Kamis, 08 Februari 2018

Politikus dan Gen Korupsi yang Terus Bermutasi

Politikus dan Gen Korupsi yang Terus Bermutasi
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 08 Februari 2018



                                                           
Korupsi itu seperti kanker: ganas dan menyerang seluruh organ tubuh. Di Indonesia, korupsi sudah pada stadium IV. Inilah fase stadium akhir bahwa korupsi sudah akut dan merusak organ tubuh. Korupsi mengalir dalam darah bangsa ini. Pada fase ini, korupsi begitu sulit disembuhkan. Penyakit korupsi yang menyerang para politikus atau pejabat politik tidak sembuh-sembuh meskipun berbagai terapi dan pengobatan dilakukan secara masif. Modus operandi korupsi pun sungguh memprihatinkan. Bukannya memikirkan nasib rakyat kecil, para pejabat atau politikus justru mencekik rakyat yang sudah hidup megap-megap.

Kasus terbaru adalah Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang terciduk dalam operasi tangkap tangan  Komisi Pemberantasan Korupsi  di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (3/2) lalu. Bayangkan saja, yang dikorupsinya pun dana kapitasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Nyono diduga mendapat setoran 5 persen dari dana kapitasi untuk 34 puskesmas di Jombang.

Dana kapitasi setiap puskesmas besarnya rata-rata Rp 400 juta.  Selain ”menyunat” 5 persen dari dana BPJS, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyowati juga menyetorkan uang Rp 75 juta kepada Nyono. Uang itu  berasal dari imbalan penerbitan izin operasi rumah sakit swasta.

Praktik korupsi ini tak lepas dari kekuasaan. Ketakutan kehilangan jabatan, pejabat memilih korupsi sebagai jalan pintas. Inilah yang terjadi apabila kekuasaan tidak digunakan untuk mengabdi kepada publik, tetapi untuk kepentingan diri sendiri.

Tindakan Inna memberi setoran kepada Nyono sebagai upaya untuk mempertahankan jabatannya. Sementara Nyono juga telah menggunakan uang setoran tersebut untuk biaya kampanye persiapan Pilkada Jombang 2018 ini. Nyono adalah bupati petahana yang mencalonkan diri kembali pada pilkada tahun ini.

Semua orang mafhum politik itu berbiaya tinggi. Namun, hal itu tidak dipahami sebagai upaya untuk mengukur kemampuan dari sisi finansial atau mencari formulasi terbaik untuk menurunkan biaya politik, tetapi justru menjadi narasi pembenaran (rasionalisasi) bagi politikus yang melakukan korupsi.

Ada semacam kekeliruan berpikir karena biaya politik tinggi menjadi satu-satunya ”tertuduh” maraknya korupsi. Padahal, penyebab korupsi itu multifaktor, misalnya menyangkut sistem, watak, dan penegakan hukum. Faktor-faktor yang memengaruhi praktik curang (fraud), seperti korupsi, menurut  Jack Bologna (1978),  adalah greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan), dan exposure (pengungkapan). Itulah yang disebut teori GONE, singkatan yang mengacu pada huruf awal faktor-faktor tersebut.

Runyamnya, semakin banyak kasus korupsi terungkap, korupsi tak hilang-hilang juga. Daftar pejabat atau politikus yang terjerat korupsi terus bertambah. Sehari sebelum Nyono ditangkap, KPK menetapkan Gubernur Jambi Zumi Zola sebagai tersangka kasus suap. Penetapan Zumi Zola ini hasil rangkaian penyidikan perkara kasus suap pengesahan RAPBD Jambi 2018 setelah beberapa anak buah Zumi Zola dan politikus DPRD Jambi ditangkap.

Uang suap itu diterima Zumi Zola diduga akan digunakan untuk menyuap anggota DPRD Jambi agar hadir dalam rapat pengesahan R-APBD Jambi 2018. Sebab, sejumlah anggota DPRD diduga  tidak hadir dalam rapat tersebut karena tidak ada jaminan dari  Pemprov Jambi. Jaminan yang dimaksud adalah uang suap, atau  sering disebut  ”uang ketok” atau ”uang pelicin”.

Ini sangat ganjil. Bagaimana mungkin kehadiran anggota DPRD dalam sidang-sidang di parlemen  dijanjikan dengan uang? Menghadiri sidang adalah tugas utama mereka sebagai anggota DPRD. Karena itulah, mereka dibayar rakyat. Mungkinkah hubungan DPRD dan gubernur tidak harmonis sehingga perlu pelicin untuk tugas standar yang sudah dibiayai rakyat itu?

Atau apakah memang korupsi itu budaya kita? Sarah Chayes (Thieves of State: Why Corruption Threatens Global Security, 2015) punya jawabannya. Berdasarkan pengalaman Afghanistan, korupsi merajalela karena dikuasai sindikat atau mafia yang terintegrasi secara vertikal dan beroperasi sesuai logika politik yang aneh. Uang mengalir ke atas. Bukan karena kultur, melainkan karena elite penguasa yang rakus memperkaya diri.

Korupsi adalah godaan alamiah yang tak bisa ditolak para penguasa meskipun kerap kali membuat mereka terjatuh. Di Afghanistan, korupsi akut tidak hanya menyebabkan kerusakan sosial, tetapi juga suburnya ekstremisme.

Ironi pemimpin milenial

Kasus Zumi Zola ini juga memberikan keprihatinan mendalam mengingat Zumi Zola sebetulnya menjadi harapan atau setidaknya model pemimpin masa depan. Dia masih muda (usia  38 tahun kelahiran 1980), populer karena selebritas, dan sosok penampilan gagah. Terlebih lagi, ia dapat dipandang representasi pemimpin generasi milenial atau generasi Y (gen Y) yaitu generasi yang lahir sekitar 1980.

Neil Howe dan William Strauss (Millennials Rising: The Next Great Generation, 2000) mengelompokkan gen Y sebagai generasi kelahiran 1982-2002. Generasi ini  peduli pada masalah-masalah sosial. Sampai 20-an tahun ke depan, generasi ini masih memimpin panggung politik di negeri itu sebelum digantikan generasi Z (gen Z) yang identik dengan generasi era internet.

Ada beberapa contoh pemimpin muda generasi milenial yang telah berkuasa. Ada Bupati Trenggalek Emil  Dardak (kelahiran 1984) yang kini mencalonkan diri sebagai bakal calon  wakil gubernur Jawa Timur, Bupati Bangkalan Makmun Ibnu Fuad (kelahiran 1987),  dan Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan (kelahiran 1989).

Para pemimpin milenial ini ibarat setitik cahaya di lorong gelap demokrasi yang disesaki banyak pemimpin karatan. Namun, keraguan mulai menyergap karena generasi milenial juga terkontaminasi beragam masalah. Sebelum Zumi Zola menjadi tersangka kasus korupsi, Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi (kelahiran 1988) ditangkap  karena kasus narkoba, Maret 2016. Inilah ironi pemimpin milenial.

Politikus memang mendapat sorotan yang tak henti-hentinya. Tidak sedikit kepala daerah menjadi sumber masalah, bukan penyelesai masalah di daerahnya. Kasus korupsi paling banyak membelit para kepala daerah.

Pada tahun 2017, sedikitnya delapan kepala daerah ditahan KPK. Mereka adalah Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno, Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, dan Bupati Nganjuk  Taufiqurrahman. Berlanjut pada tahun 2018, yakni Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, selain Nyono Suharli Wihandoko dan Zumi Zola.

Daftar kepala daerah yang tersangkut korupsi membuat panggung politik terlihat kusam dan kelam. Nyaris tanpa harapan. Paling gaduh adalah kasus korupsi KTP elektronik, yang akhirnya menyeret nama besar politikus licin Setya Novanto, Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar yang selama bertahun-tahun selalu lolos dari jeratan kasus korupsi.

Novanto yang kemudian tergusur dari DPR dan Partai Golkar kini tengah disidangkan. Banyak ”nama besar” lain yang tampaknya bakal diungkap Novanto, terlebih ia memiliki catatan dalam ”buku hitam” yang selalu dibawanya. Bahkan, nama presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sempat muncul di persidangan. Namun, Yudhoyono langsung bereaksi melaporkan Firman Wijaya,  pengacara Setya Novanto,  dengan dugaan pencemaran nama baik.

Alarm Pilkada 2018

Sejak era reformasi, kasus-kasus korupsi terlalu membebani negeri ini. Padahal, agenda reformasi 1998 adalah pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang marak di era Orde Baru. KPK yang galak lama-lama dianggap biasa saja. Kalau memang politikus atau pejabat takut dengan KPK, logika sederhana saja mereka takkan mau korupsi.

Malah tidak sedikit perlawanan terhadap KPK sampai mengancam keberadaan lembaga antirasuah tersebut. Mereka yang  tergoda korupsi ternyata karena insentif korupsi lebih menjanjikan  dibandingkan hukumannya. Seringkali  mereka yang tertangkap hanya dianggap apes saja. Sebuah pemikiran sesat yang dipastikan tidak akan membawa negeri ini terbebas dari korupsi. ”Di antara orang-orang korup, kebebasan tidak bertahan lama,” kata Edmund Burke (1730-1797), negawaran Inggris.

Hampir dua dekade reformasi, korupsi sulit diberantas. Makin hari makin banyak politikus yang terpapar kanker korupsi. Ibarat organisme, gen korupsi terus bermutasi. Reproduksi koruptor seakan tak terusik dengan genderang perang melawan korupsi. Kanker korupsi menjadi lingkaran setan yang melilit negeri ini.

Politikus menjadi sumber masalah, bukan pemecah masalah dalam pemberantasan korupsi. Inilah alarm yang wanti-wanti disadari masyarakat mengingat pada tahun 2018 ini akan digelar 171 pilkada. Salah menentukan pilihan akan semakin merusak negeri ini.

Kata ”bapak pendiri” Pakistan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948), ”Pikirkan sebelum memilih pemimpin. Apabila telah memilihnya, ikutilah. Tetapi, apabila ada kebijakannya yang merugikan kepentingan publik, tendanglah dia.”

Abraham Miller, penulis buku Unmoral Maxims (1906), lebih keras lagi, ”Satu-satunya cara mengubah politikus adalah dengan menggantungnya.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar