Relaksasi
Kebijakan BI
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset The Socio-Economic & Educational
Business Institute; Pengajar FE UNJ
|
KOMPAS,
07 Februari
2018
Keterbatasan ruang gerak pemangkasan
suku bunga acuan tampaknya tidak menyurutkan semangat Bank Indonesia dalam
melonggarkan kebijakannya. Rapat Dewan Gubernur BI perdana 2018 membuka
lembaran tahun ini dengan merelaksasi kebijakan dari area makroprudensial. BI
melonggarkan ketentuan giro wajib minimum primer menjadi 4,5 persen secara
harian dengan rerataan 2,0 persen dari dana pihak ketiga yang harus dipenuhi
dalam tenggat dua minggu.
Melalui kaidah ini, BI
secara implisit mengarahkan tambahan likuiditas perbankan dari pelonggaran
giro wajib minimum (GWM) mengalir ke surat berharga. Ketentuan rasio pinjaman
terhadap pendanaan (loan to funding ratio/LFR) pun diperbarui menjadi rasio
intermediasi makroprudensial (RIM) yang memperhitungkan pembelian komponen
surat berharga.
Sebagai komplemennya, BI
mengintroduksi penyangga likuiditas makroprudensial (PLM). Besaran PLM
sebagai GWM sekunder ditetapkan sebesar 4 persen fixed dari dana pihak ketiga
(DPK) disertai dengan fleksibilitas sebesar 2 persen dapat direpokan kepada
BI dalam kondisi tertentu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank.
Benang merah yang bisa
ditarik dari beberapa kebijakan di atas adalah stimulus bagi fungsi
intermediasi keuangan dan pengelolaan likuiditas perbankan. Dalam pandangan
BI, perpindahan dana bisa terjadi sempurna antara kredit yang disalurkan
perbankan dan pembiayaan melalui pembelian surat berharga.
BI sejatinya juga
berasumsi bahwa DPK memiliki kesetaraan fungsi dengan surat berharga.
Artinya, derajat likuiditas surat berharga yang dipegang bank dianggap setara
dengan DPK. Konsekuensinya, mobilitas pendanaan juga akan tercapai antara DPK
dan penjualan surat berharga terbitan perbankan.
Skenario BI di atas
agaknya bersifat normatif dan masih bisa diperdebatkan. Kredit dan surat
berharga, obligasi misalnya, memiliki karakteristik yang berbeda.
Masing-masing memiliki pangsa pasar tersendiri dengan perolehan imbal hasil
yang berbeda pula. Nuansa segmentatif membuat keduanya tidak mudah
bersubstitusi.
Tesis eksistensi sifat
asimetri di atas sepertinya mendekati kenyataan. Tren penurunan suku bunga
kredit dan ketersediaan pasokan belum menjadi daya tarik bagi debitor datang
ke bank untuk bertransaksi kredit. Analoginya, pelonggaran RIM juga tidak
serta-merta akan membuat korporasi menerbitkan obligasi.
Kalaupun banyak korporasi
menerbitkan obligasi, masalahnya tak berhenti sampai di sini. Obligasi
menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi daripada kredit. Oleh karena itu,
bank tidak bisa membatalkan kontrak kredit untuk membeli obligasi.
Konkretnya, dugaan awal bahwa akan terjadi pergeseran pembiayaan tidak
berlaku.
Efektivitas
relaksasi
Problema di atas
berpotensi juga terjadi pada sisi hulu. Bank mengalokasikan simpanan
masyarakat yang bersifat jangka pendek untuk memenuhi permintaan kredit
dengan spektrum jangka pendek pula. Sementara, ciri obligasi korporasi
tipikal menyedot dana dalam jumlah yang material dan berjangka panjang.
Kebutuhan bank atas
pendanaan jangka panjang hanya bisa diperoleh dari pasar modal.
Konsekuensinya, kebijakan RIM bisa jadi akan menggeser sumber pendanaan
perbankan dari masyarakat menuju pasar modal. Sayangnya, masyarakat masih
awam tentang pasar modal sehingga tidak bisa segera memindahkan dananya.
Dari sudut pandang
sebaliknya, RIM menghendaki akses bank di pasar modal guna memperoleh sumber
dana jangka panjang. Ironisnya, hasrat bank masuk ke pasar modal sangat
minim. Tengok saja, dari 37 emiten baru yang masuk Bursa Efek Indonesia
sepanjang tahun lalu, tidak ada satu pun yang berasal dari sektor perbankan.
Tanpa perluasan akses ke
pasar modal, dana jangka pendek bisa jadi akan digunakan untuk portofolio
jangka panjang. Akibatnya, alokasi dana menjadi tidak efisien. Efek bumerang
pun terjadi. RIM yang semula ditujukan untuk menyalurkan likuiditas malah
membuat bank mengalami ketidaksesuaian maturitas (maturity mismatch) dana.
Mengantisipasi risiko
maturitas, perbankan kemungkinan besar akan menyiasati DPK dengan menjual
sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). Sementara, kelebihan
likuiditas perbankan akan disalurkan pada surat berharga komersial
(commercial paper) dan surat utang jangka menengah (medium term note).
Pembelian surat berharga
di atas berpotensi menjadi lahan spekulasi. Sadar atau tidak, relaksasi GWM
dan perluasan konsep pembiayaan bisa ditafsirkan sebagai peluang untuk
menggapai imbal hasil terbaik. Alhasil, perilaku perbankan yang berani ambil
risiko (risk taking) demi imbal hasil yang lebih tinggi akan semakin kuat.
Tendensi ini pula yang
mendorong RIM bisa menembus interval toleransi 80-92 persen. Namun, kenaikan
RIM (relatif terhadap LFR) mengalami reduksi makna. Pembelian surat berharga
di pasar sekunder ada di ranah finansial, sedangkan kredit lebih dekat dengan
aktivitas produksi. Intinya, sektor finansial tidak berjalan seiring dengan sektor
riil.
Akibatnya, ide dasar PLM
untuk menekan moral hazard tidak banyak berpengaruh. Lagi pula, sifat
kontrasiklikalitas yang melekat pada dana cadangan PLM berpotensi menjadi
dana menganggur (idle fund). Sementara kredit perbankan sudah banyak tersedot
untuk membiayai infrastruktur sehingga bank tetap kesulitan untuk ekspansi.
Di saat permintaan kredit
yang masih lemah, arus dana yang keluar dari bank untuk membeli sekuritas
cenderung lebih tinggi dibandingkan DPK. Pada saat bersamaan, dana yang masuk
dari hasil repo ke BI terlalu rendah sehingga menimbulkan risiko likuiditas
yang kemudian memantik risiko sistemik.
Alhasil, relaksasi yang
masih ”setengah hati” ini perlu dilengkapi dengan stimulus lain yang
komplementer terhadap RIM dan PLM. Tanpa stimulus susulan, bank keterusan
menikmati imbal hasil dari investasi portofolio lagi malas untuk menyalurkan
kredit. Jika sudah seperti ini, kualitas pertumbuhan ekonomi patut
dipertanyakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar