Sabtu, 10 Februari 2018

Rekat Budaya Indonesia-Jepang: 76 Tahun

Rekat Budaya Indonesia-Jepang: 76 Tahun
Agus Dermawan T  ;   Pengamat Kebudayaan; 
Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden
                                                     KOMPAS, 10 Februari 2018



                                                           
Jepang menduduki Indonesia pada Maret 1942. Lalu, berkaitan dengan bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyatakan kalah perang dan tidak lagi menguasai Indonesia pada Agustus 1945. Sejak itu hubungan Indonesia dan Jepang merenggang.

Hubungan diplomatik Indonesia-Jepang baru resmi terjalin lagi pada 20 Januari 1958, ditandai penandatanganan kesepakatan pampasan perang dari Pemerintah Jepang untuk Indonesia. Maka, sejak 60 tahun silam Indonesia dan Jepang saling memosisikan diri sebagai kawan untuk kemudian menjadi teman. Ketika pertemanan ini semakin luas urusannya, masyarakat politik menyebutnya sebagai mitra.

Tak hanya pada tataran negara kemitraan itu terbina. Pada tataran masyarakat, hubungan itu juga terjalin amat baik. Masafumi Ishii, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, mengatakan, ”Kerja sama persahabatan Indonesia dan Jepang juga didukung hubungan antarmasyarakat dalam berbagai bidang.” Salah satunya bidang kebudayaan, yang sesungguhnya sudah terjalin jauh hari sebelumnya. Dikatakan demikian, karena hubungan kebudayaan masyarakat Indonesia dan Jepang sesungguhnya tidak dimulai sejak 1958, tetapi sejak 1942. Catatan ini ingin menjelaskan.

”Bushi” jadi puisi

Pada 1942 Bung Karno memang sudah melakukan kerja sama atau kolaborasi kebudayaan dengan (penjajah) Jepang. Kolaborasi itu berinti keinginannya untuk mengubah bentakan (tentara Jepang) jadi nyanyian, empasan tongkat jadi tarian, dan ketajaman bushi jadi selarik puisi. Kolaborasi diberangkatkan dari tagline politik kebudayaan Jepang yang berbunyi ”Kebudayaan Asia untuk Asia”.

 Sikap kolaboratif semakin lengket ketika pada suatu saat Bung Karno mengutus Basoeki Abdullah untuk melukis pemimpin militer Jepang, Letnan Jenderal Imamura, yang berkantor di Saiko Sisikan (Istana Merdeka). Setelah lukisan jadi, Bung Karno bahkan merekomendasikan lukisan itu jadi gambar sampul majalah Panji Pustaka edisi September 1942. Melihat besarnya hasrat Bung Karno dalam berkolaborasi budaya, Imamura lantas menginstruksi agar para seniman Jepang yang ada di Indonesia berkumpul dan bergandeng tangan dengan para seniman Indonesia. Salah satu wujud dari gagasan itu adalah pameran bersama karya seni rupa Indonesia-Jepang, akhir 1942.

 Kolaborasi menjelma formal ketika Jepang mendirikan Keimin Bunka Sidosho (Pusat Kebudayaan) pada 1 April 1943, sebagai pengganti Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) yang baru dibubarkan. Dalam lembaga ini ada bagian lukisan dan ukiran, kesusastraan, musik, sandiwara, film, dan bagian tari-menari. Lantaran Jepang menganggap orang Indonesia belum bisa mengelola pendidikan kesenian, mereka mengangkat para seniman Jepang sebagai ketua seksi. Lalu terbilanglah nama Saseo Ono, Yashioka, Yamamoto, T Kohno, Takeda sampai Soichi Oja.

Atas susunan pengurus yang didominasi nama Jepang itu, Bung Karno memprotes. ”Sang kolaborator” minta agar para seniman Indonesia yang berkemampuan dimasukkan sebagai bagian dari organisasi. Maka, masuklah Soebanto Soerjosoebandrio, Emiria Soenassa, Sudjojono, Agus Djaya, Henk Ngantung, dan sebagainya. Masuknya nama-nama nasionalis itu didasari prinsip kolaborasi: ”saling memimpin” dalam  organisasi. Kemudian, ketika pihak Indonesia meminta medium publikasi, Jepang mengizinkan penerbitan majalah Keboedajaan Timoer.

Berusia 76 tahun

Persekutuan kebudayaan Indonesia-Jepang ini mendatangkan kegairahan hebat bagi dunia seni Indonesia. Dalam seni rupa, sejak Maret 1942 sampai April 1944, ada 14 pameran digelar. Suatu hal yang tak pernah terjadi pada era penjajahan Belanda. Puncaknya adalah pameran Tenno Heika-Techo-setsu, peringatan ulang tahun Kaisar Hirohito. Pameran yang menyajikan karya 60 pelukis Indonesia ini ditonton oleh 11.000 orang dalam 10 hari.

Seksi seni tari dan musik memperoleh perkembangan signifikan lantaran banyak difasilitasi. Di Keimin Bunka Sidhoso, seksi ini diketuai oleh Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak. Pemerintah Jepang juga memberi peluang kepada banyak pemusik lain. Di antaranya kepada Amir Pasaribu untuk mengkreasi orkes di Jawatan Radio RRI Jakarta, dan meneruskan Orkes Cosmopolitan yang didirikan pemusik Belanda, Jos Cleber.

Sementara seni  pertunjukan yang terformulasi dalam tonil dan wayang-wong (wayang orang) banyak digelar sebagai tontonan rakyat. Bahkan, wayang-wong berusaha diberi peluang tampil maksimal. Pada era ini, busana wayang-wong semakin didekatkan dengan busana seperti yang tergambar dalam wayang kulit. Suatu upaya yang pada beberapa dekade sebelumnya, yakni zaman Sri Mangkunegara VII di Surakarta, telah dirintis.

Seni poster pada zaman ini juga berkembang karena Jepang ternyata tak menyensor. Bahkan, Jepang menstimulasi seniman poster agar berlomba membikin poster-poster terbaik. Dari sini lahir seniman poster legendaris S Toetoer. Nama yang kemudian dijadikan nama trofi bagi pencipta Poster Film Terbaik Festival Film Indonesia era 1980-1990.

Jepang tidak menyensor cipta seni Indonesia, kecuali dalam sektor  seni sastra. Apa sebabnya sastra disensor, tak pernah ada penjelasan. Namun, diyakini hal itu dilakukan karena Jepang percaya karya literer lebih gampang memprovokasi daripada karya seni lain. Jepang melihat, betapa pidato Bung Karno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” jadi referensi ampuh setelah pidato itu diterbitkan media cetak. Itu sebabnya, petinggi Jepang lantas memilih sastrawan Sanusi Pane jadi ketua Keimin Bunka Sidhoso. Pengangkatan ini tentu berarorama siasat: apabila ada sastra yang nakal, sang ketua yang dijewer!

Di sektor film, Pemerintah Jepang juga menyorongkan kerja sama. Alhasil, tahun 1942 terproduksi 3 film, 1943 melahirkan 3 film, dan 1944 sebanyak 5 film. Salah satunya berjudul Berdjoeang yang diproduksi Persafi (Nippon Eiga Sha) dan disutradarai Rd Arifien. Film yang diperani M Mochtar, Dhalia, dan Sambas ini berisi propaganda heiho atau tentara Jepang.

Maka, apabila hubungan diplomasi politik Indonesia-Jepang disebut berusia 60 tahun, hubungan rekat kebudayaan Indonesia-Jepang berumur lebih tua: 76 tahun! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar