Harapan
terhadap Program JKN di 2018
Timboel Siregar ; Koordinator Advokasi BPJS Watch ;
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia (OPSI)
|
KOMPAS,
07 Februari
2018
Tahun ini, program Jaminan
Kesehatan Nasional memasuki tahun kelima. Tingkat kepesertaan sebanyak 189,93
juta orang per 19 Desember 2017 dan tingkat kepuasan peserta yang mencapai
79,5 persen membuktikan program ini memberikan banyak manfaat bagi rakyat.
Namun, dari beberapa
capaian itu, tentu masih banyak persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan dalam
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama masalah
pembiayaan dan pelayanan kesehatan.
Defisit pembiayaan program
JKN menjadi persoalan serius yang dapat mengancam eksistensi program ini.
Dengan total pendapatan Rp 71,33 triliun (sudah termasuk bantuan pemerintah
sebesar Rp 3,6 triliun) dan jumlah beban sebesar Rp 82,48 triliun (per 30
November 2017), maka dipastikan BPJS Kesehatan kembali mengalami defisit di
2017.
Permasalahan pelayanan
kesehatan di rumah sakit (RS) juga terus menjadi persoalan pelik bagi BPJS
Kesehatan. Layanan program JKN belum optimal bagi peserta. Masih banyak
terjadi antrean peserta karena keterbatasan peralatan kesehatan dan tenaga
kesehatan, stok beberapa jenis obat kerap kosong, dan kapasitas tempat tidur
yang terbatas merupakan beberapa contoh persoalan sehari-hari yang dialami
peserta (Kompas, 29/1/2018). Masalah keluhan peserta ini juga diakui direksi
sebagai salah satu dari sepuluh risiko teratas bagi BPJS Kesehatan (Buku
Laporan Pengelolaan Program JKN, 30 November 2017).
Segala persoalan itu sudah
terjadi sejak 2014. Persoalan ini terkait masalah regulasi, dukungan
pemerintah pusat dan daerah, kinerja direksi BPJS Kesehatan serta dukungan
masyarakat. Regulasi yang dibuat belum mampu menjawab persoalan yang ada,
sementara direksi BPJS Kesehatan belum secara optimal mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan serta sistem kendali mutu pelayanan agar efisien dan
efektif, seperti diamanatkan Pasal 24 Ayat (3) UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN).
Masyarakat mengharapkan di
tahun kelima ini pemerintah dan BPJS Kesehatan sudah mampu secara signifikan
meminimalkan segala permasalahan tersebut. Kehadiran Instruksi Presiden Nomor
8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN diharapkan dapat
mempercepat realisasi harapan masyarakat tersebut.
Inpres
optimalisasi JKN
Kehadiran Inpres No 8/2017
adalah dalam rangka menjamin keberlangsungan program JKN dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan kepada peserta JKN. Inpres ini ditujukan kepada
tujuh menteri terkait JKN, Jaksa Agung, direksi BPJS Kesehatan, para
gubernur, serta bupati dan wali kota. Membaca seluruh isi inpres ini memang
ada harapan besar permasalahan defisit pembiayaan dan pelayanan kesehatan
serta persoalan lainnya dapat teratasi.
Dengan keterlibatan dan
koordinasi yang baik antara pihak kejaksaan, pengawas ketenagakerjaan dan
BPJS Kesehatan, serta dukungan aktif dari Kementerian BUMN dan gubernur/bupati/wali
kota dalam penegakan kepatuhan dan penegakan hukum terhadap badan usaha
swasta dan BUMN/D, maka kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) swasta/BUMN/D
dapat ditingkatkan. Faktanya, target kepesertaan PPU swasta/BUMN/D per 31
November 2017 gagal dicapai oleh direksi BPJS Kesehatan.
Direksi hanya mampu
mencapai 67,88 persen dari target kepesertaan yang ditetapkan di RKAT 31
November 2017. Akibatnya, penerimaan iuran dari PPU swasta/BUMN/D hanya Rp
19,62 triliun atau 76,11 persen dari target Rp 25,77 triliun (per 30 November
2017), atau apabila dibandingkan target per 31 Desember 2017 baru tercapai
68,33 persen dari total target penerimaan Rp 28,71 triliun.
Penerimaan iuran dari PPU
swasta/BUMN/D akan meningkat lagi di 2018 mengingat adanya kenaikan upah
minimum 2018 sebesar 8,25 persen. Potensi penerimaan iuran ini pun masih bisa
ditingkatkan lagi apabila pemerintah dalam revisi Perpres No 19/2016 merevisi
Pasal 16D dengan menetapkan batas atas gaji atau upah per bulan sebagai dasar
perhitungan besaran iuran menjadi Rp 12 juta.
Mengingat program JKN
sudah ditetapkan sebagai Program Strategis Nasional, sesuai UU No 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah, maka seluruh kepala daerah (gubernur, bupati,
dan wali kota) wajib mendukung program ini. Dengan pengawasan yang mumpuni
dari Kementerian Dalam Negeri diharapkan seluruh kepala daerah
mengintegrasikan program Jamkesda-nya ke BPJS Kesehatan, memastikan seluruh
penduduknya terdaftar di program JKN, membayar iuran tepat waktu sehingga tak
ada lagi tunggakan iuran (tunggakan iuran pemda per 30/11/2017 untuk iuran
PPU daerah Rp 466,52 miliar dan iuran peserta Jamkesda sebesar Rp 415,72
miliar). Selain itu, mengalokasikan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan
sehingga bisa menambah ruang perawatan dan meningkatkan kualitas alat
kesehatan serta ketersediaan dokter/paramedis. Mendagri harus berani
memberikan sanksi tegas kepada kepala daerah yang tak mendukung program JKN
dengan mengacu Pasal 68 UU No 23/2014.
Kerja sama BPJS Kesehatan
dan kepala daerah serta Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam
mengembangkan sistem pelayanan kesehatan berbasis teknologi informasi (IT), dengan membangun desk customer care di
seluruh RS, sehingga bisa mengoneksikan seluruh RS di daerahnya, akan sangat
membantu pasien JKN mengakses ruang perawatan dengan cepat dan sekaligus
membantu ketika pasien mengalami masalah di RS.
Sinergi Kementerian
Kominfo dengan BPJS Kesehatan dalam memberikan sosialisasi dan edukasi publik
tentang program JKN sangat penting untuk memastikan seluruh peserta memahami
hak dan kewajibannya (amanat Pasal 15 dan 16 UU SJSN). Dengan pengetahuan
cukup yang dimiliki peserta, maka persoalan fraud yang terjadi dapat
diminimalkan dan tentunya hal ini juga akan mendukung penurunan pembayaran
klaim INA CBGs ke RS.
Terkait regulasi, Menteri
Kesehatan dan direksi BPJS Kesehatan mendapatkan instruksi untuk melakukan
kajian dan evaluasi terhadap regulasi JKN saat ini. Hal ini untuk memastikan
pelaksanaan program JKN ke depan akan lebih baik lagi. Oleh karena itu, sudah
seharusnya proses pengkajian dan evaluasi dilakukan secara obyektif dan
hati-hati dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Revisi Perpres No 19/2016
tentang Jaminan Kesehatan yang saat ini sedang diproses pemerintah harus
melalui uji publik sehingga dapat diterima masyarakat. Jangan sampai terulang
lagi kasus revisi Pasal 16F Ayat (1a) Perpres No 19/2016 sehingga lahir Perpres No 28/2016 pada
bulan berikutnya karena masyarakat dan DPR menolak kenaikan iuran kelas III
bagi peserta mandiri menjadi Rp 30.000 per bulan.
Demikian juga dengan
ketentuan baru BPJS Kesehatan tentang sistem pembayaran tertutup (close
payment), sistem baru pembayaran iuran PPU badan usaha/BUMN/D yang mulai
berlaku 1 Februari 2018 seharusnya dibicarakan dulu dengan kalangan pengusaha
dan ada proses sosialisasi. Saya khawatir banyak pengusaha belum
mengetahuinya sehingga pemberlakuan sistem baru ini dapat mengganggu arus kas
perusahaan dan pada akhirnya tunggakan iuran PPU menjadi meningkat.
Rakyat sangat berharap di tahun kelima ini
benar-benar ada peningkatan pelayanan kesehatan secara signifikan dan
teratasinya masalah defisit pembiayaan benar-benar terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar