Rumitnya
Bidik Negarawan
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
08 Februari
2018
Sangat mudah menengarai
krisis negarawan di Republik ini. Peristiwa mutakhir yang merupakan pucuk
gunung es darurat negarawan adalah pelanggaran etik Arief Hidayat, Ketua
Mahkamah Konstitusi yang dijatuhi teguran lisan oleh Dewan Etik MK. Ia
dianggap menggerogoti pilar tegaknya hukum dan konstitusi. Banyak kalangan
mendesak agar ia melepaskan songkok ”mahkota kemuliaan”, mundur dari
jabatannya.
Sekitar lima tahun lalu,
Akil Mochtar, juga Ketua MK, terbukti terlibat suap Pilkada Kabupaten Gunung
Mas dan dihukum seumur hidup. Dua hakim MK lainnya, Patrialis Akbar, tahun
2017 ditangkap KPK karena kasus uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014
mengenai peternakan dan kesehatan hewan; serta Arsyad Sanusi mundur dari
jabatannya karena melanggar kode etik pada Februari 2011 (Kompas, 3/2).
Aforisme hakim adalah
”wakil Tuhan” di dunia telah jugrug (runtuh). Apabila pengertian negarawan
diperluas dan diperluwes penafsirannya, termasuk penyelenggara negara dan
pemerintahan lainnya, terutama kepala daerah, jumlah negarawan yang terlibat
melanggar etik dan melakukan kejahatan luar biasa (korupsi) jumlahnya
berlipat-lipat.
Salah satu sebab utama
gersangnya negarawan yang seharusnya mengemban tugas mulia karena seleksi
mereka hanya dibidik melalui proses politik. Skemanya, uji kelayakan dan
kepatutan oleh parlemen, dipilih lewat pemilu atau pilkada, dan sejenisnya.
Proses itu terbukti rawan politik kepentingan kekuasaan, politik uang, dan
transaksi politik lain. Padahal, memilih negarawan adalah menyeleksi tokoh
berkarakter dan pemuja nilai-nilai mulia.
Rute membidik negarawan
dengan cetak biru seperti itu sangat berisiko. Apalagi dalam praktik
demokrasi yang sudah eksesif dewasa ini, di mana kebebasan dan kesetaraan
telah mengaburkan rakyat untuk memilih pemimpin yang lihai mengumbar
kata-kata atau pemimpin yang bekerja nyata. Menghadirkan negarawan hanya mengandalkan
proses politik mengakibatkan Indonesia kebanjiran negarawan jadi-jadian yang
cuma memenuhi kebutuhan badaniah. Menghadirkan negarawan tak hanya
mengandalkan proses politik, tetapi harus dengan pendidikan.
Bertitik tolak dari
kenyataan itu, tawaran gagasan brilian Plato mengenai pendidikan politik dan
mendidik negarawan dapat dijadikan rujukan (Setyo Wibowo, Paideia; Filsafat
Pendidikan- Politik Platon, 2017; Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi, Mendidik
Pemimpin dan Negarawan, 2014). Pilihan ini berdasarkan pertimbangan, meskipun
gagasan itu muncul empat abad sebelum Masehi, inspirasinya masih valid dalam
konteks praktik demokrasi di Indonesia, terutama nuansa dan suasana demokrasi
pasca-reformasi mirip runtuhnya negara Polis Athena yang demokratis sekitar
2.500 tahun lalu.
Dalil Platon amat
fundamental. Menurut dia, kodrat negara yang seharusnya melayani kepentingan
umum, kualitasnya berbanding lurus dengan kemampuan manusia, terutama para
penyelenggara negara, mengelola kodrat nafsu yang melekat padanya. Maka,
jatuh bangunnya negara tergantung dari kemampuan para pengurus negara
mengelola gejolak jiwanya.
Secara adikodrati, gejolak
jiwa manusia terdiri atas tiga dimensi. Pertama, dorongan jiwa yang melayani
kebutuhan nafsu badaniah (appetitive); gejolak ini bergerak sekitar urusan
perut ke bawah: makan, minum, hasrat melanjutkan keturunan, menjadi kaya, dan
lain-lain. Kedua, gerak jiwa yang mendorong rasa bangga, gengsi, hormat,
martabat, harga diri, dan lain-lain. Kobaran semangat ini sifatnya sangat
spiritual, maka disebut thumos atau spirited. Ketiga, hasrat rasional atau
penalaran, yaitu melakukan sesuatu berdasarkan akal sehat.
Pendidikan diawali
penyadaran generasi muda mengenal bakatnya berbuat mulia. Persyaratan
instingtual itu sangat penting mengingat pemimpin sejati dan negarawan bahwa
ber- kuasa bukan didorong oleh nafsu menikmati kekuasaan, melainkan
terpanggil berbuat baik, serta mengatasi ketidakadilan, kebobrokan,
kehancuran tatanan hidup. Mereka ”terpaksa” berkuasa karena kejibah (diberi
tugas) merawat dan menyebarkan kebaikan hidup bersama. Persyaratan ini untuk
mencegah calon negarawan menjadi penguasa rakus, tamak, dan menipu rakyat.
Namun, pendidikan juga tak
menghapuskan kerumitan mencari negarawan. Kesulitan primanya, meskipun
negarawan tetapi kalau berkuasa hampir dapat dipastikan cenderung mengikuti
nafsu serakah. Maka, sistem tata kelola kekuasaan harus dibangun sehingga
dapat saling kontrol.
Kehadiran negarawan
otentik dan mumpuni, bukan negarawan gadungan, mengelola negara menuju
kebahagiaan bersama sangat mendesak. Gelombang kontestasi pertarungan
politik, terutama pilkada, tanpa disertai pendidikan membangun watak generasi
muda hanya memproduksi penguasa, bukan negarawan yang mampu berbela rasa
terhadap nasib anak bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar