Dari
Tenda Angkringan yang Sempit dan Tempias
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah; Aktif sebagai Periset dan Tim Media Kreatif
Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan
kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
09 Februari
2018
Sebuah
kota bernama Yogyakarta diabadikan oleh penyair Joko Pinurbo (Jokpin) dalam
tiga kata: rindu, pulang dan angkringan. Jokpin benar. Tetapi, suara-suara
dari angkringan seringkali tidak bernada romantik seperti manisnya syair.
Dari tenda angkringan yang sempit dan tempias, rerasan tentang para pengutang
yang pergi tanpa bayar lebih sering jadi objek pembicaraan.
"Yu
Nah utang makan seminggu di sini 24 ribu tidak kutagih. Biar sajalah. Biar
sadar sendiri."
Penjual
angkringan mengadu kepada seorang tukang becak yang juga ngutang
"udud" di warungnya. Yang dimaksud Yu Nah itu konon seorang janda
dengan penghasilan tak menentu yang berasal dari rupa-rupa pekerjaan seperti
buruh laundry, memijat, dan lainnya. Yu Nah punya dua anak yang masih
bersekolah.
Gerimis
rapat. Tenda angkringan yang sempit tetap hangat bersama empat ceret berisi
rebusan air yang sewaktu-waktu dituang untuk membuat teh hangat, jeruk hangat
dan krampul hangat. Minuman jenis terakhir itu nikmat sekali, terbuat dari
teh tubruk yang dicampur dengan perasan air jeruk. Orang kota biasa menyebut
dengan lemon tea, tapi lemon tea sudah pasti hanya tersaji di kedai, kafe
atau restauran, bukan pada sebuah gerobak dengan atap terpal di pinggir jalan
atau di sudut jalanan kampung dengan penerangan lampu minyak ketika malam
menjelang.
Ketika
mengenang angkringan, Jokpin barangkali sedang mengenang teman-temannya. Para
penulis dan penyair yang bersama dengannya memasak kata, berita dan fenomena
dalam Basis, Gatra atau Sadhar. Tetapi, angkringan sesungguhnya juga milik
para sales yang kejar setoran, tukang ojek pangkalan, pegawai kantor dan
pegawai pabrikan dengan upahan rendah, pekerja seks komersial (PSK) dan
pencopet. Soal PSK, tentu bisa kau jumpai mereka di angkringan-angkringan
yang ada di sudut lokalisasi. Dari profesi terakhir itu, kau bisa dengan
mudah mendengar rencana konspirasi mereka di angkringan-angkringan seputaran
kampus atau tempat wisata. Mereka sungguh berbicara dengan blaka suta,
blak-blakan alias tanpa malu-malu ketika bercerita tentang pengalamannya
terpeleset ketika mencuri laptop di sebuah kosan atau berbagi cerita perihal
keluar-masuk bui karena aktivitasnya.
Namun,
yang ngangeni dari angkringan sesungguhnya adalah sego kucing dan segala
macam penganan pelengkapnya. Sego isi sambel bandeng, sambel teri, dan orek
tempe adalah primadona, bersama tempe mendoan, tahu isi, sate telor sunduk,
pisang goreng, dan kerupuk rantang. Yogyakarta dan Surakarta, dua kota yang
justru mengapit Cawas, Klaten sebagai kota yang menurut cerita gethok tular
menjadi sejarah asal muasal angkringan adalah potret unik. Di kota ini,
manusia di angkringan tidak bisa ditebak latar belakang sosialnya. Manusia
dengan penghasilan 15 ribu rupiah per hari hingga mereka yang menghasilkan
puluhan juta dalam hitungan jam, memiliki kualitas perut yang sama dalam
mencerna hidangan yang murah meriah. Dari tenda yang suk-sukan ini, manusia
disatukan dalam bahasa kesederhanaan.
Sementara
itu, di televisi, narasi orang-orang kelas bawah disajikan dengan begitu
memuakkan. Orang miskin di televisi adalah objek tayangan reality show dengan
konsep pelunasan utang, pemberian hadiah atau tukar nasib. Untuk rating,
mereka dijual dengan tayangan mengumbar kesedihan yang membangkitkan rasa
emosional dan iba. Tak jarang, mereka juga dijual sebab wajah ndeso,
keluguan, kelucuan dan kekonyolannya. Potret wajah orang miskin di televisi
adalah kepedulian yang naif pada realitas ketimpangan ekonomi yang dihasilkan
oleh tindak korupsi, penyalahgunaan wewenang dan hukum yang tidak berpihak.
Wajah
orang miskin di angkringan adalah wajah nyata dan suara-suara tentang hidup
yang berjuang. Perihal utang makan yang seminggu tak dibayar adalah kearifan
khas masyarakat kita yang jiwanya teruji lapang dan besar. Dulu sekali,
angkringan malah tidak tersaji pada gerobak. Hidangan Istimewa Kampung itu
dipikul dengan angkring, semacam pikulan yang dikombinasikan dari bahan kayu,
rotan dan bambu. Penjual yang berkeliling itu melahirkan tradisi mengobrol,
melanggan, hingga persaudaraan.
Belakangan
ini, kata angkringan mulai dikooptasi dalam wajah baru. Ia tak lagi dipikul
angkring atau berupa gerobak beratap tenda terpal. Angkringan masa kini
adalah angkringan yang bertempat pada kedai, kafe bahkan resto eksklusif.
Sajiannya memang masih berupa ragam sego kucing, berbagai gorengan dan
minuman wedangan. Akan tetapi, harganya tentu saja tidak dapat dijangkau oleh
tukang becak, buruh pabrikan dan tukang copet. Beragam merek mobil mewah pun
memadati halaman parkir angkringan wajah baru ini. Makanan kampung
rupa-rupanya sudah naik kelas. Aplikasi makanan pesan-antar memungkinkan
sajian dapat dipesan cukup lewat gawai, sehingga tradisi berbincang pun
tereduksi dengan banal.
Di
Jakarta, hidangan-hidangan kampung ini memang sering laris sebab mewakili
sebuah rasa rindu pulang dibanding substansinya sebagai makanan sederhana.
Sehingga kehadiran angkringan modern di Jakarta pun ramai dikunjungi
pelanggan.
Tenda
angkringan yang sempit dan tempias di sudut jalan kampung sesungguhnya adalah
wajah sosial sebuah masyarakat. Betapa di sudut-sudut jalan kampung ada
orang-orang kecil yang tak pernah merengek meminta keadilan meskipun hidup
terhimpit kesulitan. Modal sosial mereka bukanlah kekayaan, tetapi kehangatan
percakapan sepanjang hari dan kehangatan persaudaraan. Mereka hidup terhormat
dengan cara menyenangkan, meskipun sejarah seringkali luput
mendokumentasikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar