Inovasi
Pemetaan Gambut
Hasanuddin Z Abidin ; Kepala Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia
|
KOMPAS,
08 Februari
2018
Kegiatan pencegahan
kebakaran hutan dan lahan serta perlindungan lingkungan tahun 2017 berfokus
pada restorasi lahan gambut dengan Badan Restorasi Gambut sebagai
koordinator.
Upaya Badan Restorasi
Gambut (BRG) mengimplementasikan restorasi bukannya tanpa hambatan. BRG
terkendala oleh relatif minim dan kurang barunya data dan informasi terkait
peta-peta gambut sebagai acuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
restorasi gambut.
Minimnya peta telah
memperlambat restorasi di lapangan dan menyulitkan koordinasi dengan pemilik
lahan, baik di dalam maupun di luar konsesi.
Peta fungsi ekosistem
gambut yang belum diperbarui menimbulkan ketidakpastian penetapan area gambut
dengan fungsi lindung dan fungsi budidayanya karena tidak lagi sesuai saat
ini.
Hambat
restorasi
Dengan data yang kurang
akurat, upaya restorasi yang sepatutnya diprioritaskan pada fungsi lindung
jadi terhambat. Arahan pemerintah kepada pemilik lahan terkait restorasi jadi
tak tajam. Misalnya, pembasahan dan penanaman kembali. Ketidakpastian juga
memicu para pihak yang tidak bertanggung jawab mengubah fungsi lahan gambut.
Perlindungan gambut patut
diutamakan karena Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia dan
menyimpan 28,1 gigaton karbon (Warren et al. 2017). Ini setara dengan emisi
yang dihasilkan lebih dari 20 juta kendaraan per tahun.
Jika dilepaskan ke udara,
karbon dari gambut akan menyebabkan perubahan iklim, memperburuk bencana
seperti banjir dan badai, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Sayangnya, gambut sering
dianggap sebagai lahan basah yang tidak berguna sehingga sering
dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan perkebunan.
Untuk kebutuhan penanaman,
lahan gambut yang basah dikeringkan. Akibatnya, gambut yang kering mudah
terbakar. Tahun 1997, kebakaran gambut menghasilkan 0,81-2,57 gigaton karbon
(Page et al. 2002). Sementara kebakaran pada tahun 2015 menyebabkan 19
kematian, 100.000 kematian dini, dan kerugian ekonomi Rp 221 triliun.
Maka, Presiden Joko Widodo
mencanangkan pengelolaan gambut sebagai salah satu strategi pengurangan emisi
karbon Indonesia. Dibentuklah BRG.
Pemetaan
lahan gambut
Untuk melindungi lahan
gambut dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, prioritasnya adalah
memetakan gambut. Ini mencakup lokasi, luasan, ketebalan, dan tata airnya.
Berbagai informasi itu akan bermanfaat mengidentifikasi area gambut yang
harus dikonservasi dan direstorasi serta areal yang dapat dibudidayakan.
Indonesia setidaknya
memiliki tiga peta gambut, diterbitkan oleh Program Perencanaan Fisik
Regional untuk Transmigrasi pada 1989, Wetlands International pada 2004, dan
Kementerian Pertanian pada 2011. Masih perlukah pemetaan lagi?
Ketiga peta itu mengandung
informasi luasan dan ketebalan gambut, tetapi skalanya terlalu kecil,
1:250.000. Berarti 1 sentimeter di atas peta setara dengan 2,5 kilometer di
lapangan. Peta dengan skala itu dapat digunakan sebagai referensi membuat
perencanaan skala nasional seperti mengembangkan peta moratorium hutan
nasional, tetapi tidak cukup untuk kebijakan pengelolaan gambut di tingkat
tapak, termasuk restorasi, yang membutuhkan peta dengan skala minimum
1:50.000.
Peta-peta itu juga perlu
diperbarui agar akurat menggambarkan data dan informasi gambut saat in,
mengingat luasan dan ketebalan gambut dapat berubah seiring waktu akibat
aktivitas di lahan gambut, seperti pembukaan lahan untuk pertanian dan
perkebunan.
Selain itu, mengukur
ketebalan gambut bukanlah pekerjaan mudah. Pengetahuan akan ketebalan gambut
amat penting mengingat ketebalan gambut menggambarkan volume karbon yang
tersimpan di dalamnya.
Kedalaman gambut juga
menjadi kunci pengelolaan dan restorasi lahan gambut yang terdegradasi.
Namun, tak adanya metode yang disepakati ilmuwan untuk mengukur gambut,
khususnya mengukur ketebalan gambut, telah menghambat dihasilkannya peta
gambut yang paling baik dan kredibel.
Kombinasi berbagai
tantangan dan situasi ini menciptakan kebutuhan akan langkah yang kreatif dan
inovatif dalam memetakan lahan gambut di Indonesia. Pada era teknologi
informasi yang perkembangannya eksponensial—di mana banyak aplikasi komputer,
teknik pemodelan dan analisis, serta inovasi penginderaan jauh—logis jika
kita berasumsi bahwa ada para pihak yang memikirkan metode teknis pemetaan
gambut yang akurat, terjangkau, dan cepat. Masalahnya, bagaimana menemukan
orang-orang itu dan bagaimana mendapatkan metode pemetaan gambut yang
optimal? Jawabannya adalah melalui kompetisi skala dunia.
Kompetisi
Maka, Badan Informasi
Geospasial (BIG) bersama Yayasan David and Lucile Packard menggagas
penyelenggaraan kompetisi Indonesian Peat Prize untuk menemukan metode
pemetaan lahan gambut yang akurat, cepat, dan terjangkau. Hadiahnya 1 juta
dollar AS atau Rp 13 miliar. Kompetisi diluncurkan dua tahun lalu, 2 Februari
2016.
Setiap kelompok peserta
wajib bermitra dengan peserta dari Indonesia dengan maksud memastikan adanya
transfer teknologi dan pengetahuan pemetaan gambut ke Indonesia.
Kompetisi berhasil menarik
peserta dari 10 negara lebih yang bermitra dengan universitas terkemuka
Indonesia, lembaga penelitian pemerintah, LSM lingkungan, hingga perusahaan
konsultan profesional. Metodenya dari penggunaan gelombang elektromagnetik,
light detection and ranging (LiDAR), machine learning, citra satelit, hingga
pengukuran lapangan.
Dibentuk pula Dewan
Penasihat Ilmiah, yang memberi rekomendasi finalis dan pemenang kepada BIG.
Beberapa institusi yang masuk Dewan Penasihat Ilmiah mencakup Institut
Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut
Teknologi Bandung, CIFOR, NASA Jet Propulsion Laboratory, Universitas
Leicester, European Space Agency, dan sebagainya.
Metode pemenang Indonesian
Peat Prize akan menjadi referensi memperbaiki Standar Nasional Indonesia
(SNI) untuk pemetaan lahan gambut skala operasional 1:50.000. Ini bermanfaat
bagi perencanaan lahan gambut di tingkat tapak.
Metode pemetaan gambut
pemenang Indonesian Peat Prize diumumkan 2 Februari 2018, yang merupakan Hari
Lahan Basah Sedunia. Metode pemenang diharapkan dapat meningkatkan kualitas
informasi geospasial lahan gambut di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar