: penegakan kode etik
jurnalistik pada seluruh kegiatan jurnalistiknya, kepatuhan pada standar
perusahaan pers, standar perlindungan wartawan, dan standar kompetensi
wartawan.
Dengan
mendorong keempat hal tersebut, maka saya meyakini bahwa wartawan akan
menjadi garda terdepan dalam menangkal berbagai efek negatif revolusi
digital.
Pers Hadirkan Persatuan
Pada
akhirnya, kemerdekaan pers dan kecepatan laju digital saat ini patut kita
syukuri, hal ini merupakan sarana hakiki setiap warga negara untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi guna meningkatkan dan mengembangkan
mutu kehidupan dan penghidupan manusia. Kebebasan pers memang bukan lagi
persoalan, namun sampai kapan pun pers tetaplah harus menjadi alat
perjuangan. Jika dahulu pers berperan dalam menyatukan bangsa menentang
penjajahan, maka hari ini pers harus berhadapan dengan dirinya sendiri dalam
menahan lajunya, berkomitmen penuh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
menegakkan kebenaran demi hadirnya persatuan.
Pers
jaman now adalah pengawal demokrasi dan pembangunan. Untuk itu pers harus
semakin terbuka dan dewasa, terutama dalam menerima kritik, khususnya elemen
televisi sebagai pemegang tampuk penetrasi tertinggi saat ini. Apa yang pers
sajikan, sudah tentu akan mempengaruhi masyarakat luas. Jangan sampai pers
kita hanyut dalam sajian pemberitaan yang justru menguatkan apa yang menjadi
efek negatif dari revolusi digital dan menopang cacatnya demokrasi (flaw
democracy). Untuk itu juga menjadi penting agar pers tak terkungkung dalam
kepentingan yang sempit dan menjadi alat propaganda. Pemimpin pers yang
berani dan berintegritas tinggi merupakan sebuah keniscayaan.
Tahun
2018 telah berjalan, suhu politik-pun mulai meningkat. Inilah momentum
terbaik pers jaman now menjelang dua dasawarsa reformasi untuk membuktikan
diri sebagai bagian penting dalam proses politik demokrasi, ikut mengawal
ragam ekspresi aspirasi politik agar tetap damai dan beradab. Dengan memegang
teguh prinsip cover both side dan tekad untuk menghadirkan persatuan melalui
berita yang benar dan tak membodohi, maka saya percaya revolusi digital ini
justru dapat dimanfaatkan dengan baik untuk kebaikan.
Selamat Hari Pers Nasional! Maju terus
pers Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar