Efek
Ekor Jas
Djayadi Hanan ; Direktur Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas
Paramadina
|
KOMPAS,
08 Februari
2018
Efek ekor jas (coat-tail
effect) adalah salah satu pertanyaan penting semua aktor politik di Indonesia
menjelang pemilihan umum serentak 2019. Fokus soal adalah: apa pengaruh
elektoral calon presiden terhadap partai pengusungnya? Karena pengusung calon
presiden pasti koalisi sejumlah partai, pertanyaan menjadi bertambah:
terhadap partai pengusung yang bukan partai asal calon presiden, apa pengaruh
elektoral yang dibawa seorang calon presiden?
Kajian ilmiah mengenai
efek ekor jas (EEJ) umumnya didasarkan pada penelitian pemilu serentak dalam
sistem presidensial dua partai seperti, utamanya, di Amerika Serikat (AS).
Kesimpulan umumnya adalah terdapat hubungan yang positif antara kekuatan
elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya,
seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat
elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral
kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.
Sebaliknya, seorang calon
presiden atau presiden yang tidak populer dengan tingkat elektabilitas yang
rendah akan memberikan dampak negatif kepada perolehan suara partai yang
mengajukan dia sebagai calon presiden.
Sebagai ilustrasi, dari
perspektif EEJ, kemenangan telak Partai Demokrat, baik di DPR maupun Senat
AS, pada Pemilu 2008 antara lain akibat tingginya popularitas dan
elektabilitas Barack Obama yang juga memenangi kursi kepresidenan.
Sebaliknya, kekalahan telak Partai Republik, baik di DPR maupun Senat AS,
pada pemilu itu antara lain diakibatkan rendahnya popularitas dan penerimaan
masyarakat AS terhadap George W Bush yang diusung partai tersebut pada pemilu
sebelumnya.
Akibat adanya EEJ ini, di
setiap pemilu AS yang berlangsung setiap dua tahun (untuk DPR dan Senat)
selalu ada fenomena calon anggota DPR atau Senat yang ramai-ramai
mengasosiasikan dirinya dengan calon presiden atau presiden yang populer.
Sebaliknya juga terjadi fenomena calon anggota DPR atau Senat yang
ramai-ramai menjauhkan dirinya dari seorang calon presiden atau presiden yang
tidak populer atau tidak disukai masyarakat ketika pemilu akan berlangsung.
Untuk Pemilu 2018, yang
akan memilih kembali semua anggota DPR dan sepertiga anggota Senat, para
calon dari Partai Republik mencoba sedapat mungkin menjauhkan diri dari
Donald Trump. Presiden Trump adalah seorang presiden AS yang sangat tidak populer
sepanjang sejarah Amerika. Selama tahun pertama kepresidenannya, tingkat
kepuasan publik terhadapnya hampir selalu di bawah 40 persen.
Jadi, EEJ adalah fenomena
yang sangat penting dalam siklus pemilu serentak dalam sistem presidensial.
Fenomena yang sama juga terjadi untuk pemilu dalam sistem presidensial
multipartai seperti di Amerika Latin. Dalam sistem multipartai di mana
presiden dicalonkan oleh koalisi partai pengusung, yang sudah pasti adalah
ada hubungan positif antara calon presiden dan partai dari mana presiden
berasal. Meskipun masih terbatas jumlahnya, kajian ilmiah juga menunjukkan
adanya hubungan positif antara calon presiden dan kekuatan elektoral
partai-partai anggota koalisi pengusung calon presiden.
Namun, ada syaratnya,
partai-partai koalisi yang bukan partai sang calon presiden harus menunjukkan
asosiasi yang kuat dengan sang calon. Dengan kata lain, partai yang dianggap
paling kuat asosiasinya dengan calon presidenlah yang akan memperoleh dampak
(baik positif maupun negatif) dari popularitas dan elektabilitas sang calon.
Dalam penelitian mereka
mengenai EEJ di Brasil dan Chile, Andre Borges dan Mathiu Turgeon (2017)
menemukan apa yang mereka sebut diffused coattail effect yang dapat kita
terjemahkan bebas sebagai EEJ yang terdistribusi secara tidak proporsional.
Dalam pemilu serentak di Brasil dan Chile, partai yang dianggap partai
formatur koalisi (pembentuk koalisi, yakni presiden) memperoleh dampak EEJ
paling besar. Adapun partai-partai anggota koalisi lainnya memperoleh dampak
EEJ tergantung pada kuat lemahnya asosiasi mereka dengan sang formatur
koalisi di mata publik pemilih.
Dengan demikian, besar
kecilnya pengaruh EEJ terhadap partai anggota koalisi di luar partai presiden
atau calon presiden akan sangat tergantung pada seberapa kuat dan efektif
upaya partai-partai tersebut mengasosiasikan dirinya dengan sang calon
presiden atau presiden yang mereka usung.
Skenario
untuk Pemilu 2019
Karena ketentuan soal
ambang batas pencalonan presiden 20 persen telah ditetapkan final oleh
Mahkamah Konstitusi, pasti pencalonan presiden dalam pemilu serentak 2019
akan berbentuk koalisi. Dengan asumsi koalisi Presiden Jokowi solid, maka
hanya akan ada dua kubu calon presiden, yaitu kubu Jokowi dan kubu Prabowo
Subianto.
Kalau koalisi Jokowi tidak
solid, ada kemungkinan muncul poros baru. Yang pasti, semua kubu pasti
berbasis koalisi. Dapat diduga kita akan menemukan fenomena diffused coattail
effect.
Kubu Jokowi adalah kubu
yang calon presidennya relatif paling jelas saat ini, yaitu Jokowi sendiri.
Karena itu kita bisa mulai menganalisis fenomena EEJ yang terdistribusi tidak
proporsional tersebut.
Indikasi adanya diffused
coattail effect sudah mulai terlihat di kubu Jokowi. Dalam sejumlah survei
nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sepanjang 2017, tingkat
kepuasan publik (approval rating) terhadap presiden stabil di kisaran 65-70
persen. Ini diikuti dengan tingkat elektabilitas yang paling kuat
dibandingkan calon-calon lawannya meskipun, menurut sejumlah pihak, belum
aman.
Pada saat yang sama,
tingkat elektabilitas partai presiden, yakni PDI Perjuangan (PDI-P), juga
stabil di kisaran di atas 20 persen. Fluktuasi angka PDI-P juga sejalan
dengan fluktuasi angka untuk Jokowi. Jika angka Jokowi naik, angka untuk
PDI-P juga naik, dan sebaliknya.
Karena angka untuk
partai-partai lain, dibandingkan perolehan suara Pemilu 2014, cenderung
stagnan atau turun, naiknya suara PDI-P dapat dijelaskan oleh tingkat
popularitas dan elektabilitas Jokowi, kader PDI-P yang sedang menjabat
presiden. Dengan kata lain, patut diduga ada EEJ di sini.
Karena sejumlah partai di
luar PDI-P sudah menunjukkan kepada publik, resmi atau tak resmi, bahwa
mereka akan mencalonkan Jokowi kembali sebagai presiden dalam Pemilu 2019,
fenomena diffused coattail effect sudah mulai relevan. Golkar dan Nasdem
adalah dua partai yang paling menonjol dalam hal ini.
Akan tetapi, mengapa
perolehan suara keduanya stagnan dan cenderung lebih rendah dibandingkan
Pemilu 2014? Dalam survei eksperimen oleh SMRC pada Desember 2017 ditemukan
bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara mencalonkan Jokowi dan
tingkat elektabilitas Golkar. Jika Golkar mencalonkan Jokowi, elektabilitas
Golkar meningkat, jika tidak mencalonkan Jokowi atau mencalonkan yang lain,
elektabilitas Golkar cenderung stagnan atau menurun.
Manuver
partai
Mengingat Golkar termasuk
partai yang paling gencar mengampanyekan pencalonan kembali Jokowi,
seharusnya dalam perspektif EEJ, suara Golkar pada Desember 2017 tidak
stagnan atau menurun dibandingkan Pemilu 2014. Penjelasan soal ini
kemungkinan ada dalam tubuh Golkar sendiri. Kita tahu sepanjang 2017, Golkar
didera masalah serius korupsi. Bahkan ketua umumnya ketika itu, Setya
Novanto, menjadi tersangka megakorupsi KTP elektronik. Survei SMRC Desember
2017 juga menemukan, masyarakat memersepsikan Golkar sebagai partai yang
paling korup dibandingkan partai lain.
Kemungkinan yang terjadi
adalah, suara Golkar sepanjang 2017 menurun tajam dibandingkan Pemilu 2014,
tetapi penurunan itu dinetralkan oleh EEJ sehingga Golkar tetap berada pada
posisi kedua atau ketiga dalam berbagai survei nasional elektabilitas
partai-partai.
Nasdem adalah juga partai
yang paling gencar mengampanyekan pencalonan kembali Jokowi. Namun, seperti
Golkar, elektabilitas Nasdem masih belum beranjak atau malah turun menurut
berbagai survei SMRC. Fenomena untuk Nasdem kemungkinan disebabkan upayanya
untuk secara kuat mengasosiasikan diri dengan Jokowi belum sekuat Golkar atau
upayanya masih belum efektif. Akibatnya, EEJ belum terlihat di Nasdem.
Penjelasan yang sama bisa diberikan untuk partai lain anggota koalisi Jokowi
yang dalam pandangan publik mungkin akan mencalonkan kembali sang presiden
untuk periode kedua.
Mengingat adanya EEJ ini,
sepanjang tahun politik 2018 dan 2019 tampaknya kita akan mendapati makin
banyak partai anggota koalisi Jokowi yang menggencarkan upayanya
mengasosiasikan diri lebih kuat dengan presiden untuk mendapatkan EEJ yang
positif. Tentu ini dengan catatan apabila tingkat kepuasan publik kepada
presiden tetap di angka yang tinggi seperti saat ini.
Partai anggota koalisi
Jokowi yang merasa tidak mempunyai kemampuan atau kemauan untuk
mengasosiasikan diri dengannya punya satu pilihan: mencari calon yang lebih
populer dan membangun asosiasi yang kuat dengannya. Di luar itu,
partai-partai oposisi mungkin juga akan mulai memperjelas bangunan
asosiasinya dengan calon nomor dua terpopuler saat ini, yaitu Prabowo, atau
calon lain yang dianggap bagian dari kubu Prabowo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar