Potret
Raja Jawa Menolak Eksklusivisme
Rizka Nur Laily Muallifa ; Tertarik dengan isu seputar
perempuan, lingkungan, seni-budaya
|
DETIKNEWS,
09 Februari
2018
"Itu
keraton kita ya?" Suara anak kecil yang atraktif itu hadir begitu sahaja
ketika film dibuka dengan menampilkan wajah sayu Keraton Surakarta
Hadiningrat. Sekali lagi, keraton kita.
IGP
Wiranegara, filmmaker jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu menggarap
film dokumenter yang ia beri judul Paku Buwono XII: Berjuang untuk Sebuah
Eksistensi. Sejak kenal dengan mendiang Sinuhun Paku Buwono (PB) XII,
Wiranegara mengaku menjadi teman berkisah mulai dari hal-hal sepele sampai
yang paling serius sekaligus. Kedekatan inilah yang kemudian memotori
lahirnya film dokumenter yang menang dalam Festival Film Indonesia 2005 untuk
kategori Film Dokumenter Terbaik. Di Solo, film ini diputar sebagai rangkaian
dari acara Panggung Gesang pada 28 Januari 2018 di Cinema Omah Sinten.
Sebagai
insan film, Wiranegara agaknya paham betul bagaimana membuat karya yang fokus
dan tak hendak pamrih dengan menampilkan terlalu banyak kisah. Film berdurasi
45 menit ini fokus pada gejolak hidup PB XII menghadapi masa transisi dari
pemerintahan kerajaan menjadi pemerintahan republik.
Derita Nasionalisasi
Diangkat
sebagai raja menggantikan mendiang ayahnya, Paku Buwono XII saat itu masih
belia. Usianya 20 tahun. Saat itu, harta-harta keraton termasuk
prajurit-prajuritnya masih lengkap. Pengangkatannya sebagai raja riuh oleh
sentimen-sentimen di kalangan keluarga, khususnya paman-pamannya. Usia yang
dinilai terlalu muda untuk duduk di tahta utama kerajaan membuat para paman
menyangsikan kepemimpinannya kelak.
Kepada
Wiranegara dan tentu saja kamera perekam audio-visual penghasil film
dokumenter tersebut, Sinuhun PB XII menuturkan dengan tenang gejolak yang
terjadi di tengah keluarga sambil sesekali mengembuskan asap rokok ke penjuru
udara. Mata Sinuhun menembus batas kenangan mengingat masa-masa bersama ayahandanya.
"Jadi
raja itu harus kurang makan, kurang tidur, mendekati Tuhan, mengheningkan
cipta. Raja itu harus memiliki kekuatan pribadi yang kokoh. Dari kecil saya
sudah disiapkan, diajari begitu," kenang Sinuhun PB XII atas nasihat
ayahnya. Masa-masa kelam Keraton Surakarta Hadiningrat timbul sebab
penyerahan aset-aset kerajaan kepada republik. "Bedil, kuda, alat-alat
prajurit keraton diserahkan kepada republik. Prajurit keraton tak boleh lagi
memakai bedil karena itu menyamai tentara republik. Tapi baju prajurit
keraton tetap ada, tidak kami serahkan," ujar Sinuhun PB XII.
Lebih
jauh lagi, aset-aset penting yang selama masa itu menjadi sumber pendapatan
keraton seperti pabrik kopi, pabrik tembakau, serta perkebunan-perkebunan
dinasionalisasi pada masa kepemimpinan Sinuhun PB XII. Termasuk terlepasnya
beberapa daerah kantong keraton Surakarta seperti Sragen, Boyolali,
Karanganyar, Wonogiri. Penyerahan segala aset keraton dinilai sudah selaiknya
dilakukan sebab keraton menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berdaulat.
Keputusan
Sinuhun PB XII tersebut diapresiasi pihak republik secara
institusional-formal yang sifatnya sangat temporer. Semenjak nasionalisasi,
keraton kekurangan sumber pendanaan. Akibatnya, keraton sempat terbakar.
Kebakaran ini menurut penuturan Prof. Sardono W Kusumo ialah buntut dari
ketiadaan dana perawatan atas bangunan-bangunan keraton yang memang purna
usia itu.
Melalui
penuturan salah satu putri Sinuhun PB XII, masa itu Sinuhun juga kebingungan
untuk mendanai penyelenggaraan-penyelenggaraan upacara ritual leluhur.
Sehingga beberapa aset keraton yang tersisa dijual untuk pelaksanaan
upacara-upacara ritual.
Penyerahan
harta-harta keraton sebagai dukungan kepada republik ini sedikit sekali
dibahas dalam sejarah tertulis yang kemudian dipelajari-diakui khalayak.
Sejarah lebih banyak menyoroti kedekatan keraton dengan para penjajah, yang
kemudian memang tidak ditampik oleh Gusti Puger, putra ke-17 Sinuhun PB XII.
"Yang kita ketahui kan pokoknya keraton ini dekat dengan penjajah. Untuk
hal-hal taktis, memang beliau –Sinuhun PB XII– dekat dengan Jepang, Belanda.
Saya kira wajar untuk kepentingan-kepentingan taktis kedekatan itu dijalin.
Tidak banyak yang mengulas, tidak banyak yang mau tahu tentang harta-harta
keraton yang justru disumbangkan untuk mendukung kedaulatan NKRI."
"Melawan
republik saya pasti kalah, sementara keadaan keluarga di lingkungan keraton
sendiri tidak rukun. Jadi ya kita ambil jalan tengahnya saja. Kita terima apa
yang ada," demikian kira-kira sikap Sinuhun PB XII menghadapi masa-masa
sulit pasca-nasionalisasi aset-aset keraton oleh republik.
Penjaga Kuil Tua
Atas
peristiwa kebakaran lalu, sebagian masyarakat bersikeras menganggap Sinuhun
PB XII sudah tidak kuat menghadapi gejolak kehidupan keraton. Pihak-pihak
internal keraton jadi tertuduh lalai menjaga marwah keraton. Padahal, atas
kebakaran tersebut, Sinuhun PB XII pun mengalami trauma.
Dikenal
sebagai raja yang rendah hati, Sinuhun selalu memberi perhatian kepada para
abdi dalem dalam menyiapkan upacara-upacara ritual. Salah satu scene film
menampilkan Sinuhun sepuh ketika menilik dan bercakap-cakap dengan para abdi
dalem yang sedang asyik-masyuk menyiapkan rangkaian bunga melati.
Di
masa-masa tuanya, Sinuhun PB XII lebih suka tinggal di hotel atau lebih tepat
disebut penginapan sederhana dan bukan di keraton. Beliau sengaja menciptakan
jarak dengan menciptakan pengalamannya meruang sendiri. Bukan di hiruk-pikuk
kehidupan keraton. Kendati begitu, perhatian beliau sepenuhnya tetap tercurah
demi kehidupan-kemaslahatan keraton.
Salah
satu scene film jelang pengakhiran sempat menampilkan Sinuhun PB XII sedang
melakukan kegiatan fitness ringan di salah satu pusat kebugaran di Solo. Ini
menjadi semacam pembuktian bahwa sekalipun ia seorang raja, ia tetap manusia
pada umumnya. Laku hidup Sinuhun PB XII yang dihadirkan dalam film berupaya
memberi pengertian khalayak-penonton, bahwa jabatan atau kekuasaan sebagai
raja keraton tidak lagi identik dengan eksklusivisme melainkan rupa-rupa
hidup manusia sebagai bagian dari masyarakat pada umumnya.
IGP
Wiranegara masih merampungkan studi S3-nya. Publik-penonton yang hadir dalam
diskusi film di Solo sudah kadung mendengar slentingan bahwa masih ada film
lain tentang Sinuhun Paku Buwono XII yang ia kerjakan. Di masa yang entah
kapan, publik-penonton tentu dengan senang hati kembali ke acara serupa untuk
menyelami lebih jauh nilai-nilai kebersahajaan hidup seorang raja jawa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar