Jumat, 09 Februari 2018

Karakter Kebangsaan dalam Mengawal Demokrasi

Karakter Kebangsaan dalam Mengawal Demokrasi
Muhammad Farid  ;   Fellow pada Lembaga Ketahanan Nasional RI
                                           MEDIA INDONESIA, 08 Februari 2018



                                                           
PELAN tapi pasti, jadwal pilkada serentak semakin mendekat. Perhelatan demokrasi tingkat daerah yang akan dilaksanakan Juni 2018 ini merupakan rangkaian pilkada serentak yang ketiga setelah pilkada serentak pada akhir 2015 dan 2017. Dengan demikian, tercatat ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten (total 171 daerah) yang akan secara serentak memilih pasangan gubernur-wakil gubernur, wali kota-wakil wali kota, dan bupati-wakil bupati dalam empat bulan yang akan datang.

Boleh jadi, rangkaian pilkada serentak pada Juni 2018 akan ‘lebih semarak’ jika dibanding dua pilkada serentak sebelumnya. Ini bukan didasarkan jumlah daerah yang akan melaksanakannya. Sebagai contoh, pilkada serentak pada Desember 2015 diselenggarakan di 269 daerah (sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota), sedangkan Pilkada serentak 2018 ‘hanya’ dilaksanakan di 171 daerah.

Semaraknya Pilkada serentak 2018 ini paling tidak disebabkan dua faktor. Pertama, waktunya dilakukan kurang dari satu tahun menjelang Pemilu April 2019. Kedua, pilkada serentak kali ini melibatkan tiga provinsi dengan jumlah pemilih paling banyak pada tingkat nasional, yakni Jabar, Jateng, dan Jatim. Tidak heran jika sebagian kalangan menyebut tahun 2018 sebagai ‘tahun politik’. Bahkan, tidak jarang ada yang menyebut rangkaian pilkada serentak pada tahun ini sebagai ‘pikada rasa pemilu’.

Pilkada dan demokrasi RI

Pada satu sisi, RI boleh relatif berbangga dengan pelaksanaan pilkada serentak karena Indonesia ialah satu-satunya negara di dunia yang menyelenggarakan pilkada secara langsung dan serentak di seluruh dunia. Namun demikian, gemuruh penyelenggaraan pilkada sejak dilakukan secara langsung pertama kali pada 2004 dan secara langsung-serentak pada 2015 ternyata belum mampu membawa proses demokrasi di negeri ini bertransformasi dari ‘demokrasi prosedural’ atau ‘demokrasi formal’ ke ‘demokrasi substantif’.

Secara umum, Samuel P Huntington menjabarkan demokrasi prosedural sebagai proses seleksi kepemimpinan melalui pemilihan berkala secara langsung, jujur, dan adil. Pada proses itu, para kandidat bersaing secara bebas untuk merebut suara dari para pemilih yang sah. Dengan kata lain, demokrasi seperti ini lebih menekankan berjalannya prosedur-prosedur formal dalam kehidupan demokrasi.

Akan tetapi, demokrasi substantif secara umum lebih menekankan pada ditegakkannya nilai-nilai hakiki demokrasi sehingga rakyat dapat mewujudkan kedaulatannya secara konkret. Pada kenyataannya, pelaksanaan demokrasi prosedural seperti yang tecermin dalam pelaksanaan pilkada mempunyai beragam ekses negatif. Secara sederhana, ekses negatif itu terlihat secara nyata pada penggunaan media sosial secara tidak bertanggung jawab untuk mendiskreditkan calon-calon tertentu yang akan atau sedang berkompetisi dalam pilkada.

Lebih jauh, praktik yang tidak mencerminkan demokrasi substantif dalam pelaksanaan pilkada langsung-serentak terlihat pada koalisi parpol pada proses seleksi calon kepala daerah. Memang, tidak terelakkan, pencalonan kepala daerah parpol-parpol harus berkoalisi sesuai fakta riil konstelasi politik di daerah masing-masing. Akan tetapi, di sisi lain, koalisi antarparpol itu juga dapat diinterpretasikan sebagai proses politik transaksional semata karena ada parpol tertentu yang tidak cakap membangun pendidikan politik. Tidak mampu menghadirkan kadernya sebagai calon pemimpin politik di suatu daerah. Akibatnya, parpol itu menempuh cara pragmatis dengan berkoalisi walau tidak jarang harus berkoalisi dengan parpol-parpol yang memiliki platform berbeda.

Yang lebih miris, seperti diingatkan dalam editorial Media Indonesia (Selasa, 6 Februari 2018), bahwa ‘Lagi-lagi, pemilu atau pilkada mempertontonkan efek sampingnya dengan memproduksi pejabat sekaligus koruptor’. Agaknya pernyataan ini merujuk data Kemendagri yang menyebutkan, dalam kurun 2004-2017 terdapat lebih dari 300 gubernur, bupati, dan wali kota yang terjerat kasus korupsi.

Membina karakter

Pada tataran tertentu, berbagai masalah yang masih dihadapi dalam kehidupan demokrasi di RI saat ini, terutama yang berhubungan dengan proses pilkada, menunjukkan lemahnya karakter kebangsaan. Padahal, karakter kebangsaan sejatinya sudah memiliki rujukan yang jelas, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD Negara RI 1945.

Berbagai masalah yang hadir, baik dalam proses pelaksanaan maupun output (produk) memang menunjukkan tantangan dalam menemukan calon-calon pemimpin dengan karakter berkebangsaan. Sebagai contoh, kepala daerah yang terlibat kasus korupsi sudah tentu melanggar nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam butir ke tiga sila kelima yang berbunyi ‘Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban’.

Akan tetapi, proses menuju demokrasi substantif sudah tentu tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan elite-elite politik. Lebih dari itu, dibutuhkan suatu pembangunan nilai-nilai atau karakter kebangsaan yang kukuh pada rakyat secara keseluruhan. Sebab, dalam proses demokrasi, terutama dalam suksesi kepemimpinan, rakyat lah yang menentukan pasangan calon yang berhak mengemban amanat rakyat.

Rakyat pula yang seharusnya mengawal proses penyelenggaraan pilkada. Kelak, rakyat pula yang akan mengawasi jalannya pemerintahan yang dijalankan oleh para pemimpin yang terpilih.

Demikian krusialnya penanaman karakter kebangsaan, Presiden pertama RI Ir Soekarno pernah menekankan, “...bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, teknik, pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa...tentu saja keahlian adalah perlu, tetapi keahlian saja tanpa dilandaskan pada jiwa yang besar tidak akan dapat mungkin akan mencapai tujuannya, inilah perlunya, sekali lagi mutlak perlunya, nation character building.''

Selama ini, Lemhannas sudah melakukan pembinaan yang dimaksud melalui program pemantapan nilai-nilai kebangsaan. Dalam program itu, Lemhannas merangkul berbagai kalangan seperti organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, anggota parpol, pengusaha, pesantren, dsb.

Terlepas dari program yang dilakukan Lemhannas selama ini, pembinaan karakter kebangsaan memerlukan proses berkelanjutan yang dimulai dari usia sekolah dan dilakukan secara masif. Sebab, proses transformasi demokrasi RI menuju ke arah substantif mutlak memerlukan generasi muda dengan karakter kebangsaan yang kukuh.

Generasi muda yang bersekolah hingga memasuki masa kuliah sebelum tahun 1998 pernah mengikuti program Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Akan tetapi, pasca 1998, program itu tidak dilanjutkan setelah dikritik sebagai upaya indoktrinasi pemerintah Orba dan tidak memiliki muatan implementatif.

Kini sudah saatnya Indonesia merumuskan suatu strategi program penguatan karakter kebangsaan sejak usia sekolah. Strategi itu mencakup perumusan substansi, metode penyampaian, hingga implementasinya pada tataran praksis. Semua bertujuan mengawal proses kehidupan demokrasi RI agar lebih substantif dan mencegah ekses negatif demokrasi prosedural. Inilah tugas kita bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar