Karakter
Kebangsaan dalam Mengawal Demokrasi
Muhammad Farid ; Fellow pada Lembaga Ketahanan Nasional RI
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Februari 2018
PELAN tapi pasti, jadwal
pilkada serentak semakin mendekat. Perhelatan demokrasi tingkat daerah yang
akan dilaksanakan Juni 2018 ini merupakan rangkaian pilkada serentak yang
ketiga setelah pilkada serentak pada akhir 2015 dan 2017. Dengan demikian,
tercatat ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten (total 171 daerah) yang
akan secara serentak memilih pasangan gubernur-wakil gubernur, wali
kota-wakil wali kota, dan bupati-wakil bupati dalam empat bulan yang akan
datang.
Boleh jadi, rangkaian
pilkada serentak pada Juni 2018 akan ‘lebih semarak’ jika dibanding dua
pilkada serentak sebelumnya. Ini bukan didasarkan jumlah daerah yang akan
melaksanakannya. Sebagai contoh, pilkada serentak pada Desember 2015
diselenggarakan di 269 daerah (sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36
kota), sedangkan Pilkada serentak 2018 ‘hanya’ dilaksanakan di 171 daerah.
Semaraknya Pilkada
serentak 2018 ini paling tidak disebabkan dua faktor. Pertama, waktunya
dilakukan kurang dari satu tahun menjelang Pemilu April 2019. Kedua, pilkada
serentak kali ini melibatkan tiga provinsi dengan jumlah pemilih paling
banyak pada tingkat nasional, yakni Jabar, Jateng, dan Jatim. Tidak heran
jika sebagian kalangan menyebut tahun 2018 sebagai ‘tahun politik’. Bahkan,
tidak jarang ada yang menyebut rangkaian pilkada serentak pada tahun ini
sebagai ‘pikada rasa pemilu’.
Pilkada
dan demokrasi RI
Pada satu sisi, RI boleh
relatif berbangga dengan pelaksanaan pilkada serentak karena Indonesia ialah
satu-satunya negara di dunia yang menyelenggarakan pilkada secara langsung
dan serentak di seluruh dunia. Namun demikian, gemuruh penyelenggaraan
pilkada sejak dilakukan secara langsung pertama kali pada 2004 dan secara
langsung-serentak pada 2015 ternyata belum mampu membawa proses demokrasi di
negeri ini bertransformasi dari ‘demokrasi prosedural’ atau ‘demokrasi
formal’ ke ‘demokrasi substantif’.
Secara umum, Samuel P
Huntington menjabarkan demokrasi prosedural sebagai proses seleksi
kepemimpinan melalui pemilihan berkala secara langsung, jujur, dan adil. Pada
proses itu, para kandidat bersaing secara bebas untuk merebut suara dari para
pemilih yang sah. Dengan kata lain, demokrasi seperti ini lebih menekankan
berjalannya prosedur-prosedur formal dalam kehidupan demokrasi.
Akan tetapi, demokrasi
substantif secara umum lebih menekankan pada ditegakkannya nilai-nilai hakiki
demokrasi sehingga rakyat dapat mewujudkan kedaulatannya secara konkret. Pada
kenyataannya, pelaksanaan demokrasi prosedural seperti yang tecermin dalam
pelaksanaan pilkada mempunyai beragam ekses negatif. Secara sederhana, ekses
negatif itu terlihat secara nyata pada penggunaan media sosial secara tidak
bertanggung jawab untuk mendiskreditkan calon-calon tertentu yang akan atau
sedang berkompetisi dalam pilkada.
Lebih jauh, praktik yang
tidak mencerminkan demokrasi substantif dalam pelaksanaan pilkada
langsung-serentak terlihat pada koalisi parpol pada proses seleksi calon
kepala daerah. Memang, tidak terelakkan, pencalonan kepala daerah
parpol-parpol harus berkoalisi sesuai fakta riil konstelasi politik di daerah
masing-masing. Akan tetapi, di sisi lain, koalisi antarparpol itu juga dapat
diinterpretasikan sebagai proses politik transaksional semata karena ada
parpol tertentu yang tidak cakap membangun pendidikan politik. Tidak mampu
menghadirkan kadernya sebagai calon pemimpin politik di suatu daerah.
Akibatnya, parpol itu menempuh cara pragmatis dengan berkoalisi walau tidak
jarang harus berkoalisi dengan parpol-parpol yang memiliki platform berbeda.
Yang lebih miris, seperti
diingatkan dalam editorial Media Indonesia (Selasa, 6 Februari 2018), bahwa
‘Lagi-lagi, pemilu atau pilkada mempertontonkan efek sampingnya dengan
memproduksi pejabat sekaligus koruptor’. Agaknya pernyataan ini merujuk data
Kemendagri yang menyebutkan, dalam kurun 2004-2017 terdapat lebih dari 300
gubernur, bupati, dan wali kota yang terjerat kasus korupsi.
Membina
karakter
Pada tataran tertentu,
berbagai masalah yang masih dihadapi dalam kehidupan demokrasi di RI saat
ini, terutama yang berhubungan dengan proses pilkada, menunjukkan lemahnya
karakter kebangsaan. Padahal, karakter kebangsaan sejatinya sudah memiliki
rujukan yang jelas, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD Negara RI 1945.
Berbagai masalah yang
hadir, baik dalam proses pelaksanaan maupun output (produk) memang
menunjukkan tantangan dalam menemukan calon-calon pemimpin dengan karakter
berkebangsaan. Sebagai contoh, kepala daerah yang terlibat kasus korupsi
sudah tentu melanggar nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam butir ke
tiga sila kelima yang berbunyi ‘Menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban’.
Akan tetapi, proses menuju
demokrasi substantif sudah tentu tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan
elite-elite politik. Lebih dari itu, dibutuhkan suatu pembangunan nilai-nilai
atau karakter kebangsaan yang kukuh pada rakyat secara keseluruhan. Sebab,
dalam proses demokrasi, terutama dalam suksesi kepemimpinan, rakyat lah yang
menentukan pasangan calon yang berhak mengemban amanat rakyat.
Rakyat pula yang
seharusnya mengawal proses penyelenggaraan pilkada. Kelak, rakyat pula yang
akan mengawasi jalannya pemerintahan yang dijalankan oleh para pemimpin yang
terpilih.
Demikian krusialnya
penanaman karakter kebangsaan, Presiden pertama RI Ir Soekarno pernah
menekankan, “...bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, teknik,
pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa
bangsa...tentu saja keahlian adalah perlu, tetapi keahlian saja tanpa
dilandaskan pada jiwa yang besar tidak akan dapat mungkin akan mencapai
tujuannya, inilah perlunya, sekali lagi mutlak perlunya, nation character
building.''
Selama ini, Lemhannas
sudah melakukan pembinaan yang dimaksud melalui program pemantapan
nilai-nilai kebangsaan. Dalam program itu, Lemhannas merangkul berbagai
kalangan seperti organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, anggota parpol,
pengusaha, pesantren, dsb.
Terlepas dari program yang
dilakukan Lemhannas selama ini, pembinaan karakter kebangsaan memerlukan
proses berkelanjutan yang dimulai dari usia sekolah dan dilakukan secara
masif. Sebab, proses transformasi demokrasi RI menuju ke arah substantif
mutlak memerlukan generasi muda dengan karakter kebangsaan yang kukuh.
Generasi muda yang
bersekolah hingga memasuki masa kuliah sebelum tahun 1998 pernah mengikuti
program Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Akan
tetapi, pasca 1998, program itu tidak dilanjutkan setelah dikritik sebagai
upaya indoktrinasi pemerintah Orba dan tidak memiliki muatan implementatif.
Kini sudah saatnya Indonesia
merumuskan suatu strategi program penguatan karakter kebangsaan sejak usia
sekolah. Strategi itu mencakup perumusan substansi, metode penyampaian,
hingga implementasinya pada tataran praksis. Semua bertujuan mengawal proses
kehidupan demokrasi RI agar lebih substantif dan mencegah ekses negatif
demokrasi prosedural. Inilah tugas kita bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar