Jumat, 09 Februari 2018

Induk BUMN

Induk BUMN
Fachry Ali  ;   Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
                                                     KOMPAS, 09 Februari 2018



                                                           
Ketika orang Jepang bertemu seseorang, menurut antropolog Chi Nakane dalam bukunya, ”Japanese Society: A Practical Guide to Understanding the Japanese Mindset and Culture” (1973), ia cenderung menyatakan berasal dari B Publishing Group atau S Company. Dan bukan, ”Saya adalah pengatur cetak naskah” atau ”juru tulis”. Maka, yang pertama-tama didengar lawan bicaranya adalah hubungan seseorang dengan institusi atau kelompok tertentu.

Dalam bahasa Jepang, Nakane menyebut fenomena ini sebagai ba. Walau secara harfiah ba berarti location (tempat), dalam penggunaan normalnya berarti ’sesuatu yang ditempatkan sesuai dengan tujuan tertentu’. Maka, secara konseptual, Nakane mengartikan ba ke dalam bahasa Inggris sebagai frame (bingkai), yang berarti konteks spesifik seseorang dalam sebuah pengelompokan sosial. Ini berbeda dengan atribut. Yang terakhir ini, tanpa menyebut padanan kata Jepang-nya, diartikan Nakane sebagai pengelompokan sosial yang keanggotaannya berdasarkan a definite descent group or caste (kelompok seketurunan atau kasta tertentu). Sesuai arti bahasa Inggris-nya (sifat, kaitan), Nakane melihat pengelompokan sosial berdasarkan atribut ini universal. Sementara bingkai atau ba lebih berlaku di Jepang.

Guna mempertajam, Nakane memperkenalkan kata uchi yang berarti ’rumahku’; otaku yang berarti ’rumahmu’, dan kaisha yang berarti ’kesadaran kelompok’. Semua ini lebih mengungkapkan keberlakuan bingkai atau ba di dalam sistem pengelompokan sosial di Jepang, dibandingkan atribut. Dalam pengertian luas, makna uchi adalah ’tempat kerjaku’, ’organisasiku’, atau ’sekolahku’ dari mana seseorang berasal. Hal yang sama berlaku juga untuk otaku. Dan semua ini diekspresikan melalui kaisha, kesadaran kelompok yang tidak dilandasi kontrak, tetapi emosi dan kebanggaan.

Kesadaran jenis kaisha ini berakar pada konsep ie. Dalam bahasa Jepang, ie berarti rumah tangga. Namun, ie itu lebih berarti family system (sistem keluarga) yang berakar pada pedoman perilaku moral feodal Jepang masa lalu. Sampai di sini, dinamika masyarakat Jepang terlacak. Mengapa? Karena Nakane menekankan bahwa ie sebagai lembaga kekerabatan bukanlah wujud di mana anak tertua hidup bersama istri dan para orangtuanya, juga bukan struktur wewenang (authority structure) di mana kepala keluarga memegang kekuasaan, melainkan ie adalah tempat kelompok kediaman bersama (corporate residential group) dan, dalam hal usaha pertanian atau usaha lain, ie sebuah managing body (badan pelaksana).

Sebagai badan pelaksana, ie terdiri atas anggota-anggota rumah tangga yang membentuk satuan-satuan kelompok sosial tersendiri. Dengan kata lain, ie adalah kelompok sosial berdasarkan bingkai atau ba yang mapan dan sering berwujud manajemen organisasi. Apa yang penting, tekan Nakane, hubungan manusia di dalam lembaga kekerabatan ie ini dianggap lebih penting daripada lainnya. Seorang menantu perempuan asal satuan sosial lain dianggap lebih utama daripada saudara perempuan atau anak perempuannya sendiri yang menikah dan telah pergi ke ie yang lain. Hal yang sama terjadi pada saudara laki-laki atau anak laki-lakinya.

Inilah makna dinamis hubungan-hubungan sosial ie itu di Jepang: kesediaan membuka diri bagi anggota baru ke dalamnya. Kerangka perekrutan anggota baru ini melemahkan ikatan sedarah. Namun, ikatan itu segera beralih kepada hubungan orang per orang dalam kelompok bersama berdasar lapangan kerja di mana, Nakane menekankan, the major aspects of social and economic life are involved (sebagian besar kehidupan sosial-ekonomi mereka dilibatkan). Di sini, kita menemukan pentingnya satuan kelompok bersama di masyarakat Jepang berdasar ba atau bingkai.

Kesimpulannya, sifat dinamis perekrutan anggota ie, sebagai lembaga kekerabatan kuno Jepang, mampu mengakomodasi industrialisasi modern. Kemunculan berbagai unit industri modern di negara ini dengan mudah menyesuaikan diri ke dalam hubungan sosial tradisional Jepang. Melalui ekspresi kaisha, perusahaan industrial Jepang segera menjadi substitusi kelompok sosial tradisional Jepang. Sebab, kaisha adalah ungkapan uchi (tempat kerjaku) dan otaku (perusahaanmu) yang, ”memberikan seluruh keberadaan sosial seseorang, dan mempunyai wewenang atas seluruh aspek kehidupannya; ia terlibat mendalam secara emosional di dalam asosiasi itu”.

Sejarah budaya dan politik-ekonomi BUMN

Dalam konteks sejarah, apa yang dikenal dengan BUMN dewasa ini secara budaya adalah sesuatu yang ”asing”. Ini terutama karena BUMN berasal dari korporasi perkebunan (yang kemudian melebar ke pertambangan) ciptaan Belanda dalam wujud organisasi ekonomi modern di pertengahan akhir abad ke-19. Kritik ekonom Indonesia M Sadli atas konsep ekonomi dualistik (dualistic economies) sarjana Belanda JH Boeke adalah benar. Dalam tulisannya ”Reflection on Boeke’s Theory of Dualistic Economies” (1971), Sadli menyatakan keheranan logika dan teoretisnya atas pendapat Boeke yang memandang ekonomi dualistik ?yang membelah sistem ekonomi Barat modern dan sistem ekonomi Indonesia tradisional adalah permanen.

Kendati demikian, Boeke ”benar” dalam satu hal. Bahwa kemunculan modal Barat yang terwujud dalam perusahaan-perusahaan perkebunan raksasa sejak 1870 di Indonesia bukanlah kontinuitas tradisi dan sistem ekonomi Indonesia. Karena, seperti dikutip Sadli, Boeke menyatakan di belakang deru perkembangan perusahaan-perusahaan raksasa itu terdapat sistem kapitalistik modern yang sama sekali tak identik dengan sistem dan semangat ekonomi tradisional Indonesia.

Karena itu, bagi Boeke, kehadiran perusahaan-perusahaan itu merefleksikan bentrokan sistem sosial pendatang dengan sistem sosial pribumi. Pemberontakan sosial dimotori petani sepanjang pertengahan dan akhir abad ke-19, merefleksikan bentrokan budaya ini. Semua ini menguatkan pandangan bahwa metode pengorganisasian dan pemanfaatan modal di perusahaan-perusahaan raksasa Barat itu adalah asing secara budaya. Dengan perbandingan konsep ie dalam struktur dan sistem sosial Jepang, bentrokan ini menandai bahwa khazanah budaya tradisional Indonesia—di samping faktor struktural lain—tak memadai mengakomodasi kehadiran sistem sosial-ekonomi modern di Indonesia pada abad ke-19 itu.

Sampai pertengahan 1957, keterasingan budaya atas perusahaan-perusahaan ini masih berlanjut. Sebab, seperti dicatat ekonom Bruce Glassburner dalam Indonesian Economy 1950-1953 (1971), tak ada tanda-tanda adanya elemen di masyarakat Indonesia yang mengambil alih fungsi perusahaan-perusahaan itu, dan ”tak ada tanda-tanda di mana sumber-sumber baru tampil mengambil alih fungsi itu”. Ini hampir berarti bahwa—kecuali Jawatan Listrik dan Gas yang diresmikan Presiden Soekarno pada 27 Oktober 1945 serta Bank Negara Indonesia (BNI) yang didirikan pada 1946—kemerdekaan Indonesia sejak Agustus 1945 dan dikukuhkan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949 tak mempunyai basis material. Dalam arti kata lain, Indonesia hanya merdeka secara politik tanpa kontrol atas kekayaan ekonominya.

Ironisnya, Belanda tetap diuntungkan justru setelah Indonesia merdeka. Catatan ekonom Australia, Howard Dick, dalam ”Formation of the Nation-State, 1930s-1966” (2002), memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan raksasa Belanda tidak hanya mengalami pemulihan, tetapi juga meraih untung 0,8 miliar gulden pada 1954-1957. Karena itu, tak mengherankan, mereka cenderung menanam modal 1,5 miliar gulden pada 1950-1958 guna menambah ekspansi usaha di Indonesia. Maka, secara praktis, sejak 1870 hingga pertengahan 1957, sari pati bentrokan sistem sosial yang disampaikan Boeke masih tetap berlanjut.

Jalan sejarah politik-ekonomi Indonesia segera berubah di akhir 1957 dan awal 1958 melalui aksi politik nasionalisasi perusahaan asing. Aksi politik ini bersifat historis dan, di atas itu, decisive, karena pada saat itulah, sejak 1870, Indonesia bisa mengontrol kekayaan ekonominya sendiri. Seperti ditulis Ahmad Habir dalam ”State Enterprises: Reform and Policy Issues” (1990), melalui aksi itu negara mengambil alih 600 perusahaan Belanda, 300 di antaranya perusahaan perkebunan dan lebih dari 100 perusahaan lain yang bergerak dalam ekspor dan pertambangan. Selebihnya perusahaan perdagangan, keuangan, komunikasi, gas dan listrik serta konstruksi. Melihat luasnya cakupan bidang ekonomi yang diperankan perusahaan yang dinasionalisasi, pada esensinya sejak 1958 Indonesia berhasil mencapai ”kemerdekaan ekonomi”—melengkapi kemerdekaan politik sebelumnya.

Perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lain yang dinasionalisasi inilah yang dewasa ini kita kenal sebagai BUMN.

BUMN induk

Dilihat dari perspektif ini, kehadiran BUMN di Indonesia bersifat distingtif karena lebih merupakan produk aksi politik. Sifat distingtif inilah yang menyebabkan BUMN, setelah aksi nasionalisasi, segera mendapatkan payung hukumnya: PP No 23/1958 dan dikukuhkan dengan UU No 86/1958. Ini berbeda dengan pengalaman awal Amerika Serikat, di mana pertentangan-pertentangan pendapat dan kecurigaan politik mewarnai kemunculan korporasi. Padahal, seperti dinyatakan Eric Hilt dalam ”Early American Corporations and the State” (2017), ada rancangan perundangan yang mengarahkan perusahaan-perusahaan itu bersifat quasi-public (status setengah perusahaan negara) dan, dengan demikian, menjadi alat negara—untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Di sini kita melihat bahwa di negara kampiun kapitalisme sendiri, di masa awalnya, pertumbuhan dan perkembangan perusahaan tak absen dari hambatan politik dan perundang-undangan.

Fenomena ini jelas berbeda dengan di Indonesia. Kendati demikian, meski dapat dukungan politik dan hukum, sifat dan posisi BUMN tetap berada di wilayah yang disebut Nakane di atas, yaitu atribut. Telah disinggung, atribut merupakan pengelompokan sosial yang pemberlakuannya bersifat universal. Di samping didasarkan pada kesamaan keturunan dan kasta, pengelompokan atribut bersifat ”deskriptif”. Nakane, misalnya, menyebut land lord (tuan tanah) dan tenant (penghuni atau penyewa tanah) dalam klasifikasi sosial atribut. Karena sifatnya ”deskriptif”, tak ada penjelasan kontekstual bagaimana keduanya berinteraksi secara produktif.

Inilah, antara lain, gambaran BUMN pasca-1958 hingga 1998. Fakta bahwa sepanjang periode itu keberadaan BUMN terpencar-pencar di bawah departemen atau kementerian teknis, kian menunjukkan karakter pengelompokan bersifat atribut ini. Maka, jangankan BUMN perkebunan di bawah Kementerian Pertanian tak berhubungan dengan, misalnya, BUMN industri di bawah Kementerian Perindustrian, sesama BUMN yang bergerak di lapangan yang sama tak saling bersentuhan juga.

Perkembangan menentukan terjadi pada 1998 ketika Presiden Soeharto memerintahkan Tanri Abeng membentuk Kementerian BUMN yang menoreh sejarah konsolidasi kekayaan negara di bawah satu payung. Namun, kendati Tanri Abeng mempunyai program lanjutan pascakonsolidasi ini, kondisi politik tak memungkinkannya, sebagai Menteri Pendayagunaan BUMN, melaksanakannya. Pergantian rezim pada 1999 telah menghentikan langkah Tanri Abeng.

Namun, konsolidasi yang telah terjadi ini memberikan jejak kuat bagi transformasi BUMN dari atribut ke ba atau bingkai. Dalam arti bahwa tanpa konsolidasi BUMN ke dalam sebuah kementerian, transformasi itu sulit terjadi. Ini, dengan demikian, berarti peralihan sifat BUMN dari atribut yang, dalam interpretasi kami, menata pengelompokan sosial tanpa relasi produktif dan emosional, kepada ba atau bingkai yang lebih kontekstual dan produktif, sangat terbantu dengan keberadaan Kementerian BUMN. Dan peralihan ini penting. ”In group identification,” tulis Nakane, ”a frame such as ’company’ or ’association’ is a primary importance” (Dalam mengindentifikasikan kelompok, sebuah bingkai seperti ’perusahaan’ atau ’perserikatan’ adalah yang utama).

Dalam konteks inilah pembentukan induk BUMN—seperti tengah berlangsung di bawah Menteri BUMN Rini Soemarno dewasa ini—harus kita lihat, yaitu proses transformasi BUMN yang sebelumnya lengkang satu sama lain ke dalam sebuah konglomerasi fungsional dan kontekstual yang, dalam konteks Nakane, memelihara bahkan memperkuat institusi itu. Dan dari segi ekonomi, proses transformasi ini menciptakan konsolidasi modal yang jauh lebih kuat—dibandingkan unit-unit yang terpisah satu sama lain. Akan tetapi, dalam konteks ”antropologi ekonomi”, proses transformasi BUMN ke dalam format induk bisa dihayati sebagai pembentukan sosial ie berdasarkan ba atau bingkai.

Sebagaimana masyarakat Jepang menyesuaikan diri ke dalam zaman industrial modern melalui jenis pengelompokan sosial ini, penciptaan induk BUMN yang berlangsung dewasa ini adalah usaha, dalam bahasa Betawi, memapak (mendahului) perkembangan dunia korporasi di masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar