Kamis, 08 Februari 2018

Riset Indonesia-Belanda : Kerja Sama dalam Perbedaan

Riset Indonesia-Belanda :
Kerja Sama dalam Perbedaan
Asvi Warman Adam  ;   Sejarawan LIPI
                                                     KOMPAS, 08 Februari 2018



                                                           
Akhir 2017, sebanyak 126 warga Belanda dan Indonesia memprotes riset mengenai periode 1945-1950 yang dibiayai Belanda dengan melibatkan sejarawan Indonesia. Ada kekhawatiran hasil riset itu mengubah sejarah Indonesia dengan mempersoalkan proklamasi 17 Agustus 1945 dan konsekuensinya agresi militer Belanda tahun 1947 dan 1948 akan disebut sebagai aksi polisional belaka. Benarkah demikian?   

Riset bertajuk ”Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950” dilakukan selama empat tahun untuk meneliti kondisi dan tingkat kekerasan dalam konflik di masa operasi militer Belanda di Indonesia. Riset bernilai 4,1 juta euro (Rp 67 miliar) dilakukan tiga lembaga penelitian di Belanda bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mengapa Pemerintah Belanda terdorong membiayai riset ini? Tahun 1969 diterbitkan laporan Excessennota tentang kekerasan tentara Belanda di Indonesia periode 1945-1950 yang mencatat 110 kasus sebagai ekses. Namun, dalam disertasi Remy Limpach yang diterbitkan tahun 2016 terungkap bahwa kekerasan itu tak hanya sekadar ekses, tetapi bersifat struktural.

Peristiwa ini cukup sensitif di negeri Belanda. Terdapat 220.000 tentara Belanda yang dikerahkan selama perang 1945-1949 di Indonesia. Sebanyak 160.000 adalah orang Belanda, sedangkan 60.000 tentara KNIL lokal (Ambon, Minahasa, Jawa, dan lain-lain). Dari 160.000 tentara Belanda itu, 100.000 tentara wajib militer, 50.000 sukarelawan, dan hanya 10.000 tentara profesional. Kebanyakan dari wajib militer dan sukarelawan itu berusia sekitar 20 tahun yang sebagian besar belum mendapat pelatihan militer dan memiliki pengetahuan minim tentang Indonesia dan orang Indonesia. 

Belanda tak serta-merta membantah temuan disertasi tersebut, tetapi ingin melakukan penelitian yang menyeluruh untuk mengetahui penyebab, latar belakang, termasuk situasi internasional waktu itu. Keterlibatan sejarawan Indonesia dipandang memperkaya perspektif riset ini. Program riset tersebut terdiri atas sembilan subproyek, dua di antaranya melibatkan sejarawan Indonesia yang dikoordinasi oleh Bambang Purwanto dan Abdul Wahid (UGM). Dalam hal ini, kita perlu belajar dari Belanda. Apabila ada kajian ilmiah tentang kekerasan pada masa lampau di Tanah Air, jangan disangkal secara emosional, tetapi diteliti dulu secara mendalam.

Perbedaan sudut pandang

Perbedaan sejarah yang tidak bisa dipertemukan antara Indonesia dan Belanda adalah persoalan tanggal kemerdekaan. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda menganggap bahwa penyerahan kedaulatan baru terjadi pada 27 Desember 1949. Oleh sebab itu, Indonesia memandang serangan tentara  Belanda di beberapa tempat  di Pulau Jawa pada 1947 dan 1948 sebagai agresi militer, di lain pihak Belanda menyebutnya aksi polisional.

Mustahil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945  karena itu berarti, kegiatan tentara mereka di Indonesia tahun 1945-1949 termasuk kejahatan perang. Biarlah kedua negara menulis sejarah periode 1945-1949 secara berbeda bahkan berlawanan, hal ini tidak mengganggu hubungan bilateral yang sejak lama sudah berjalan baik.

Sementara itu, pada 2011 dan 2012, kasus kekerasan oleh tentara Belanda di Rawagede, Bekasi, dan Sulawesi Selatan (Westerling) disidangkan di pengadilan Belanda yang menyebabkan Pemerintah Belanda meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada (keluarga) korban kedua peristiwa tersebut yang berada di Indonesia. Namun, jangan lupa bahwa korban tersebut dianggap masih warga negara Belanda karena peristiwa itu terjadi sebelum 27 Desember 1949.

Upaya KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda) yang diketuai Jeffry Pondaag yang membela korban peristiwa berdarah tersebut patut dihargai dan bagus dilanjutkan.

Saling menguntungkan

Riset ini tidak akan mengubah sejarah Indonesia, tetapi diperlukan Pemerintah Belanda sebagai pertanggungjawaban kepada warga mereka. Belanda tentu akan tetap menganggap 27 Desember 1949 sebagai penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, sebaliknya Indonesia memandang 17 Agustus 1945 sebagai proklamasi kemerdekaan.

Tentu kasusnya berbeda dengan riset besar PJ Drooglever pada 2000 atas permintaan parlemen Belanda. Riset itu tentang Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat tahun  1969. Ada kekhawatiran di Indonesia hasil riset itu akan menolak Pepera dan dijadikan argumen sejarah bagi kelompok separatis. Namun, ketika penelitian itu diterbitkan pada 2005 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2010, ketakutan itu tidak beralasan. Walaupun menganggap ada masalah di Irian Barat, riset itu membenarkan bahwa Pepera diakui sah oleh PBB. 

Riset periode 1945-1950 ini sepenuhnya dibiayai Pemerintah Belanda sehingga Pemerintah Indonesia tidak perlu mengeluarkan dana. Sejarawan Indonesia yang terlibat dalam proyek ini dapat melakukan penelitian regional yang perlu diketahui masyarakat Indonesia, seperti kekerasan di Jakarta sehingga ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta pada Januari 1946. Revolusi sosial di tiga daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) serta di Sumatera Timur perlu diungkapkan secara utuh. Kekerasan dan penjarahan terhadap etnisitas Tionghoa sehingga mereka membentuk satuan pengamanan sendiri Po An Tui tentu baik diteliti.

Demikian pula dengan peristiwa Madiun tahun 1948 yang banyak menimbulkan korban. Yang tak kalah penting adalah penelitian tentang KMB (Konferensi Meja Bundar) yang menyebabkan Indonesia harus melunasi  utang Pemerintah Hindia Belanda tahun 1942-1949 kepada pihak ketiga. Sikap Indonesia yang kendur dalam pengurusan utang sejak dulu sampai sekarang dapat dilacak dari KMB tahun 1949. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar