Semiotika
Tahun Politik
Acep Iwan Saidi ; Pembelajar Semiotika
|
KOMPAS,
08 Februari
2018
Tahun politik adalah
penamaan untuk masa ketika pemilihan pemimpin eksekutif—presiden dan kepala
daerah—serta anggota legislatif dilakukan.
Istilah ini mulai dikenal ketika Pemilihan Presiden 2014. Kini, empat
tahun kemudian, penamaan itu muncul kembali terkait pemilihan kepala daerah
tingkat I dan II yang serentak dilakukan pada 2018. Karena pemilihan presiden
dan anggota legislatif akan dilaksanakan setahun kemudian (2019), masa tahun
politik pun menjadi lebih lama (dua tahun).
Sekilas penamaan tahun
politik untuk peristiwa politik di atas tidak bersoal. Secara linguistik
tentu dengan mudah dapat segera dipahami. Dalam hukum bahasa
”Diterangkan-Menerangkan” (DM), kata politik menerangkan situasi yang terjadi
pada kata tahun. Berpatokan pada relasi sintagmatik-paradigmatik bahasa
sausurian, pada poros paradigmatik frasa tahun politik dapat bertukar dengan
tahun ”pemilihan pemimpin”, ”pengurusan negara”, ”perebutan kekuasaan”, dan
lain-lain yang berkaitan dengan aktivitas politik. Aktivitas politik tentu
saja dilakukan oleh para politisi, bukan oleh subyek lain. Jika pun seseorang
tak berlatar ilmu politik, saat ia melakukan aktivitas politik dalam lembaga
politik dan birokrasi, ia bisa disebut politisi juga.
Politik
minus rakyat
Namun, bahasa tentu tak
hanya dapat dikaji sebagai relasi kata pada bentang struktur belaka. Bahasa
merupakan sebuah ”maujud” filosofis, psikologis, kultural, dan lain-lain yang
kompleks. Saussure (1990), yang notabene sebagai pelopor linguistik
struktural, juga menyebutkan bahwa bahasa adalah tanda yang paling sempurna.
Bahasa adalah rumah bagi eksistensi (being), kata Heidegger. Bahasa itu
cermin bangsa, ”jika hendak mengenal orang berbangsa/lihat kepada budi
bahasa”, demikian Pasal Kelima Gurindam Dua Belas karya
Raja Ali Haji.
Dalam ruang lingkup bahasa
yang kompleks itulah terjelaskan masalahnya. Tampak bahwa secara semiotik
tahun politik menjadi frasa yang
menegasi kompleksitas itu. Merujuk kepada Peirce, frasa tahun politik telah
menjadi indeks yang menunjukkan bahwa realitas politik di negeri ini telah
steril dari persoalan-persoalan di seputar dirinya. Dunia politik menjadi
semacam ”institusi otonom” yang berdiri sendiri. Tahun politik, di situ,
menjadi semacam istilah yang terkonstruksi dari cara pandang ”teknik politik”
belaka.
Situasi demikian sekaligus
menjelaskan bahwa frase tahun politik tidak lahir dari imajinasi kerakyatan.
Dengan kata lain, ketika aktivitas politik sedang dirumuskan, rakyat tidak
hadir dalam ingatan. Rakyat hanya ditempatkan sebagai kerumunan massa yang
akan menonton sebuah kontes ketika calon pemimpin yang dikirim partai politik
tadi menjadi kontestannya. Dalam pola pikir ini jelas rakyat tidak perlu
dilibatkan dari awal. Rakyat adalah para pembeli barang jadi yang instan,
pemilih yang dipilihkan. Rakyat dianggap tak perlu tahu-menahu soal proses.
Yang penting dilakukan adalah bagaimana memoles para kontestan supaya tampak
seksi di atas panggung.
Faktanya, sejak awal
(bahkan sebelum) memasuki tahun politik, para politisi telah supersibuk
melakukan berbagai manuver politik. Partai politik sibuk mencari dan
memasang-masangkan kadernya untuk menjadi penguasa di daerah (gubernur,
bupati, wali kota). Ada juga partai politik yang mencaplok kader partai lain,
yang menarik-ulur koalisi, hingga yang memberlakukan ”mahar” untuk kader atau
siapa saja yang berniat menjadi bakal calon. Dengan ini semua, dunia politik
pun menjadi semacam ”bursa saham”. Aktivitas politik berubah jadi transaksi
bisnis.
Itulah kekeliruan fatal
yang dilakukan para politisi terhadap situasi zaman now yang pembacaannya
memang membutuhkan kecerdasan tersendiri. Di satu sisi, misalnya, zaman ini
adalah era penampakan yang dengan begitu tontonan menjadi sangat penting.
Mengikuti logika ini, apa yang disebut Allan Goldstein sebagai the politics of show menjadi
niscaya. Dalam terminologi ini, politik dan politisi memang merupakan sebuah
”panggung modern” yang berjarak dari penontonnya (rakyat). Di atas panggung,
para pemain jelas harus memakai ”gaun pentas” yang mampu menyihir penonton.
Gaun itu tak lain selubung citra.
Namun, di sisi lain, zaman
ini juga zaman penuturan (mulut) dan pendengaran (telinga), era gosip dan
takhayul berkembang dalam bentuk baru. Inilah era tradisi lisan digital, yang
pada esai di harian ini pernah saya sebut sebagai tradisi lisan tersier
(Kompas, 2/1/2015). Mirip dengan yang terjadi dalam tradisi lisan primer
(Ong, 2004), tradisi lisan tersier menghapus batas antara penonton dan pemain
dalam peristiwa pertunjukan. Beranalogi ke sini, politisi sama sekali tidak
bisa mengambil jarak dari rakyat sebagai konstituennya. Barang siapa
berjarak, ia tidak akan ditonton alias ditinggalkan atau bahkan diusir.
Tinta
hitam demokrasi
Jika fenomena tersebut
dipahami, niscaya terma yang muncul bukanlah tahun politik, melainkan tahun
demokrasi (Pancasila) atau bahkan tahun rakyat. Dalam tahun rakyat jelas
rakyat diposisikan sebagai pelibat pertunjukan atau subyek panggung. Sebagai
subyek panggung, rakyat menjadi pelaku sekaligus penikmat pesta demokrasi
(Pancasila). Dalam berbagai bentuk, rakyat terlibat sejak partai politik
melakukan pencarian bakal calon. Demokrasi sesungguhnya tidak lebih dari
pementasan teater, yaitu teater rakyat. Di dalam teater rakyat, pemain dan
penonton mengucapkan mantra sekaligus merasakan dampak mantra tersebut
bersama-sama.
Akan tetapi, kegagapan
para politisi dalam menyikapi situasi zaman demikian, sekali lagi, membuat
partai politik menjadi lembaga yang justru melangkah ke lorong yang terpisah
dengan rakyat. Alih-alih melibatkan rakyat, di dalam tubuh institusinya
sendiri terjadi ironi demokrasi (Pancasila). Lihatlah, untuk menentukan calon
bupati jauh di pelosok negeri saja, keputusannya terletak di tangan pengurus
pusat di Jakarta. Para pengurus di tingkat daerah (DPD) dan cabang (DPC)
hanya berfungsi sebagai sekrup dalam mesin partai. Lebih parah lagi,
keputusan tersebut pada akhirnya juga bertumpu pada pucuk pemimpin atau
segelintir elite yang dominan. Sedang terjadi feodalisme baru dalam tubuh
partai politik. Dan, ini berarti bahwa demokrasi (Pancasila) sedang berada
pada titik nadir di dalam institusinya sendiri.
Akibatnya, sebagian besar
rakyat pun bersikap apatis. Rakyat bukan hanya tak mau berpartisipasi, bahkan
membincangkannya pun sudah enggan. Jika ada pembicaraan mengenainya, yang
muncul nyaris selalu merupakan sisi negatif. Di media sosial, sebagaimana
kita tahu belaka, obrolan tentang partai politik khususnya dan dunia politik
pada umumnya selalu tidak pernah lepas dari sinisme, bahkan kumpulan cacian
yang mengerikan.
Pada saatnya nanti rakyat
memang akan melaksanakan kewajibannya sebagai pemilih, sebagai bukti bahwa sejauh
ini rakyat masih setia sebagai warga negara yang baik. Dengan kesabaran
rakyat akan menyelinap ke balik bilik suara, mencoblos, dan menghitamkan
jarinya di stoples tinta. Tragis memang karena ia hanya akan pulang dengan
jari yang hitam itu. Selalu begitu setiap pemilihan pemimpin. Jari hitam
menjadi semacam penanda bahwa politik dan demokrasi Indonesia akan tetap
suram. Mungkin hingga akhir. Paling tidak, sejauh ini belum tebersit tanda,
sekecil apa pun, bahwa tinta hitam demokrasi dalam perpolitikan kita akan
berganti dengan tinta emas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar