Islam
Nusantara dan Akulturasi Agama-Budaya
Syahirul Alim ; Alumnus Magister Ilmu Politik UI;
Penulis lepas;
Pemerhati Masalah
Sosial-Politik-Agama; Tinggal di Tangerang Selatan
|
DETIKNEWS,
09 Februari
2018
Watak
agama sesungguhnya adalah sebagai perekat solidaritas sosial karena
nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan di dalamnya. Sudah tentu, agama
berasal dari tradisi yang dimodifikasi oleh para pembawa pertamanya
disesuaikan dengan apa yang dia yakini berasal dari perintah Tuhan. Seorang
pembawa ajaran agama (nabi) mulanya menganggap agama adalah persoalan
individual, karena jelas apa yang dimaksud oleh perintah Tuhan hanya dipahami
dan dijalankan oleh seseorang yang dipilih-Nya untuk menjadi penyebar agama
kepada masyarakatnya.
Kemunculan
sebuah "agama baru" dalam masyarakat tidak mungkin menjauhkan diri
dari beragam tradisi atau nilai-nilai kemasyarakatan yang dianut. Agama
selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan berbagai tradisi yang ada dan bukan
memberangusnya sama sekali. Dengan demikian, agama adalah cerminan dari
tradisi masyarakat itu sendiri dan secara lebih sederhana, agama adalah
warisan tradisi bukan sebaliknya.
Islam
sebagai agama setelah dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama baru dibanding
agama-agama kuno lainnya, seperti Nasrani atau Yahudi. Islam lahir dari
sebuah kondisi kebodohan (jahiliyah) bangsa Arab, dan hampir-hampir waktu itu
bangsa Arab tidak mempunyai peradaban sama sekali. Situasi kekacauan
masyarakat yang barbar, nomaden, penuh dengan kekerasan, tak bermoral adalah
ciri utama bangsa Arab sebelum Islam, kemudian mendorong seseorang bernama
Muhammad mulai peduli untuk memperbaiki "kerusakan total"
lingkungan masyarakatnya.
Muhammad
pada awalnya mengisi hari-hari kehidupannya dengan ber-tahannuts atau berada
dalam ruang-ruang keheningan yang sepi dari hiruk-pikuk masyarakat, berdoa
dan memohon kepada Tuhan agar kondisi carut-marut bangsanya dapat segera
terselesaikan. Muhammad seringkali menyepi di sebuah bukit yang bernama Jabal
Nur, beberapa kilometer dari pusat kota Mekkah untuk sekadar menjauhi
keramaian masyarakat Arab.
Kehidupan
Muhammad dalam keheningan jiwanya,senantiasa dituntun oleh warisan tradisi
nenek moyangnya, Nabi Ismail yang secara turun temurun menganut agama
bapaknya, Ibrahim, yakni agama ketauhidan (millah) yang hanif. Seluruh
warisan tradisi yang berasal dari Ibrahim, seperti berkhitan, berhaji ke
baitullah (Mekkah), dan berpuasa masih tetap dijalankan Muhammad yang
mentradisi dalam keluarga dan masyarakatnya.
Masa
Nabi Muhammad sudah dikenal istilah "agama" atau dalam bahasa Arab
"ad-diin", dan seluruh masyarakat Arab berbaur dalam nuansa
perbedaan keyakinan dan agama, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat tradisi di
antara mereka. Agama tetap dianggap sebagai warisan dari tradisi nenek moyang
mereka yang tetap dipegang-teguh tanpa adanya paksaan atau tekanan dari
kelompok-kelompok agama lainnya. Oleh karena itu, seorang ahli bahasa dan
antropolog Arab, Ibn al-Mandzur (1232 M) menyebut bahwa istilah "ad-diin"
yang berarti "agama" mengacu pada "suatu adat atau tradisi
yang diikuti" (ad-ddinu huwa al-'aadatu wa as-sya'n).
Agama
tentu saja berimplikasi pada adanya ketaatan setiap pemeluknya untuk tetap
menjaga dan melestarikan tradisinya yang baik, dan meninggalkan tradisi
lainnya yang dianggap buruk. Tradisi-tradisi sebelum Islam, seperti praktik
khitan, haji, berpuasa, pernikahan, soal pembagian warisan dan lainnya
merupakan peninggalan tradisi Ibrahim yang tetap dijunjung tinggi dalam adat
masyarakat Arab, termasuk bagian tradisi keagamaan yang dijalankan oleh
Muhammad pra-Islam. Agama dengan demikian adalah "warisan" dari
tradisi-tradisi masyarakat atau kepercayaan sebelumnya yang saling
melengkapi, dan tentu saja agama berkecenderungan untuk memperbaiki setiap
"penyimpangan" sebuah tradisi.
Agama
dan tradisi atau budaya kemudian menjadi pola hidup yang "bernilai"
di tengah masyarakat karena mampu merekatkan kehidupan sosial secara lebih
harmonis. Kita tentu sadar dan tahu bahwa sejarah bangsa Indonesia sejak dulu
tidak pernah ada sama sekali pertentangan soal keberagamaan yang dihadapkan
dengan tradisi. Agama tidak pernah sama sekali menjadi sekat dalam kehidupan
sosial, tetapi agama justru mampu menjadi perekat tradisi yang
"berserakan". Masyarakat beragama tentu saling menghormati dan
menghargai perbedaan tradisi yang ada tanpa harus mempertentangkannya.
Masyarakat
tidak perlu belajar secara mendalam soal agama dari kitab-kitab keagamaan
yang tersedia, mereka cukup mendengar dan mentaati pitutur para kiai kampung
atau ulama setempat tentang bagaimana bersosialisasi secara baik dengan
masyarakat. Cermin masyarakat terdahulu adalah soal ketaatan mereka terhadap
tradisi dan agama, sehingga beragama benar-benar dipahami sebagai keyakinan
yang melekat secara pribadi ke dalam hati masing-masing pemeluknya, tidak
diungkapkan menjadi "perbedaan" tatkala berada dalam lingkungan
masyarakat.
Hal
itu selaras bahwa agama pada awalnya adalah masalah individual, seperti Islam
yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad bercorak
"individualistik". Islam secara individu lebih dahulu dipahami dan
diaplikasikan oleh diri Nabi sendiri, sebelum kemudian menjadi bersifat
sosial, ketika agama itu menyebar dan diyakini menjadi "tradisi"
oleh sebagian masyarakat. Persoalan baru muncul justru ketika agama
bersentuhan dengan realitas sosial, karena persoalan yang tadinya individual
kini berubah menjadi entitas sosial sehingga butuh sebuah kebijaksanaan agar
agama tetap berfungsi menjadi perekat dan penguat ikatan-ikatan sosial.
Menarik
ketika kemudian keberislaman di Indonesia terkait erat dengan tradisi dan
budaya masyarakatnya, sehingga muncul istilah "Islam Nusantara"
yang dipopulerkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Tidak hanya Islam Nusantara
sebenarnya, bahwa Islam Arab pun terkait dengan tradisi masyarakat Arab yang
diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim yang secara turun temurun diwariskan hingga
kepada Nabi Muhammad dan akhirnya sampai kepada kita saat ini.
Mempertentangkan agama dengan warisan tradisi bisa jadi ahistoris, terlebih
menganggap bahwa Islam bukanlah "agama turunan" yang dibawa oleh
orangtua dan leluhur kita.
Bukankah
Nabi Muhammad juga sama, mengikuti agama Ibrahim dan tidak pernah
mempersoalkannya? Bahkan Nabi Muhammad bangga dengan agama yang diwariskan
Ibrahim dan menolak ajakan untuk mengikuti agama Yahudi dan Nasrani yang
ditawarkan kepadanya (Lihat misalnya, Surat Al-Baqarah: 135).
Saya
muslim, dan saya beragama karena warisan dari orangtua saya, dan
terus-menerus dari keturunan yang di atasnya hingga sampai kepada Nabi
Muhammad, dan puncak tertinggi adalah agama warisan dari Nabi Ibrahim. Agama
dan tradisi atau budaya jelas tak mungkin dipisahkan karena selalu
"menyesuaikan", dan berakulturasi dalam ruang hidup kemanusiaan.
Hampir dipastikan seluruh agama bermuara pada nenek moyang yang sama, dan
masing-masing diyakini sebagai kebenaran oleh para pemeluknya.
Tuhan
pun tidak pernah membedakan manusia karena agama, justru yang ada adalah
perbedaan kesukuan, kekelompokan dan kebangsaan sehingga manusia dapat saling
mengenal (ta'aruf). Agama bukan menjadi "sekat" dalam kehidupan
sosial, apalagi keluar dari "sunnatullah"-nya, sebagai perekat dan
pemersatu realitas sosial secara turun-temurun.
Memang,
istilah "Islam Nusantara" yang digaungkan NU seakan melahirkan
"konflik horiziontal", padahal sesungguhnya NU sedang
memperkenalkan bahwa agama itu tak bisa lepas dari unsur tradisi dan budaya
sebagaimana diungkapkan sejararawan Arab, Ibnul Mandzur. Islam Nusantara
tidak berarti "membedakan" antara Islam Arab atau bukan Arab,
tetapi lebih diarahkan untuk lebih memahami, bahwa Islam yang hadir di
Nusantara tak pernah "mempertentangkan" antara agama dan tradisi
atau budaya masyarakat setempat, karena agama dan budaya pada awalnya satu
entitas, bukan terpisah.
Bahkan,
jika dalam konteks kesejarahan yang lebih luas, tradisi dan budaya lebih
dahulu ada dalam masyarakat, jauh sebelum agama itu datang. Secara
fenomenologis, jahiliyah mendahului Islam, walaupun secara substansial, Islam
mendahuluinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar