Penghormatan
terhadap Hak Warga Negara
Toto Sugiarto ; Direktur Eksekutif Riset Indonesia, Analis Exposit Strategic; Pengajar
Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
10 Februari
2018
Sejak 20 Januari 2018,
Komisi Pemilihan Umum melaksanakan pemutakhiran data pemilih. Pemutakhiran
data pemilih dengan tajuk gerakan pencocokan dan penelitian serentak untuk
keperluan Pilkada 2018 ini melibatkan 350.000 petugas pemutakhiran data
pemilih.
Target gerakan pencocokan
dan penelitian yang akan berlangsung hampir satu bulan ini akan mendata
1.750.050 rumah di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten).
Pencocokan dan penelitian akan dilaksanakan hingga 18 Februari 2018.
Berbagai masalah yang
mungkin muncul dalam proses pencocokan dan penelitian—seperti adanya pemilih
yang tidak memiliki KTP, memiliki KTP tetapi belum KTP elektronik, pemilih
sudah pindah alamat—perlu dicatat dan dicari penyelesaiannya. Jika tidak
mampu diselesaikan, berbagai temuan tersebut berpotensi mengulang masalah
kacaunya daftar pemilih tetap (DPT) pemilu/pilkada sebelumnya. Apakah bangsa
ini lebih bodoh daripada keledai sehingga akan terperosok pada lubang yang
sama, bahkan lebih dua kali?
Menurunnya kualitas pemilu
berakibat pada menjauhnya bangsa ini dari kondisi demokrasi terkonsolidasi.
Padahal, Pemilu 2019 seharusnya merupakan pemilu terakhir era transisi
demokrasi untuk masuk pada kondisi demokrasi terkonsolidasi.
Bangsa ini hendaknya tidak
terlalu lama terombang-ambing dalam kondisi flawed democracy. Kondisi
demokrasi yang tidak juga masuk pada ”kematangannya”, jika terlalu lama, akan
berbahaya. Bandul demokrasi bisa berbalik arah.
Sistem
yang buruk
Secara umum, masalah
seputar daftar pemilih ini berawal dari DP4. Mengapa? Karena DP4 yang
diserahkan pemerintah kepada KPU bisa dibilang tidak akurat.
Pada dasarnya data
penduduk memang tidak akan pernah akurat. Kondisi perubahan riil penduduk,
seperti pindah alamat, kelahiran, dan kematian, akan selalu di depan
pencatatan. Belum lagi jika perubahan tidak dicatatkan. Ketidakakuratan DP4
diperparah karena proses KTP elektronik masih belum rampung. Selain itu,
buruknya daftar pemilih selama ini terjadi akibat tidak optimalnya
sinkronisasi dan pemutakhiran data pemilih yang dilakukan KPU.
Awal yang memang penuh
masalah, KPU yang tidak optimal dalam memutakhirkan data yang bermasalah dan
sistem informasi data pemilih (sidalih) yang penuh misteri memupus harapan
akan terdaftarnya seluruh warga negara yang berhak memilih serta tidak adanya
”pemilih siluman”.
Sistem informasi data pemilih, yang
dikatakan KPU sebagai sistem informasi data pemilih yang bisa dipercaya, pada
akhirnya menjelma menjadi sistem data pemilih yang paling sulit dipercaya
keakuratannya. Tidak dilakukannya uji publik secara memadai dan tidak
transparannya sistem tersebut semakin memunculkan keraguan dan kecurigaan.
Buruknya proses dan
keraguan terhadap sistem informasi data pemilih ini memunculkan kekhawatiran
akan banyaknya warga negara yang tidak bisa memilih. Padahal, memilih adalah
hak konstitusional warga negara.
Meskipun berkat putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) sekarang ini warga negara dapat memilih dengan
menggunakan KTP, tetap saja hal itu tidak menghilangkan potensi banyaknya
warga negara yang tidak bisa memanfaatkan hak pilihnya.
Dengan kata lain,
banyaknya warga negara yang tidak terdaftar akan menurunkan tingkat
partisipasi. Warga yang tidak terdaftar dan tidak mendapatkan
informasi/undangan cenderung tidak datang ke TPS.
Masalah juga masih muncul
dari belum rampungnya KTP elektronik. Dengan masalah ini, adanya warga negara
yang tidak bisa memilih adalah kesalahan negara, yakni kesalahan negara
karena tidak mampu memberi KTP elektronik kepada seluruh warga negara yang
berhak.
Seharusnya KPU
mengoptimalkan segenap jajaran komisioner dan birokrasi di semua tingkat
untuk mencapai hasil yang baik. Sejalan dengan hal itu, perkembangan sistem
informasi data pemilih seharusnya dapat dipantau publik.
Muara dari semua harapan itu adalah bangsa
ini terhindar dari terperosok pada lubang yang sama: kekacauan DPT selama
ini.
Dituntut
peran Bawaslu
KPU hendaknya tidak
berhenti pada gebyar gerakan pencocokan dan penelitian serentak seperti
ditunjukkan beberapa waktu lalu. KPU juga tidak hanya berhenti pada gerakan
simbolis mendatangi dan mendata ibunda Presiden Joko Widodo dan Sumanto.
Setelah gebyar, KPU harus serius dalam mendata warga negara yang berhak
memilih.
Keseriusan KPU dalam
melakukan perbaikan daftar pemilih dan transparansi serta terjaminnya akses
terhadap sistem informasi data pemilih merupakan bagian dari penghormatan
terhadap hak pilih rakyat. Oleh karena itu, dengan organ yang sekarang ini
sudah terbentuk sampai ke tingkat pemerintahan terbawah, serta dana negara
yang memadai, seharusnya KPU bisa melakukan hal yang lebih baik.
Di sisi lain, diperlukan
peran optimal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mengawasi proses menuju
terbentuknya DPT yang baik. Bawaslu juga hendaknya tidak berhenti pada gebyar
pengawasan pencocokan dan penelitian dengan foto-foto para komisioner yang
menawan.
Mengingat pentingnya
penciptaan DPT yang baik, agar tidak disebut sebagai bangsa keledai,
diperlukan koordinasi dan relasi harmonis baik antara sesama penyelenggara
pemilu ataupun antara penyelenggara pemilu dengan sejumlah pihak yang peduli
terhadap tahapan pemilu.
Akhirnya, relasi yang baik
antara penyelenggara pemilu, pemerintah, dan masyarakat adalah conditio sine
qua non untuk penciptaan pemilu yang berhasil secara substansial sehingga demokrasi
di republik ini dapat terkonsolidasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar